Catatan Perlindungan Buruh yang Belum Menyeluruh...
Pemenuhan kesejahteraan, kesehatan, dan perlindungan pekerja masih jauh dari ideal. Semoga kasus Marsinah tak terulang.
”Kalau ngomongin pekerja, dibilang baik ya sebenarnya enggak baik-baik. Banyak orang belum bisa dapat pekerjaan layak,” kata Febry (38), pekerja di gudang sortir barang di Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/5/2024), saat dihubungi dari Jakarta.
Sudah hampir setahun terakhir Febry bekerja di gudang sortir barang. Sebagai pekerja di gudang, tugasnya menyortir, merapikan bungkus, dan mengangkat barang sebelum nantinya dikirim ke alamat pemesan.
Dengan status pekerja lepas, Febry tidak punya jadwal kerja pasti. Ini membuat pendapatannya juga pasang surut. Selain itu, Febry juga tidak mendapatkan jaminan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja secara utuh karena bukan pegawai tetap.
Baca juga: Berjuang Menjadi Buruh Tetap hingga Berjibaku Memperoleh Kembali Hak atas Tanah
”Kadang-kadang saya khawatir sakit atau mengalami kecelakaan, terus bagaimana,” ujarnya. Oleh karena itu, Febry secara mandiri mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan. Ia juga sering mengambil pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kadang-kadang saya khawatir sakit atau mengalami kecelakaan, terus bagaimana.
Menurut Febry, banyak orang sulit mendapatkan pekerjaan layak karena level pendidikan, keterbatasan akses, serta mengalami diskriminasi karena usia, identitas jender, dan orientasi seksualnya. Kalaupun mendapat pekerjaan layak, kelompok marjinal memperoleh upah minim, tidak memperoleh semua hak, dan kerap mengalami persekusi di tempat kerja.
Kebijakan pembatasan usia kerja, misalnya, membuat banyak orang tua jadi penganggur. ”Itu membuat tingkat kemiskinan tinggi dan orang tua menjadi beban keluarga. Seharusnya, mereka yang masih mampu bekerja diberikan ruang untuk bekerja,” katanya.
Sebagai transpuan, Febry juga mengalami perlakuan diskriminatif itu. ”Di tempat kerja, banyak yang suka menyepelekan, mencibir, dan mengolok-olok. Awalnya syok, tetapi akhirnya saya biarkan saja. Saya tidak peduli, karena hanya mau bekerja,” ujarnya.
Di tempat kerja, banyak yang suka menyepelekan, mencibir, dan mengolok-olok. Awalnya syok, tetapi akhirnya saya biarkan saja. Saya tidak peduli, karena hanya mau bekerja.
Pada Hari Buruh, Febry berharap pemerintah bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang baik dan layak untuk semua ragam jender. Ia juga berharap ada perlindungan menyeluruh bagi pekerja dan pelaksanaan aturan di tempat kerja tidak diskriminatif.
Tiga era waktu
Berdasarkan buku Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2011), persoalan ketenagakerjaan di Indonesia dapat dipahami dari tiga era waktu.
Pascakemerdekaan, peraturan ketenagakerjaan cenderung memberi jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Ini dapat dilihat dari beberapa peraturan di bidang perburuhan yang diundangkan pada masa ini.
Pada era pascakemerdekaan, peraturan ketenagakerjaan cenderung memberi jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Ini dapat dilihat dari beberapa peraturan di bidang perburuhan yang diundangkan pada masa ini. Sumbangan bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi (1945-1949), menjamin gerakan buruh mendapat tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.
Pada era prareformasi, terdapat perubahan kekuasaan politik menjelang pertengahan tahun 1960-an, yang dikenal sebagai era pemerintahan Orde Baru. Masalah yang dihadapi Indonesia pada tahun 1966 dan 1967 cukup berat, terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Proyek padat karya merupakan suatu program yang bertujuan untuk menampung sebanyak mungkin penganggur dan setengah penganggur dengan menggunakan modal relatif kecil.
Pada era Orde Baru ini, organisasi buruh dapat dibilang tertindas dan diatur sedemikian rupa. Hanya organisasi buruh bentukan pemerintah yang diakomodasi. Ujungnya, tewasnya Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur, yang memperjuangkan hak-hak buruh. Ia tewas tragis oleh aparat saat itu. Meski demikian, kematian Marsinah seperti memberi inspirasi gerakan buruh yang semakin masif di era berikutnya.
Pada era Reformasi, terdapat masalah kompleks, termasuk membengkaknya utang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, dan konglomerasi usaha. Gerakan reformasi politik juga telah menstimulasi reformasi serikat pekerja di Indonesia. Banyak buruh dan pekerja di Indonesia merasa memperoleh kembali hak-haknya untuk berorganisasi secara bebas.
Serikat pekerja melakukan banyak hal untuk mendorong perbaikan kehidupan pekerja, salah satunya menuntut pembentukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JSN) dan mendukung Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
Serikat pekerja melakukan banyak hal untuk mendorong perbaikan kehidupan pekerja, salah satunya menuntut pembentukan program Jaminan Kesehatan Nasional (JSN) dan mendukung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Buruh dikorbankan
Sayangnya, menurut Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, pemenuhan kesejahteraan dan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan bagi para pekerja masih jauh dari kata ideal. Bahkan, selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kehidupan buruh dikorbankan dengan membungkam hak konstitusional dan demokrasi mereka.
Arif mencontohkan, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan disahkan meski mendapatkan penolakan luas dari gerakan buruh. Melalui PP, penetapan upah minimum didasarkan pada besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi. ”Aturan inilah yang menandai dimulainya pembungkaman serikat buruh serta melucuti fungsi dan peran serikat pekerja/serikat buruh,” kata Arif.
Aturan inilah yang menandai dimulainya pembungkaman serikat buruh serta melucuti fungsi dan peran serikat pekerja/serikat buruh.
Pada 2020, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang omnibus law tersebut dinilai mengabaikan prinsip demokrasi dalam pembentukannya. Sebanyak 38 gugatan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi untuk menolak UU itu.
Putusan No 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun, bukannya mengikuti putusan MK, Jokowi justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Kami mengingatkan agar pemerintah, DPR, dan MK tidak meneruskan praktik-praktik inkonstitusional dan melanggar prinsip demokrasi.
Arif mengatakan, persoalan yang dihadapi buruh merupakan dampak dari prinsip demokrasi yang dirusak Jokowi. ”Kami mengingatkan agar pemerintah, DPR, dan MK tidak meneruskan praktik-praktik inkonstitusional dan melanggar prinsip demokrasi,” ujarnya.
Tak banyak diharapkan
Baca juga: UU Cipta Kerja Sah, Masyarakat Desa dan Buruh Semakin Resah
Seiring dengan akan dibentuknya pemerintahan baru, Arif menuturkan, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintahan di bawah calon presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto. Penyebabnya, proses pemilihan dilakukan dengan melanggar hukum sehingga sulit dipercaya bahwa Prabowo akan melakukan perubahan di Indonesia.
Di tengah kenyataan itu, menurut dia, masyarakat tidak bisa berharap kepada lembaga negara. Apalagi, kemungkinan besar tidak ada partai oposisi yang akan mengkritik pemerintah. ”Ini panggilan konstitusional bagi rakyat Indonesia agar rakyat bisa melaksanakan peran oposisi. Kita hanya bisa berharap pada kekuatan sipil kritis dari masyarakat untuk bergerak mengoreksi negara dan pemerintah,” katanya.
Harapannya, tentu jangan sampai kasus kematian Marsinah terulang di era Reformasi ini.