Ketika Perselisihan Hasil Suara Tak Seharusnya Berlanjut ke MK
Ada sebagian putusan Bawaslu yang tidak dapat ditindaklanjuti oleh KPU karena tahapan rekapitulasi suara sudah usai.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Sebagian perkara perselisihan hasil pemilihan anggota legislatif sejatinya sudah terbukti dan diputus dalam sidang dugaan pelanggaran administratif di Badan Pengawas Pemilu. Sayangnya, sebagian putusan tak bisa ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum karena tahapan rekapitulasi suara telah berakhir.
Situasi itu dialami oleh sejumlah partai politik dan calon anggota legislatif yang mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) anggota legislatif ke Mahkamah Konstitusi. Salah satunya caleg Partai Nasdem dari daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Tenggara, Ali Mazi. Mantan Gubernur Sultra itu harus menempuh jalan yang lebih panjang untuk merebut satu kursi DPR yang bakal diperoleh Nasdem dari dapil Sultra.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kuasa hukum Ali Mazi, Heriyanto Citra Buana, saat membacakan permohonannya dalam sidang sengketa PHPU pileg pada Kamis (2/5/2024) di Gedung MK, Jakarta, mengatakan, pihaknya menemukan penambahan suara bagi caleg Nasdem nomor urut 2, Tina Nur Alam. Penambahan sebanyak 1.100 suara terjadi saat rekapitulasi di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Wakatobi.
Akibatnya, Tina unggul dalam perolehan suara atas Ali Mazi sehingga berpeluang kembali ditetapkan sebagai caleg terpilih. Tina yang mendapatkan penambahan suara hingga 1.100 suara memperoleh 68.683 suara, sedangkan Ali Mazi hanya mendapatkan 68.093 suara.
Heriyanto menuturkan, temuan penambahan suara itu sudah disampaikan saat rekapitulasi tingkat nasional di Komisi Pemilihan Umum. Ketua KPU Hasyim Asy’ari pun meminta saksi Nasdem, Dedy Ramanta, menuliskannya dalam formulir keberatan.
Hasyim juga meminta saksi dari Nasdem untuk menyampaikan temuan itu ke Bawaslu agar diproses dalam dugaan pelanggaran pemilu secara adjudikasi. Putusan Bawaslu itu nantinya akan dijadikan dasar untuk mengoreksi perolehan suara.
Atas petunjuk tersebut, saksi Nasdem akhirnya menyampaikan laporan dugaan pelanggaran administrasi ke Bawaslu. Dalam putusannya, Bawaslu membenarkan adanya penambahan atau penggelembungan suara untuk calon anggota DPR atas nama Tina sebanyak 1.100 suara. KPU dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi serta diberi sanksi teguran untuk tidak mengulang melakukan pelanggaran.
”Semestinya Bawaslu sudah harus memerintahkan kepada KPU untuk melakukan koreksi terhadap penggelembungan suara tersebut. Akan tetapi, pelaksanaan koreksi perolehan suara partai dan calon pascapenetapan hasil pemilu diserahkan ke MK,” kata Heriyanto.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengakui bahwa putusan baru dikeluarkan pada 21 Maret 2024 atau sehari setelah penetapan hasil pemilu oleh KPU. ”Jadi, kita sudah serahkan ke KPU, tapi karena sudah penetapan tidak bisa ditindaklanjuti,” ujarnya.
Situasi yang sama dialami oleh caleg DPRD Kota Palembang dari Partai Persatuan Pembangunan, Rina Indah. Dugaan penambahan suara untuk caleg Nasdem, Andri Adam, dan pengurangan suara kepada dirinya telah terbukti dalam sidang dugaan pelanggaran administratif di Bawaslu Sumatera Selatan.
Rina pun semestinya tidak perlu mengajukan sengketa ke MK apabila putusan pelanggaran administratif dari Bawaslu Sumsel itu ditindaklanjuti KPU Kota Palembang.
Jadi, kami sudah serahkan ke KPU, tapi karena sudah penetapan tidak bisa ditindaklanjuti.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, sebagian putusan pelanggaran administratif oleh Bawaslu yang berkaitan dengan administrasi tahapan penetapan rekapitulasi suara hasil pemilu memang tidak bisa dieksekusi oleh KPU.
Terlebih, Titi melanjutkan, apabila putusan Bawaslu tersebut dibacakan setelah tanggal 20 Maret 2024. Sebab, setelah penetapan hasil rekapitulasi suara nasional, sengketa bergeser menjadi obyek perkara perselisihan hasil pemilu yang merupakan kewenangan MK.
”Hal itu juga demi menjaga tertib hukum penegakan keadilan pemilu agar tidak ada tumpang tindih kewenangan dan dalam rangka memberikan kepastian hukum,” katanya.
Namun, menurut Titi, perkara pelanggaran administratif pemilu yang sudah diputus Bawaslu mestinya dapat menjadi pertimbangan MK dalam memutus sengketa hasil pemilu. Merujuk pada proses PHPU Pilpres 2024 dan PHPU Pileg 2019, putusan Bawaslu terkait penanganan pelanggaran pemilu menjadi rujukan dan pertimbangan yang sangat krusial bagi MK dalam memutus suatu permohonan.
Hal itu juga demi menjaga tertib hukum penegakan keadilan pemilu agar tidak ada tumpang tindih kewenangan dan dalam rangka memberikan kepastian hukum.
Bahkan, dalam PHPU Pilpres 2024, MK cenderung mengamini apa yang telah diputuskan Bawaslu. Apalagi, Bawaslu juga akan menjadi pemberi keterangan dalam sidang PHPU pileg yang tentu akan memberi insentif tersendiri bagi permohonan pemohon untuk dikabulkan.
Oleh karena itu, penting bagi parpol dan caleg untuk mampu merangkum permohonannya dengan kronologi dan alat bukti yang solid. Hal ini diperlukan agar bisa meyakinkan majelis hakim MK.
Sebab, tetap ada kemungkinan MK mengabaikan putusan atau rekomendasi Bawaslu. Seperti halnya dalam Pilkada 2020, ketika itu ada sejumlah rekomendasi diskualifikasi calon yang justru dikesampingkan oleh MK dalam memutus perkara perselisihan pilkada.
”Akhirnya, kekuatan alat bukti dan kemampuan membangun argumentasi hukum dari pemohonlah yang akan menentukan masa depan suatu perkara,” ucap Titi.