Adakah Kejutan dalam Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres?
Mahkamah Konstitusi akan memutus sengketa Pemilihan Presiden 2024. Akankah ada kejutan dari putusan MK ini?
Senin, 22 April 2024, ini akan menjadi puncak dari proses persidangan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden 2024. Perhatian publik tersita pada proses persidangan sengketa pemilu ini. Diskursus publik pun sampai pada spekulasi, apakah ada kejutan dalam putusan Mahkamah Konstitusi nanti.
Jika merujuk Pasal 53 Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 4 Tahun 2023, lembaga ini memiliki tiga jenis amar putusan, yakni menyatakan permohonan tidak dapat diterima, menyatakan menolak permohonan pemohon, atau menyatakan mengabulkan permohonan pemohon.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dari tiga jenis amar putusan MK ini, spekulasi di ruang publik lebih mengarahkan pada adanya kejutan putusan MK pada PHPU Pemilihan Presiden 2024 ini.
Setidaknya ada dua isu yang menggaung di ruang publik. Pertama, isu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan/atau wakil presiden yang dialternatifkan bagi calon yang pernah menjabat kepala daerah.
Isu putusan MK ini pun kembali memenuhi ruang publik seiring dengan gugatan perselisihan hasil pemilu yang diajukan pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 1, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Lolosnya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden dinilai berhubungan dengan putusan MK terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden di atas. Selain itu juga ada dugaan kecurangan dengan masifnya fenomena pemberian bantuan sosial (bansos) di masa kampanye pemilihan presiden yang dinilai menguntungkan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran.
Isu kedua adalah terkait maraknya sejumlah tokoh dan kelompok masyarakat yang peduli dengan kasus PHPU ini sehingga muncul fenomena pengajuan amicus curiae (sahabat pengadilan) kepada MK.
Amicus curiae ini diajukan oleh perseorangan atau organisasi yang bukan merupakan pihak dalam suatu perkara hukum, tetapi diperbolehkan membantu pengadilan dengan memberikan informasi, keahlian, atau wawasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam perkara tersebut.
Menurut catatan MK melalui juru bicaranya, Fajar Laksono Suroso, hingga 17 April 2024, sebanyak 23 amicus curiae telah disampaikan kepada MK, termasuk salah satunya berasal dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pengajuan sebagai sahabat pengadilan dalam kasus PHPU Pilpres 2024 ini adalah fenomena baru karena pada pilpres sebelumnya belum pernah muncul. Menurut Fajar, seberapa berpengaruh amicus curiae tersebut merupakan kewenangan penuh hakim konstitusi untuk memosisikan dan memberi penilaian hukum dalam pembahasan serta pengambilan keputusan sengketa hasil Pilpres 2024 (Kompas, 18/4/2024).
Setidaknya dari dua isu ini, yakni putusan MK terkait syarat pencalonan presiden dan pemberian bansos serta isu amicus curiae, turut menjadi bahan diskursus publik guna menakar bagaimana putusan MK nanti terkait sengketa pilpres ini.
Baca juga: Merunut Rekam Jejak Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres
Prediksi putusan MK
Sejumlah pihak pun mencoba menakar dan memprediksi bagaimana putusan MK nanti terkait PHPU ini. Setidaknya dari pemberitaan media muncul sejumlah tokoh yang memberikan analisis dan prediksinya tentang sejauh mana putusan MK ini akan dilahirkan.
Dari sejumlah prediksi yang muncul ada benang merah yang relatif sama, yakni MK berpeluang melahirkan kejutan meskipun kejutan yang dimaksud bisa dimaknai dari dua sisi, yakni kejutan MK akan menyatakan mengabulkan permohonan atau menolaknya. Keduanya sama-sama memiliki efek kejutan bagi publik.
Dari sekian banyak analisis dan prediksi yang ada, tiga di antaranya disampaikan oleh para pakar hukum dan pakar pemilu. Ketiganya adalah pakar hukum tata negara yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana; pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari; dan pakar hukum pemilu sekaligus pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini.
Denny Indrayana menyebutkan empat jenis putusan yang berpeluang diambil oleh hakim MK dalam memutuskan perkara PHPU Pilpres 2024 ini. Pertama, MK berpeluang menolak seluruh permohonan dan menguatkan putusan KPU yang memenangkan Prabowo-Gibran. Menurut Denny, situasi kondisi politik hukum di Tanah Air menjadi pertimbangan kuat opsi ini sangat mungkin menjadi kenyataan.
Kedua, MK berpeluang mengabulkan diskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran dan melakukan pemungutan suara ulang (PSU) yang hanya diikuti pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Denny berpandangan, langkah ini dinilai rumit dan sulit pembuktiannya sehingga kecil kemungkinan terjadi.
Ketiga, MK akan mengabulkan sebagian permohonan, salah satunya bisa saja Gibran didiskualifikasi sebagai cawapres dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun, langkah ketiga ini dinilai tetap tidak mudah. Keempat, MK mengabulkan sebagian permohonan, misalnya membatalkan kemenangan cawapres Gibran dan hanya melantik capres Prabowo Subianto. Namun, sekali lagi pilihan keempat ini tidak mudah.
Baca juga: MK yang Mulai, MK yang Mengakhiri
Komposisi hakim konstitusi
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, lebih melihat pada komposisi hakim konstitusi. Komposisi ini dilihat dari sikap para hakim MK terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Feri menilai ada sebagian hakim MK yang cenderung mempertanyakan proses pencalonan cawapres Gibran Rakabuming Raka. Sementara hakim konstitusi yang menyidangkan perkara sengketa pilpres saat ini ada delapan orang. Dari komposisi inilah potensi putusan MK memberikan kejutan bisa saja terjadi.
Sementara itu, pakar hukum pemilu sekaligus pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, memperkirakan akan ada kejutan dari MK terkait putusan dari PHPU Pilpres 2024. Dalam akun media sosialnya, Titi juga menjelaskan prediksinya terkait putusan MK ini.
Menurut Titi, MK tidak akan sampai pada mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran. Namun, ia memprediksi MK akan memerintahkan pemungutan suara ulang di sejumlah wilayah.
Meskipun demikian, MK tetap membutuhkan pertimbangan hukum yang kokoh dan solid untuk dapat mencapai putusan nanti, apakah menolak, mengabulkan, atau tidak menerima permohonan PHPU sengketa Pilpres 2024.
Artinya, peluang putusan MK menghasilkan kejutan bisa saja terjadi meskipun kejutan yang dimaksud bisa dimaknai sebagai putusan yang mengabulkan ataupun menolak. Namun, jika putusan MK menyatakan mengabulkan permohonan, bisa jadi hal itu akan menjadi catatan baru.
Sebab, merujuk rekam jejaknya, sejak berdiri, lembaga penjaga konstitusi ini sudah lima kali menangani perkara PHPU pemilihan presiden dan wakil presiden, yakni pada tahun 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024 ini.
Dalam empat perselisihan pemilihan presiden sebelumnya, lembaga penjaga konstitusi ini belum pernah mengabulkan gugatan. Apakah ada kejutan dari putusan MK hari ini? Kita tunggu saja.
(LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Megawati dan Mahasiswa Serahkan ”Amicus Curiae” ke Mahkamah Konstitusi