Memahami Gerakan Mahasiswa Dunia Suarakan Palestina
Gelombang protes mahasiswa terhadap kekejaman Israel di Gaza berlangsung di beberapa negara.
Kekejaman yang terus terjadi di Gaza memicu reaksi keras dari kelompok mahasiswa di dunia. Gelombang protes yang berlokus di kampus mekar di beberapa negara secara bersamaan. Fenomena ini menandakan masih terpeliharanya semangat aktivisme antiperang yang terus subur di kalangan sivitas akademika dunia.
Dalam minggu pertama bulan Mei terjadi aksi demonstrasi terkait penjajahan Palestina di enam kampus di AS. Mulai dari University of Southern California hingga University of Virginia, ribuan mahasiswa mengekspresikan kegeramannya atas kebrutalan Israel di Gaza.
Aksi yang dilakukan para mahasiswa ini ditanggapi dengan keras oleh pihak otoritas. Di University of Southern California, polisi membubarkan mahasiswa yang berkemah sebagai bentuk protes. Respons yang lebih ganas dilakukan pihak kepolisian di DePaul University, dengan menangkapi beberapa mahasiswa yang mengikuti aksi.
Hal serupa terjadi di University of California Los Angeles (UCLA). Di universitas ini terjadi bentrok antara massa dan pihak kepolisian.
Aksi represif yang dilakukan pihak keamanan dikembangkan menjadi operasi keamanan kampus dengan ratusan mahasiswa ditahan. Parahnya, pihak kampus pun justru cenderung mendukung represivitas aparat, alih-alih melindungi kebebasan siswanya untuk berpendapat.
Tidak hanya di Amerika Serikat, aksi protes ini juga dilakukan mahasiswa di kampus-kampus di belahan dunia lain. Salah satunya dilakukan para pelajar di Inggris. Mereka berasal dari beberapa kampus besar, seperti The University of Manchester, The University of Leeds, York University, Newcastle University, The University of Sheffield, dan The University of Bristol.
Bara demonstrasi juga menjalar hingga Paris. Di kota ini, ratusan mahasiswa dari kampus kenamaan Sorbonne Universite menyampaikan suara kontra terhadap penjajahan Israel di Palestina. Aksi ini pun diikuti siswa dari kampus Sciences Po yang akhirnya berujung pada gesekan dengan pihak kepolisian.
Baca juga: Hadapi Kebrutalan Aparat, Unjuk Rasa Mahasiswa di AS Kian Membara
Tuntutan utama
Meskipun sama-sama mengecam pendudukan Israel di Palestina, protes yang diinisiasi para mahasiswa ini memiliki tuntutan yang sedikit berbeda. Secara umum terdapat satu tema besar yang muncul di setiap aksi demonstrasi, yakni permintaan untuk disepakatinya gencatan senjata (ceasefire).
Namun, terdapat tuntutan berbeda yang muncul dari kalangan akademisi AS, yakni disclose dan divest. Tuntutan ini berkaitan dengan kegiatan akademik di beberapa universitas di AS yang berhubungan dengan Pemerintah Israel.
Nyatanya, berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan AS, sekitar 100 lembaga pendidikan tinggi di AS melaporkan bahwa mereka menerima dana dalam bentuk hibah ataupun kontrak investasi sebanyak lebih dari 375 juta dollar AS selama dua dekade terakhir.
Terdapat dua persoalan yang disoroti mahasiswa terkait dengan hal ini. Pertama, angka ini diduga bukan angka sebenarnya. Sebab, berdasarkan laporan dari Times of Israel, ditemukan beberapa kasus kurang lapor (underreporting) dan ”pencucian” dana hibah melalui berbagai lembaga yayasan yang dikelola universitas.
Kedua, karena ketidakjelasan ini, menjadi sulit untuk benar-benar mengetahui bagaimana dana tersebut digunakan. Laporan dari kelompok mahasiswa di Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan, terdapat beberapa peneliti dari kampusnya yang menerima dana dari Kementerian Pertahanan Israel selama satu dekade terakhir.
Laporan tersebut juga menyatakan, dana sekitar 11 juta dollar AS ini merupakan ”investasi” dari Israel untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak (drone) dan antirudal Israel.
Melihat hal tersebut, para mahasiswa yang mengetahui kampusnya menerima dana dari Israel pun menuntut kampusnya untuk melakukan disclose dan divest. Disclose di sini bermakna keterbukaan, sedangkan divest berarti divestasi.
Artinya, para demonstran meminta kampusnya bisa membuka sebesar apa dana yang diberikan atau diinvestasikan oleh Israel dan untuk apa saja dana tersebut digunakan. Lebih lanjut, mereka juga meminta pihak kampus untuk memutus hubungan bisnis dengan Israel. Terutama yang berkaitan dengan upaya pemutakhiran alutsista negara tersebut.
Sayang, tuntutan ini tampaknya sulit dikabulkan pihak kampus. Berdasarkan keterangan dari salah satu kampus, Vanderbilt University, bagian investasi di rektorat kampus tidak bisa melakukan divestasi secara sepihak atas dasar alasan politis. Pasalnya, kampus harus bisa menjaga ”netralitas” dan tidak ikut terlibat melakukan boikot terhadap entitas ataupun negara tertentu.
Selain alasan internal, rektor universitas ini juga menyatakan bahwa divestasi bisa melanggar hukum federal yang bertujuan untuk mencegah aksi boikot terhadap negara aliansi AS, salah satunya adalah hukum di Negara Bagian Tennessee. Apabila melanggar, kampus bisa mendapat sanksi dan tidak lagi mendapat pembiayaan dari pemerintah negara bagian.
Baca juga: Antisemitisme dan Divestasi di Pusaran Unjuk Rasa Mahasiswa AS
Israel kian agresif
Dampak dari tekanan mahasiswa ini belum bisa dibilang efektif. Pasalnya, di tengah besarnya gelombang demonstrasi, Israel justru menambah intensitas serangan ke Palestina.
Pada Selasa (7/5/2024), Israel memberikan ultimatum kepada warga Palestina yang berada di Rafah untuk segera meninggalkan lokasi tersebut. Tak lama berselang, Israel melakukan serangan besar-besaran dan mobilisasi untuk menduduki wilayah di Gaza bagian selatan tersebut.
Serangan ini memicu reaksi yang cukup keras dari komunitas internasional. Buktinya, AS sampai menunda pengiriman hibah 3.500 bom kepada Israel pascaserangan tersebut. Sejak perang dimulai pada 7 Oktober, penundaan pengiriman persenjataan AS ke Israel ini menjadi yang pertama kalinya terjadi.
Reaksi ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, selama ini Rafah menjadi lokasi warga Palestina di bagian utara yang rumahnya telah luluh lantak akibat gempuran Israel. Setidaknya, terdapat satu juta pengungsi yang selama ini berlindung di Rafah.
Walhasil, serangan intensif di Rafah akan memperparah situasi kemanusiaan di Palestina. Dapat dipastikan, gelombang eksodus akan muncul dalam waktu dekat, dengan mengalirnya ratusan ribu hingga jutaan warga Palestina yang mencari suaka ke negara-negara di Timur Tengah, Afrika, bahkan hingga Eropa. Tak ayal, serangan ini pun berpotensi memperparah instabilitas di kawasan-kawasan tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Unjuk Rasa Pro-Palestina Berlanjut di Kampus UCLA, Polisi Serbu Kampus Lagi