Menikmati Misa Natal dalam Nuansa Betawi
Sejumlah laki-laki berbaju koko putih berdiri di sisi-sisi pintu gereja menyambut jemaat dan mengucapkan salam. Sesekali mereka membetulkan peci di sela-sela kedatangan umat. Sementara itu, perempuan-perempuan berkebaya encim dengan warna senada mengantar jemaat ke bangku yang belum ditempati.
Dari pintu masuk gereja, terlihat sekilas teras bergaya rumah adat Betawi yang menyimbolkan kandang tempat kelahiran Yesus di Bethlehem. Tiruan teras ini terletak di sisi barat altar.
Di dalam gereja terdapat empat hiasan kembang mayang warna-warni yang digantung terpisah. Kembang mayang merupakan hiasan yang terbuat dari kertas dan umumnya dililitkan pada setangkai lidi.
Selain kembang mayang, sarung motif kotak-kotak juga menghiasi interior dalam gereja yang berkapasitas 1.000 orang ini. Sarung tersebut dililitkan pada dua pilar yang berdiri di tengah gereja, di antara empat baris bangku jemaat.
Budaya Betawi melekat pada Gereja Paroki Santo Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat. Pada perayaan Natal 2017, Senin (25/12) pukul 09.00, tampak sejumlah petugas misa, seperti pembaca kitab suci, penyanyi mazmur, penyambut jemaat, serta pengawal pastor, mengenakan pakaian adat Betawi.
Pakaian adat yang dikenakan memiliki kesan berbeda karena lazimnya penyanyi mazmur dan pembaca kitab suci mengenakan seragam misa berupa jubah putih. Ini merupakan salah satu bentuk inkulturasi budaya Betawi dalam tata liturgi gereja.
Ignatius Windar Santoso, pastor yang memimpin misa saat itu, berpendapat, inkulturasi Betawi dalam liturgi gereja ini menarik. ”Ternyata agama dan kepercayaan tidak tertutup terhadap budaya,” ujarnya.
Dia menuturkan, agama dan kepercayaan dinilai sebagai pembawa umat manusia ke surga. Adanya inkulturasi menunjukkan budaya yang dimiliki dapat masuk ke dalam sejarah keselamatan manusia menuju surga Yang Mahakuasa.
Dilestarikan
Nuansa Betawi dalam Gereja Servatius terus dilestarikan. ”Budaya ini sudah ada lebih dari satu abad di Kampung Sawah. Dari cerita yang disampaikan turun-temurun, cikal bakal gereja ini berasal dari 18 orang asli Kampung Sawah yang dibaptis menjadi seorang Katolik,” papar Matheus Nalih Ungin, Wakil Ketua Dewan Paroki Santo Servatius.
Menurut Nalih, kehadiran budaya Betawi dalam Gereja Servatius merupakan salah satu wujud implementasi peradaban kehidupan di Kampung Sawah yang telah dibangun leluhur. Karena itu, praktik inkulturasi perlu dipertahankan.
Tidak hanya itu, inkulturasi merupakan salah satu wujud sifat universal dari gereja Katolik. ”Umat boleh mengekspresikan diri dalam budaya lokal untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Ini lebih mempermudah kami menyampaikan isi hati kami,” ujar Nalih.
Salah satu bentuk inkulturasi Betawi dalam liturgi versi Gereja Servatius adalah adanya pengawal pastor yang bernama Krida Wibawa dan terdiri atas 6 sampai 8 laki-laki asli Kampung Sawah. Krida Wibawa berarti pekerja yang berwibawa. Inspirasinya datang dari pengawal pastor yang ada di gereja-gereja di Eropa.
Krida Wibawa ini tidak hanya mengawal pastur, tetapi juga bertanggung jawab untuk mempertahankan inkulturasi Betawi dalam gereja. ”Setiap bertugas, mereka mengenakan pakaian adat Betawi, lengkap dengan peci, sarung, dan goloknya,” ujar Nalih.
Gereja Servatius senantiasa berusaha menerapkan budaya Betawi dalam tiap ibadah. Pada minggu pertama di setiap bulannya diadakan misa yang melibatkan pakaian adat Betawi, tarian Betawi, musik khas Betawi seperti tanjidor, bahkan terkadang pastornya akan berkhotbah dalam bahasa Betawi.
Akan tetapi, pelestarian budaya Betawi di Gereja Servatius menghadapi tantangan karena anak mudanya jarang yang tertarik untuk mempelajarinya. ”Strategi saat ini adalah menampilkan budaya Betawi kepada anak-anak muda sesering mungkin lalu pelan-pelan mengajarkannya kepada mereka,” ucap Nalih.
Saat ini, Gereja Servatius telah mengadakan latihan tari tradisional Betawi untuk anak muda. Selain itu, di setiap misa, anak-anak muda mulai terbiasa mengenakan baju koko dan peci atau kebaya encim sebagai pakaian khas Betawi.
Keberagaman
Nilai universal yang telah disebutkan di atas dianggap beririsan dengan nilai Betawi sebagai salah satu keragaman budaya Nusantara. Nalih mengatakan, Betawi itu menerima keberagaman sebagai salah satu keniscayaan. ”Keberagaman merupakan sarana tiap elemen masyarakat di sini untuk membangun Kampung Sawah,” ucapnya.
Mayoritas penduduk di Kampung Sawah beragama Islam. Jumlah jemaat Gereja Servatius sekitar 10.890 jiwa.
Meski demikian, toleransi dan sikap saling menghargai dijunjung tinggi. ”Pada perayaan Natal ini, penduduk Muslim sekitar gereja yang memiliki tanah kosong memberikan lahannya untuk menjadi tempat parkir bagi umat yang ke gereja. Ketua RW setempat juga mengerahkan warganya untuk mengatur arus lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan di sekitar gereja,” tutur Nalih.
Sebaliknya, saat perayaan Idul Fitri, pihak Gereja Servatius juga mengerahkan umatnya untuk mengatur kendaraan agar tidak mengganggu ibadah salat Id di masjid yang berjarak tidak jauh dari gereja. Bagi Nalih, saling membantu dan berbagi itu tidak perlu memandang agama dan kepercayaan.
Pesan Natal
Pada Natal tahun ini, tema perayaan yang diangkat Gereja Servatius adalah ”Kita Bhineka, Kita Indonesia”. Nalih mengatakan, melalui tema ini, gereja mengajak tiap orang agar senantiasa mengamalkan Pancasila.
Selain itu, tema ini juga ingin menunjukkan kepada tiap insan, agama, dan kepercayaan tidak boleh menjadi penyekat untuk berkontribusi dalam bangsa dan negara yang kaya akan keberagaman. ”Saya berharap tiap pemeluk agama dan kepercayaan menjalankan ibadahnya sesuai dengan akidah masing-masing, tetapi tetap menjaga nilai persatuan Indonesia. Ibaratnya seperti paduan suara, kalau ada satu yang pales, harmoni tidak akan terbentuk,” tutur Nalih.
Melalui khotbahnya, Windar juga mengajak setiap orang untuk berlomba-lomba mengejar dan melakukan kebaikan. Sikap tersebut memerlukan konsistensi dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Perayaan Natal 2017 di Gereja Servatius hendak mengingatkan pentingnya persatuan di dalam keberagaman. Bahkan, budaya dan liturgi agama dapat saling membaur. Berbagai macam keragaman milik Ibu Pertiwi merupakan anugerah dari Yang Mahakuasa dan tidak perlu dipertentangkan. Sekarang, tinggal bagaimana umat-Nya berperan untuk memelihara slogan ”Bhinneka Tunggal Ika”. (DD09)