Tamansari dan Lelaki di Pokok Ketapang
Aku tahu Jar pernah tak naik kelas. Ia bahkan hampir tak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP.
Kami datang terlambat saat beberapa petugas sibuk menata kendaraan yang diparkir sembrono oleh pemiliknya. Tempat parkir yang menyenangkan, teduh oleh rimbun pepohonan yang di pokok-pokoknya dikelilingi semen setinggi setengah meter yang diperlebar sehingga nyaman untuk duduk.
Aku dan pengunjung lain bisa membaui sisa bakaran dupa di salah satu sisi sumur tua yang dikelilingi dingin teralis besi yang terkunci, tepat di belakang bangunan berarsitektur Eropa dengan nuansa putih susu yang mengingatkanku pada novel Mo Yan yang sedang kukhatamkan. Aku berjalan mengikuti jalur setapak yang masih tampak baru setelah dipugar. Banyak tempat duduk tampak eksotik untuk berfoto.
Di pokok pohon ketapang yang daunnya berwarna jingga karena sengatan matahari musim kemarau, aku melihat lelaki setengah matang tengah menekuri bukunya. Tentu saja dia datang ke Tamansari bukan karena lengger lanang dan para penari dari Jepang dan Eropa seperti kami. Tempat itulah yang beberapa ratus tahun lalu hadir pada wangsit Jaka Kaiman dalam perjalanan pulang dari Pajang.
Lelaki itu adalah Jar. Aku akan selalu mengingatnya. Di depan kelas, saat kami sama-sama bocah TK, Jar mengaku bercita-cita menjadi ikan. Sejak itu, kami berteman. Aku mengenal Jar sebaik aku mengenal diriku sendiri. Seperti Jar mengenali setiap ikan dan batuan berlumut di dasar Serayu.
Setelah belasan tahun, kami bertemu lagi. Melihat Jar, aku melihat diriku sendiri—pada masa lalu. Aku menepuk pundaknya. Kami berjabat tangan sangat erat, menggoncang-goncangnya, dan begitu lama seolah sedang memanggil kenangan yang mengerak di dasar ingatan.
Aku memintanya datang ke rumah. Aku menjulurkan sebungkus rokok yang masih utuh. Dia menerimanya sebagai persetujuan akan datang, diikuti senyum olok-olok.
”Aku gak biasa udud mahal.”
”Itu jimat.”
Jauh sebelum itu, ketika bulu-bulu kemaluan kami samar-samar mulai tumbuh, Jar jatuh hati pada teman sekolah kami yang dadanya sedang tumbuh meranum. Hampir setiap malam, Jar mengajakku meronda rumah gebetannya itu. Aku ikut saja dengan iming-iming rokok yang menurut pengakuannya dibeli dari penjualan ikan pancingannya—tapi, ibuku kelak memberi bantahan bahwa Jar sering mengambil dagangan ibunya.
Jar terlalu tua untuk usia kami yang sepantaran. Suaranya lebih berat dengan nada bicara yang seringnya terlalu rendah. Rahang Jar yang tegas bersudut disamarkan cambang yang lebat. Yang membuatnya tampak muda adalah otot di tubuhnya yang liat menonjol.
”Jadi kamu mau kawin?”
”Buat ngisi kegiatan kalau hari libur kerja,” sahutku dengan nada bercanda.
”Kalau orang kampung kita punya isi kepala seperti kamu, tentu lima puluh tahun lagi, kampung ini akan mati.”
”Kok bisa begitu?”
”Kami semua kerja di sawah, merumput, mancing. Semua tak mengenal tanggal merah.”
”Tak lama lagi, manusia memang akan meninggalkan bumi yang sedang mengalami penuaan parah ini.”
”Orang kota sepertimu juga yang ngajari orang kampung merusak bumi bukan?”
Aku merasa harus mengalihkan pembicaraan kami ke topik lain sehingga kurespons pernyataan Jar dengan tawa yang kulebih-lebihkan. Tentu saja semua orang telah tahu perihal rencana pernikahanku, di kampung tak pernah ada rahasia, bahkan lenguhan di atas ranjang Mbok Rus, tiap malam Jumat. Apa Jar masih mengingatnya—Poleng, guru kami dalam perkara permesuman. Celaka benar anak itu, mati karena bisa ular welang setelah ia keluar dari bilik Mbok Rus. Poleng melakukan itu hanya untuk membuktikan kalau dia lebih jantan dari Jar dan aku yang menolak ajakannya.
Baca juga: Pelagak
Ketika aku hijrah ke J, informasi tentang Jar hanya kudengar dari mulut ibu, via telepon. Darinyalah, aku tahu Jar pernah tak naik kelas. Ia bahkan hampir tak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP, jika bukan karena Pak Mus, guru ngaji kami, yang berhasil membujuknya untuk pergi ke sekolah tanpa harus memikirkan biaya yang tak disanggupi orang tua Jar. Betapa pun, Jar termasuk anak pandai di sekolah kami. Setidaknya, Jar kini memiliki ijazah SMA, meskipun itu sama sekali tak membantu pekerjaan-pekerjaan yang pernah dilakoninya; di pasar saat menjadi kuli, di pabrik pengolahan kayu yang tak mengenal waktu libur, di sawah yang membuat kulitnya begitu legam, atau di kali saat ia memancing, atau saat ia mengajari anak-anak kenari berkicau agar bisa dijual dengan harga tinggi.
”Di mana N sekarang?”
”Kudengar ia tinggal di kota setelah dinikahi seorang kaya.”
Jar, dulu, jatuh hatinya padanya. Begitu pun aku. Entah bagaimana, semua yang ada pada tubuh N adalah sesuatu yang menarik di mata kami. Tapi, karena itu pula, kami tak pernah berpikir untuk memiliki kemewahan semacam itu, hanya merasa cukup dengan mengaguminya. Kami selalu merasa apa saja yang dimiliki Kaji Leman adalah kemewahan; mobil, mesin giling padi, rumah besar, dan tentu saja N, anak perempuan satu-satunya itu.
”Kamu kawin dengan siapa? Mestinya kamu kawin dengan orang kampung ini agar kamu punya alasan untuk sering pulang. Ibumu pasti akan bahagia.”
Aku menunjukkannya pada sesosok perempuan di antara ratusan penonton lengger yang berjarak kurang dari sepuluh meter dari kami. Aku tak tahu harus menjelaskan apa lagi untuk menjawab pertanyaan Jar. Aku mendapati wajah calon istriku, Rose, dan Lusi, anaknya, melintas di benak. Rose meminta untuk tinggal di kampung, menuruti permintaan ibu. Tapi, aku belum mengiyakannya mengingat Lusi masih dalam terapi karena trauma kekerasan psikis yang dilakukan oleh ayah kandungnya.
”Sebenarnya ibumu sudah sering menceritakan hubungan kalian padaku.”
”Aku senang kamu sering datang ke rumah dan mengajaknya bicara. Tapi, kenapa kamu sering tak mau menerima uang untuk ikan pancinganmu.”
”Aku memancing untuk mencari kesenangan, bukan cari uang.”
”Ikan itu jerih payahmu. Uang itu bukan diberikan karena rasa kasihan. Setidaknya kamu bisa membeli rokok dengan uang itu.”
***
”Kamu tinggal di mana sekarang?”
”Dipati.”
Rupanya cerita yang kudapat dari ibu benar. Dipati adalah nama kuburan di kampung kami. Konon, di sana dimakamkan sosok wingit yang bergelar adipati. Ia diyakini sebagai pemimpin kelompok sempalan pasukan Diponegoro yang terdesak semasa perang. Kuburan itu, kemudian, secara turun-temurun dijaga oleh seorang kuncen. Orang-orang menamai mereka dengan Mbah Kuncen. Generasi terakhir penjaga makam wingit itu tak beristri dan tak beranak.
Tentu saja, sendiri adalah sejenis ketenangan yang jahanam. Pikiran semacam itulah yang menjangkiti Jar saat keinginannya untuk menikahi N kandas. Ibu Jar yang seorang janda miskin tak mungkin sanggup memenuhi syarat yang diajukan keluarga Kaji Leman untuk memenuhi keinginan Jar. Ibu Jar menganggap itulah yang kemudian membuat anaknya berteman dengan sosok-sosok mistis di lubuk Sungai Serayu.
Aku mengambil botol berisi ciu itu ke dapur untuk kutukar dengan kopi. Kami meminumnya hingga tandas—menjeda tiap isapan kretek.
”Kasihan ibumu tinggal sendirian di rumah, Jar.”
”Aku tak mau menyusahkannya. Makanya aku pergi.”
”Ibumu tak pernah berpikir seperti itu. Buang jauh pikiran itu.”
”Tiap hari, aku mendengar orang-orang mengolok-olok ibu karena aku gila. Aku duri dalam daging. Aku ingin tak peduli, tapi tak bisa.”
Satu malam, Jar memutuskan berjalan ke arah kuburan setelah tak menemukan cara lain melawan kesepian yang jahanam itu. Ia harus berbasah kuyup demi menerjang hujan. Di kuburan, dia hanya menangis. Tapi, air mata dan taburan kembang tak pernah tahu ke mana harus jatuh sebab ia tak pernah tahu di mana kuburan ayahnya yang konon mati saat menjala ikan di Sungai Serayu—saat ia masih dalam kandungan ibunya.
Anjing Mbah Kuncen-lah yang memanggil Jar berteduh ke bangunan beratap seng dengan pagar tembok berisi keranda besi yang dingin.
Baca juga: Mawar Itu Merah, Es Itu Dingin
Entah dorongan apa yang membuatnya berkata pada Mbah Kuncen ingin tinggal di tempat itu. Tentu saja Mbah Kuncen tertawa. Andai Jar tahu, kurasa anjing itu juga tak kuasa menahan gelak tawa karenanya.
”Mayit-mayit yang tertanam dalam tanah bukanlah teman yang baik untuk orang yang masih hidup,” kata Mbah Kuncen lembut.
Malam itu juga, Jar menggigil hebat setelah mencoba tidur di samping keranda. Tetapi, Jar melihat Mbah Kuncen baik-baik saja setelah bertahun-tahun di sana.
Selepas subuh, Jar menemani Mbah Kuncen menunggu matahari naik sepenggalah di teras masjid. Anjing itu menatap Jar dengan iba. Mbah Kuncen meminta Jar mendekat padanya.
”Kamu masih ingin tinggal denganku, berbagi ruang dengan keranda?”
Jar ingin menjawab, tapi lidahnya telanjur kelu.
”Apa yang kamu lihat dalam tidurmu semalam?”
”Aku melihat dan mendengar orang-orang kesepian dan berduka di dalam kubur yang sempit.”
”Aku mendengarnya setiap hari selama berpuluh-puluh tahun.”
”Bagaimana bisa bertahan?”
”Mereka yang memintaku tinggal, menjadi kawan mereka. Kalau tidak, mereka akan menjadi hantu-hantu gentayangan yang akan mengganggu semua orang yang masih hidup.”
”Apa itu berarti mereka memintaku?”
”Menggantikanku.”
Tak lama setelah pembicaraan itu, Mbah Kuncen meninggal saat purnama membuat air laut pasang.
Azan Maghrib dari Masjid Nur Salam menggema di langit Tamansari membawa perempuan itu mendekatiku. Itu pertanda pertunjukan segera berakhir. Mereka berkenalan.
Menukas cerita Jar, aku bertanya padanya, ”Apa kamu sudah tak ingin jadi ikan, Jar?”
”Apa kamu pikir ikan bisa menjadi kuncen kuburan?” Jar mengulum senyum lalu melangkah pergi menuju kuburan Dipati, rumahnya.
Saat kami berjalan menyisir sisi utama alun-alun ke arah masjid, dia bertanya padaku. ”Apa dia benar-benar bercita-cita menjadi ikan?”
”Dia kehilangan ayahnya di sungai, selagi kami kecil. Dia ingin menjadi ikan karena ia selalu berpikir ayahnya bertiwikrama menjadi ikan dan tinggal di lubuk sungai Serayu.”
Fakuntsin, 22-23
Mufti Wibowo, penulis berdomisili di Purbalingga