Siapakah Pemilih Loyal Ganjar-Mahfud?
Memilih capres dengan elektabilitas rendah bukan pilihan menyenangkan. Mengapa mereka tetap loyal memilih Ganjar-Mahfud?
Hasil penghitungan manual pemilu presiden dan wakil presiden yang dilakukan KPU telah selesai pada 20 Maret 2024. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD berada di urutan ketiga pasangan capres. Bagi simpatisan Ganjar-Mahfud dan PDI-P, angka raihan suara ini tampaknya dinilai terlalu rendah dibandingkan modal sosial yang dimiliki Ganjar-Mahfud dalam sejumlah kampanye serta karakteristik pendukungnya.
Keraguan akan hasil pilpres itu tecermin dari berbagai reaksi pendukung Ganjar-Mahfud di media sosial dan Ganjar Pranowo sendiri yang meminta semua pihak sabar menunggu hasil penghitungan KPU. Saat ditanya komentarnya soal hasil hitung cepat pilpres oleh sejumlah pewarta pascapengumuman hasil hitung cepat, 14 Februari 2024, Ganjar justru balik bertanya, ”Kamu percaya enggak hasil saya segitu?”
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam kampanye terakhir penutupan masa kampanye Pilpres 2024 di Benteng Vastenburg, Kota Solo, Jawa Tengah, 10 Februari 2024, terlihat antusiasme publik yang luar biasa, khususnya dari kader-kader PDI-P. Massa yang hadir untuk sekadar menonton ataupun turut berpartisipasi membeludak dan tetap bertahan meski hujan turun. Hari itu, sebanyak 13 ruas jalan di sekitar Benteng Vastenburg ditutup untuk mengakomodasi pawai kirab seni budaya dan penonton yang diperkirakan mencapai 100.000 orang.
Seminggu sebelumnya, 3 Februari 2024, Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud menggelar kampanye akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan peserta yang juga masif dengan perkiraan kehadiran 150.000 orang. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya bahkan masih meyakinkan massa bahwa mereka akan mampu mengalahkan lawan dan menang dalam satu putaran.
Di lebih dari 450 tempat kegiatan kampanye Ganjar-Mahfud di seluruh Indonesia sejak November 2023, hampir semuanya dihadiri secara antusias dan masif oleh masyarakat. Dukungan tak hanya dari simpatisan dan kader PDI-P, tetapi juga dari parpol pengusung PPP, Hanura, dan Perindo.
Salah satunya saat kampanye bersama PDI-P dan ormas Joxzin di Alun-alun Wates Kulon Progo, DI Yogyakarta (29 Januari 2024), yang mengulang sejarah kampanye kader merah dan hijau berbarengan di Yogyakarta. Padahal, biasanya dua kekuatan massa ini lebih sering berseteru jika masa kampanye pemilu berlangsung.
Tak heran, saat itu baik Ganjar maupun Ketua TPN Arsjad Rasjid optimistis bakal memenangi Pemilihan Presiden 2024. Mereka membandingkan antara apa yang dilihat dan dirasakan di lapangan kampanye dengan berita tentang hasil survei.
”Ada kondisi konseptual, hasil pengambilan data dari survei, tetapi ada realitas sosiologis. Dan hari inilah realitas sosiologis yang saya dapat. Rasa-rasanya, kalau kita seperti ini terus kondisinya, kami hakulyakin apa yang menjadi sorotan mata rakyat, apa yang menjadi suara rakyat, apa yang menjadi optik dari kumpulnya rakyat, insya Allah itu sesuatu yang rill,” ujar Ganjar (Kompas, 19/1/2024).
Namun, semua harapan itu runtuh pada hari pencoblosan 14 Februari 2024 setelah hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel menunjukkan hasil akhir penghitungan suara Ganjar-Mahfud terpuruk. Jangankan menang satu putaran, bahkan untuk masuk putaran kedua—jika ada—juga tampaknya tak mungkin tercapai karena besarnya selisih suara dengan kandidat lainnya.
Perolehan suara Ganjar-Mahfud tertinggal jauh oleh dua kandidat lainnya, termasuk oleh pasangan Anies-Muhaimin yang pada masa awal kampanye merupakan kandidat yang senantiasa berada di peringkat bawah. Oleh karena itu, tak heran jika bagi pemilih Ganjar-Mahfud, TPN, bahkan petinggi PDI-P, fakta-fakta hasil hitung cepat itu bagaikan petir di siang bolong.
Elektabilitas di bawah tekanan politik
Meski demikian, bagi publik yang mencermati dinamika penghitungan suara pasangan capres, perolehan suara Ganjar-Mahfud pada hari pencoblosan 14 Februari 2024 sebenarnya bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Bahkan angka itu sejatinya malah merupakan resiliensi elektoral dari kondisi bulan sebelumnya.
Bagaimana tidak, seperti yang terlihat dari hasil survei Kompas pada awal Desember 2023, elektabilitas Ganjar-Mahfud saat itu masih berada di angka 15,3 persen, di bawah Anies-Muhaimin (16,7 persen) dan Prabowo-Gibran (39,3 persen).
Angka elektabilitas Ganjar-Mahfud tersebut merupakan yang terendah sejak Oktober 2022, dengan capaian suara Ganjar Pranowo berkisar 32,6-37,0 persen dan memimpin perolehan suara pilpres berdasarkan hasil survei. Namun, raihan angka itu dicapai dengan catatan, Ganjar belum berpasangan dengan Mahfud MD dan dukungan Jokowi masih belum difokuskan ke Prabowo-Gibran.
Selanjutnya kita mengetahui perihal ”migrasi pemilih” karena faktor dukungan Jokowi kepada Prabowo-Gibran yang tecermin dari melejitnya suara Prabowo-Gibran dan merosotnya suara Ganjar-Mahfud, sementara suara Anies cenderung sedikit meningkat. Memang, rata-rata lembaga survei saat itu masih menaruh angka elektabilitas Ganjar di kisaran 20-25 persen pada periode pengambilan data hingga akhir Desember 2023.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto bahkan mengatakan yang terjadi bukan migrasi atau hilangnya basis suara, melainkan shock voters alias pemilih yang terguncang hebat akibat langkah Presiden Joko Widodo, yang selama ini didukung PDI-P, beralih mendukung capres nomor urut 2, Prabowo-Gibran.
Betapa pun, meski publik pendukung Ganjar-Mahfud sudah mengetahui beratnya perlawanan yang harus dilakukan untuk mengalahkan pasangan calon yang didukung presiden, spirit untuk tetap berjuang tampak jelas. Tak hanya dari tingkat anak ranting PDI-P yang tetap gigih melakukan kampanye, bahkan petinggi parpol koalisi pun, termasuk Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang, kerap terlihat aktif berkampanye.
Kegigihan itu kian terbukti di lapangan. Dari semua capres ataupun parpol peserta pemilu, sepertinya hanya kader PDI-P yang banyak berbenturan secara fisik dalam masa kampanye. Dari soal dipermasalahkannya penggunaan knalpot brong oleh pemotor peserta kampanye, pencopotan baliho di sejumlah wilayah, pencegatan peserta kampanye PDI-P di jalan raya, hingga pengeroyokan massa.
Hal itu belum termasuk banyaknya dugaan”intimidasi halus” berupa pemanggilan tokoh/pemuka masyarakat dan tekanan untuk memilih capres tertentu. Muncul pula dugaan dihambatnya dana kampanye berupa sumbangan pengusaha lokal ataupun nasional, yang pada pemilu-pemilu sebelumnya menjadi aliran darah bagi kampanye pilpres maupun pileg PDI-P.
Dan yang paling mencolok dan berlarut-larut ialah proses pemidanaan kepada jurnalis Aiman Witjaksono yang menyatakan keterlibatan oknum aparat.
Dalam beberapa kasus, kegiatan kampanye bahkan mencuat menjadi serius dan memakan korban. Sebagaimana terjadi kasus kader PDI-P di Boyolali yang diduga dihajar oknum tentara, 30 Desember 2023, bentrokan dengan massa partai lain, hingga kader partai yang dikeroyok hingga tewas (kasus Maguwoharjo, DIY, 24 Desember 2023).
Namun, di tengah berbagai tekanan dan intimidasi itu terbukti masih mampu memberikan perlawanan elektabilitas politik dan memberikan elektabilitas bagi Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Lantas, siapakah para pemilih loyal Ganjar-Mahfud itu?
Demografi dan profil pemilih loyal Ganjar-Mahfud
Gambaran pemilih loyal Ganjar-Mahfud terekam dari hasil survei pascapencloblosan (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas kepada sebanyak 7.863 responden pemilih pemilu sesaat mereka keluar dari tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia. Jumlah TPS yang dijadikan sampel sebanyak 2.000 TPS dengan masing-masing 4 responden di tiap TPS.
Dari segi demografi, pemilih Ganjar-Mahfud cenderung lebih banyak proporsi laki-laki (52,9 persen) ketimbang perempuan (44,5 persen). Demikian juga dari segi usia, proporsi pemilih Ganjar-Mahfud lebih condong ke pemilih usia tua sebanyak 44,4 persen dan lansia 14,8 persen. Komposisi pemilih muda dan generasi Z di kubu Ganjar-Mahfud memang cenderung lebih kecil daripada dua pasangan capres lainnya.
Latar belakang pendidikan pemilih Ganjar-Mahfud juga lebih tebal di pendidikan rendah (52,1 persen) ketimbang pasangan calon lain yang tak mencapai separuh bagian. Demikian pula dibandingkan dengan pasangan calon lainnya, pemilih Ganjar-Mahfud sangat didominasi suku Jawa yang mencakup hampir 60 persen pemilih. Ini berbeda jauh dengan calon lain yang hanya 43 persen di pemilih Prabowo-Gibran dan 29 persen di pemilih Anies-Muhaimin.
Loyalitas pemilih Ganjar-Mahfud juga tecermin dari proporsi terbesar menentukan pilihan yang sudah jauh hari dilakukan. Sebesar 48,8 persen dari pemilih Ganjar-Mahfud sudah lebih dari sebulan sebelumnya memantapkan pilihan untuk mencoblos pasangan ini. Proporsi ini cenderung lebih besar daripada Prabowo-Gibran (45,6 persen) dan Anies-Muhaimin (46,6 persen), padahal kedua pasangan kandidat lainnya sudah unggul hasil survei.
Pada saat responden pemilih Ganjar-Mahfud ditanya, apa alasan memilih pasangan capres tersebut, jawaban terbesar adalah ”merakyat” mencapai 37,4 persen. Secara proporsi di tiap-tiap capres, angka tersebut jauh lebih tinggi daripada jawaban terbesar ke Prabowo, yakni berani/tegas (30,9 persen), dan jawaban terbesar ke Anies-Muhaimin, yakni cerdas (18,7 persen).
Jika dibandingkan dengan rangkaian survei sebelumnya ketika capres belum didampingi cawapres, pola-pola jawaban berdasarkan demografi dan karakteristik calon tersebut relatif berpola serupa. Artinya, secara latar belakang rasional dan emosional pilihan, seharusnya tidak ada perbedaan besar terhadap cara melihat capres, baik sebelum maupun setelah berpasangan dengan cawapres. Sayangnya, lagi-lagi kondisi faktual hasil pemilu tidak menunjukkan premis awal yang diduga seperti itu.
Baca juga: Ganjar Sebut Reformasi Dikhianati, Kekuasaan Disalahgunakan di Pilpres 2024
Dari segi dukungan pemilih partai, para pemilih loyal Ganjar paling besar dari pemilih PDI-P, dengan 54,9 persen memilih Ganjar-Mahfud. Namun, tak hanya itu, sebagian pemilih Golkar (8,5 persen), sebagian pemilih PKB (11,2 persen), sebagian pemilih Nasdem (8,6 persen), sebagian pemilih PAN (7,8 persen), bahkan 4,9 persen pemilih PKS.
Sementara itu, dukungan pemilih dari parpol koalisi tampaknya belum bisa dianggap kuat karena proporsi relatif kurang. Pemilih Hanura yang memilih Ganjar-Mahfud hanya 22,2 persen, pemilih Perindo hanya 18,6 persen, dan pemilih PPP hanya 17,7 persen yang memilih Ganjar-Mahfud.
Mesin politik kekuasaan yang menentukan
Dengan melihat tidak konsistennya berbagai lanskap sosial politik menjelang dan hasil pencoblosan suara pemilu presiden, sulit mengingkari adanya peran penting faktor lain dalam ”membalik” pola kemenangan pilpres hanya dalam waktu kurang dari empat bulan. Itu terhitung dari mulai 25 Oktober 2023 saat batas akhir penetapan pasangan capres-cawapres, hingga 14 Februari 2024 saat pencoblosan.
Merunut kesesuaian elektabilitas capres-cawapres di survei-survei kredibel dengan kerja mesin politik, tampak bahwa elektabilitas Ganjar-Mahfud lebih banyak ditentukan faktor nonsosiologis-historis. Dalam arti, soal latar belakang kedaerahan, demografi, hingga perilaku sosial kurang mampu memberikan dampak insentif elektoral yang memadai.
Baca juga: PDI-P dalam Bayang Krisis Pemilih Mula
Sebaliknya, ada dimensi yang bersifat lebih pragmatis-rasional yang mampu mematahkan ikatan nostalgia historis-sosiologis yang sebelumnya memberikan manfaat elektoral yang tinggi bagi Ganjar-Mahfud hingga bulan Agustus 2023.
Salah satu faktor dukungan besar yang ditengarai menjadikan naik turun elektabilitas Ganjar-Mahfud tampaknya harus diarahkan pada kerja-kerja politik (ataupun nonpolitik) yang berada di luar latar belakang pertimbangan sosiologis para capres sebagai kapital sosial alaminya.
Lebih jelasnya, pada saat mesin politik yang beraliansi dengan Presiden Jokowi semakin jelas tidak berada di belakang Ganjar-Mahfud, kekuatan politik yang sebelumnya memperkuat ikatan historis-sosiologis itu pun berpendar dan kekuatan sokongan politiknya meredup.
Ambil contoh berpalingnya kelompok-kelompok penyokong dana kampanye, kelompok sukarelawan, hingga jaringan aktivis politik yang sebelumnya berada di satu kapal, menjadi terpecah ke kubu Prabowo-Gibran pula.
Perpecahan itu terjadi di tingkat asosiasi pengusaha nasional, pengusaha daerah, sukarelawan pendukung Jokowi pada Pemilu 2014-2019, hingga ke masyarakat bawah. Banyak keluarga mengalami perbedaan pilihan politik dalam Pemilu 2024 karena perbedaan orientasi politik ataupun pragmatisme lainnya.
Di lingkaran dalam kepresidenan pun terjadi ”perpecahan” akibat perbedaan orientasi pilihan politik Pemilu Presiden 2024. Perbedaan orientasi pilihan politik itu merembet hingga ke Kantor Staf Presiden, seperti tecermin dari mundurnya salah satu deputi Kantor Staf Presiden karena pertimbangan etika dan keyakinan.
Saat ini, dugaan itu banyak diarahkan kepada masifnya bansos yang dibagikan pada November 2023-Januari 2024, dugaan pengerahan aparat, dan ”cawe-cawe” Presiden Jokowi pada masa kampanye pemilu.
Kini, hasil penghitungan suara KPU sudah selesai dan ditetapkan, tetapi kubu Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud belum menerima hasil pemilu. Kedua kubu telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan dalil terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Kita masih akan menunggu hasil akhir drama politik pemilu presiden setelah putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. Namun, apa pun yang nantinya akan diputuskan, mereka yang memilih Ganjar-Mahfud (dan juga Anies-Muhaimin) tentu memiliki kebanggaan tersendiri atas langkah memilih calon presiden yang dianggap bersih dan jujur tanpa manipulasi meski dengan proporsi yang minim sekalipun. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ganjar-Mahfud: Gugatan ke MK untuk Menjaga Kewarasan