JAKARTA, KOMPAS — Foto presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, marak dijual secara daring dan luring di lapak-lapak tradisional. Istana menilai penjualan foto-foto tersebut menjadi bukti tingginya antusiasme masyarakat dalam menyambut presiden dan wapres terpilih. Namun, pemasangan foto presiden dan wapres di rumah-rumah warga sebenarnya tidak wajib atau opsional.
Poster foto dan foto dengan bingkai bergambar Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 sudah marak dijual di pasar digital dengan harga beragam, mulai dari Rp 10.000. Penjual umumnya mencantumkan keterangan bahwa foto yang dijual bukan foto resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Sekretariat Negara.
Namun, penampilan Prabowo dan Gibran di foto tersebut umumnya seragam dengan jas hitam, kemeja putih, berpeci hitam, dan dasi merah. Di lapak luring, foto Prabowo-Gibran antara lain bisa dijumpai di lapak pedagang poster dan lukisan di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Foto presiden dan wapres terpilih periode 2024-2029 ini dijual dengan harga ratusan ribu rupiah untuk satu setnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menegaskan bahwa pada prinsipnya, tidak ada kewajiban untuk memasang foto presiden dan wapres. ”Karena sejatinya, presiden dan wapres bukanlah simbol ataupun lambang negara,” ujar Herdiansyah saat dihubungi, Minggu (28/4/2024).
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lembaga Negara, serta Lagu Kebangsaan disebutkan, simbol negara itu hanya mencakup bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Simbol yang wajib dipasang adalah lambang negara, yakni Garuda Pancasila.
Ketentuan Pasal 51 Huruf a UU No 24/2009 juga menyebut bahwa lambang negara wajib digunakan di dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan. Hal ini diperkuat dalam penjelasan Pasal 53 Ayat (1) Huruf d UU a quo yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”gedung atau kantor lain” adalah gedung sekolah, kantor perusahaan swasta, organisasi dan lembaga-lembaga.
Pada prinsipnya, tidak ada kewajiban untuk memasang foto presiden dan wakil presiden. Karena sejatinya, presiden dan wakil presiden bukanlah simbol ataupun lambang negara.
Herdiansyah menegaskan bahwa pemasangan foto presiden itu pun bersifat opsional, bukan kewajiban. Karena itu, dalam Pasal 55 UU tersebut disebutkan, kalaupun foto presiden dipasang, harus lebih rendah dari lambang negara. ”Sebatas itu. Tidak ada perintah atau kewajiban dalam UU untuk memasang foto presiden dan wakil presiden,” ujarnya.
Pemasangan foto presiden dan wakil presiden didasarkan pada Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Namun, kedua kebijakan itu hanya mengikat secara internal kelembagaan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menilai bahwa maraknya penjualan foto presiden dan wapres terpilih menunjukkan antusiasme masyarakat yang luar biasa. ”KPU sudah menetapkan. Sah, hanya saja belum dilantik. Tinggal waktunya menunggu batas Bapak Jokowi selesai. Jadi secara khusus memang tidak ada aturan terperinci jadi antusiasme masyarakat yang luar biasa dan fine-fine aja,” ujarnya.
Kebiasaan memajang foto presiden dan wapres di rumah warga dinilai merupakan representasi rasa bangga dan kagum dengan kandidat yang diusung dan dipilih pada pilpres lalu. Masyarakat juga meluapkan rasa antusiasme dengan mempersiapkan foto-foto tersebut sejak awal sambil menunggu hari pelantikan.
”Sampai sekarang di kantor-kantor masih fotonya Pak Jokowi dan Ma’ruf Amin. Antusiasme masyarakat tidak bisa dicegah. Sebaiknya menunggu pelantikan,”” kata Ngabalin.
Jelang pergantian pemerintahan, Ngabalin menilai situasi sangat kondusif. Hal ini antara lain karena Presiden terpilih adalah juga salah satu anggota kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi. Dengan demikian, Ngabalin menilai tidak ada kesulitan dalam proses transisi pemerintahan.