Puisi-puisi Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia di Yogyakarta.
Peureulak
Di mana terletak Peureulak
Dalam peta lama dan peta barumu
Di mana tempat bertolak dan bersauh
Kapal-kapal di kuala Bandar Khalifah
Tempat aku menegakkan bendera hasrat
Ingin bertemu?
Mencari jejak sejarah di pesisir Selat Malaka
Dan hamparan kaki Bukit Barisan
Bagai mencari bukti tanah ditikam jejak
Gajah ekspedisi Sultan Syahr Nawi
Dan tapak istana yang tak tampak lagi bekasnya.
Akhirnya aku bersua sepasang nisan keramat
Di tepi sungai Trenggulon yang mengalir sepi
Bagai tinta kehabisan dawat, mengandaskan kapal
Dan melambankan gerak layar perahu. Desau daunan bambu
Selirih suara anak-anak mengaji
Mendoakan Sultan Alaiddin Syaid Maulana Abdul Aziz Syah
beserta Putri Meurah Mahdum Khudawi
Sultan dan permaisuri peletak awal tapak Peureulak itu
Terbaring sunyi berabad bisu, hingga kini dirangkul pagar
Taman Monasa, penanda Kesultanan Islam pertama Asia Tenggara,
Makam mereka bagai bunga abadi
Merekah di bawah lintasan matahari
“Peureulak, sebelum Pasai, sebelum Banda, sebelum lain-lain,
Ini yang pertama,” kata seorang tua penggembala itik
sambil menunjuk gerbang monumen
yang terbengkalai di tengah sawah. Tongkat kayunya
Menggaris cakrawala dan matahari yang akan terbenam
ke arah Barus
Itu titik yang sama di pantai barat Sumatera
Sama tercatat sebagai yang tertua dan pertama
Tapi sama-sama luput terbaca dalam peta-peta baru abad ini
Karena dawat yang khianat telah menghapus namamu
Dan menuangkan semua kisah ke titah Samudera
Seperti pak tua yang perlahan menghilang
Bersama kaok itik-itiknya
Hingga tinggal bintik noktah
Ditelan lautan hijau sawah.
/2023
Baca juga: Puisi-puisi Nuryana Asmaudi SA
Membayangkan Harianboho
dari Dermaga Toba
membayangkan harianboho
dari dermaga danau, kampung sitor
di seberang
tak nampak karena terlindung pulau
bagai alis kekasih yang membuat pandangku beralih
mengecup kenangan hingga ke leher
jenjang
sebuah perahu melancar menyentakku sadar
bahwa telah kubentuk jenjang baru ke atas bukit
berupa tangga-tangga batu
ke lambung pusuk buhit
dan melebat lumut waktu dalam ingatanku
yang terus memandang
pusat leluhur penyair,
seolah kubaca lagi surat kertas hijau
menandaskan tualang menolak pulang
ah, bayang-bayang si anak hilang!
/2023
Baca juga: Puisi-puisi Joko Rabsodi
Pasar Balige
Rumah-rumah adat Batak
Berderet tegak serupa di huta kesayangan
Ketika kumasuk, kujumpa ikan-ikan danau basah
dan dikeringkan. Aroma andaliman
menusuk penciuman bagai terhantar
aku ke dapur seorang inang. Sayur-mayur
dari kebun dan ladang di gunung
menumpuk turun dari becak barang
beserta colt tua melenguh tapi tetap garang
Mie gomak dan kue ombus-ombus
mengepulkan asap panas
jinak dalam gesit tangan pedagang
Sate padang dan arsik gurameh
Bersisian dengan sate babi
Bertukar asap di tepi jalan lintas
Bebas dipilih
Pasar Balige bukan sekadar pasar
di keramaian. Tapi kampung
yang ditinggalkan
di balik sunyi gunung
Tempat pelintas boleh singgah
Sebelum bertolak ke kota-kota
Dan melupa yang disayangi.
/2023
Suayan
Naik ke bukit Suayan
Suara siamang menggemaung sayup
nun di sisa hutan terakhir. Uir-uir rimba dekat berdenging
Di gendang telinga. Ricik air jatuh di batu
Bagai gitik jemari tua di lobang saluang
Mengiringi dendang mayik ka turun*
Sementara jalan terus meninggi, padi-padi tetap tegak
Di petak miring terasering, menunggu runduk
Saat menguning. Pohon-pohon menggigil
Dipagut kabut, mengingatkan barisan lelaki
mencari jalan pintas ke kubu persembunyian
Masa di mana sawah tak dicangkul
Ladang tak ditanam
Karena bahu menyandang bedil.
Di ujung dendang, seorang lelaki berpulun
Kain sarung menghapus jelaga matanya
Di antara pohon-pohon terakhir dan ricik air
Ia mengenang luka perburuan dan duka pelarian
Serta perbukitan yang kini akan dicangkul
Gemuruh mesin-mesin besar
Tentu mengubah gitik irama saluang.
/2023
Catatan: *Judul sebuah dendang saluang klasik Minang, "Suayan Mayik ka Turun" (Suayan, Mayat akan Turun).
Baca juga: Puisi-puisi Naning Scheid
Surau Tuo Taram
Di balik tirai tembus pandang
Nisan Syekh Ibrahim Mufti
dapat kupandang. Indah sekali.
Lengkung tiang-tiang pendek
Menyanggah dinding yang bukan batas
bagi doa-doa yang dipanjatkan
Kubah makamnya bulat
dengan atap seng berkarat
Persis Bukik Bulek* berbatu putih coklat
—Di kakinya gemercik air kolam
Tegak bersanding dengan lancip atap
Surau Tuo Taram
Kuhikmati semua dalam diam
Dalam takjub pejalan
Kusimak segala yang berurat-berakar
Tumbuh menjalar sepenuh badan
Walau zikirku belum segemercik air kolam
Tapi hatiku riang bagai seekor ikan
Saat azan didengungkan,
padaku dilempar jala waktu
Dan serupa tirai tembus pandang,
jala itu tak menghalangiku sebagai makmum
menatap punggung imam sembahyang.
/2023
Catatan: *Bukik Bulek (Bukit Bulat) nama sebuah bukit di Nagari Taram, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar.