Sejak Pemilu 2009, jumlah caleg petahana yang terpilih kembali kian meningkat. Pendatang baru semakin sulit ke Senayan.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepemilikan modal besar dinilai menentukan kemenangan calon anggota DPR pada Pemilu 2024. Hal ini yang disinyalir membuat calon petahana lebih banyak yang terpilih kembali di pemilu dibandingkan pendatang baru. Namun, tak sedikit pula calon anggota DPR petahana yang bertahun-tahun telah merawat relasi dengan konstituen, tetapi ternyata kandas dengan wajah baru yang bermodal besar.
Berdasarkan penelusuran Centre for Strategic and International Studies (CSIS), terdapat tren peningkatan jumlah calon anggota DPR petahana yang terpilih kembali sejak Pemilu 2009. Bahkan, pada Pemilu 2024, jumlah calon anggota DPR petahana yang terpilih kembali sudah lebih banyak dari calon pendatang baru. Total sekitar 56,4 persen calon anggota DPR petahana terpilih kembali, sedangkan pendatang baru berjumlah 43,6 persen. Total kursi di DPR untuk periode 2024-2029 sebanyak 580 kursi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Jika ditilik dari setiap partai politik, persentase tertinggi jumlah anggota DPR petahana yang terpilih kembali berasal dari Partai Demokrat. Dari total 44 kursi DPR yang berpotensi diraih, 70,5 persen di antaranya petahana. Sebaliknya, persentase terendah dari Partai Nasdem. Hanya sekitar 46,4 persen caleg yang terpilih kembali berstatus petahana.
Terkait hal itu, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Djarot Saiful Hidayat, saat dihubungi, Kamis (25/4/2024), mengatakan, pemilu di Indonesia dirancang untuk memenuhi pertarungan individu, sangat rumit, dan membutuhkan biaya besar. Otomatis, sering kali hanya caleg yang bermodal besar yang bisa terpilih. Caleg dengan modal besar ini bisa saja petahana, tetapi tak jarang pendatang baru.
”Sistem pemilu kita dibuat untuk menopang kapitalisme dan new-kapitalisme. Konsekuensinya adalah terjadinya pertarungan pemodal, pertarungan uang,” kata Djarot.
Dengan kondisi itu, persaingan yang terjadi otomatis tak lagi melihat gagasan dan program yang dibawa calon, rekam jejak, kapasitas, dan integritasnya. Calon anggota legislatif (caleg) pun bersaing bukan hanya dengan caleg dari partai politik lain, tetapi bersaing pula dengan caleg dari partai yang sama.
”Akhirnya pemilu jadi brutal,” tambahnya.
Oleh karena itu, menurut Djarot, ada tantangan bagaimana sistem demokrasi bisa dikembalikan sesuai dengan ideologi konstitusi yang sederhana, menempatkan kelembagaan partai sebagai inti dan tujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno. ”Menurut saya, ini pemilu termahal karena calon anggota legislatif harus mengeluarkan biaya besar untuk menduduki kursi, baik itu calon petahana maupun non-petahana,” katanya.
Menjadi petahana meski kerap dianggap memiliki modal besar, tak menjadi jaminan bisa terpilih kembali. Eddy mencontohkan sembilan calon anggota DPR petahana dari PAN yang gagal melenggang ke Senayan. Padahal, selama menjabat, mereka intens merawat relasi dengan konstituen di daerah pemilihannya. Namun, mereka tetap kandas dengan calon non-petahana yang bermodal lebih besar.
”Rupanya mereka yang membuat kegiatan kampanye tanpa iming-iming atau hadiah menghadapi kendala,” ujarnya.
Alhasil, sikap pragmatis masyarakat pun menguat. Masyarakat menuntut iming-iming atau imbalan terlebih dulu sebagai syarat memilih calon. ”Pragmatisme ini juga akibat dari kekecewaan masyarakat. Banyak calon legislatif yang sudah duduk di DPR lupa kalau mereka berasal dari masyarakat. Akhirnya, masyarakat berusaha memaksimalkan di depan,” tambahnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia pun tak menampik tingginya biaya politik saat pemilu lalu. Namun, hal itu bisa disiasati dengan intens mendekati masyarakat dan menggunakan strategi komunikasi yang tepat. Selain itu, masyarakat juga tak sepenuhnya pragmatis. Mereka masih mau mendengarkan program-program yang ditawarkan calon dan menjadikannya sebagai rujukan saat memilih.
Mengenai jumlah calon anggota DPR petahana yang terpilih kembali lebih banyak dari non-petahana di Pemilu 2024, Doli mengatakan, di partainya, upaya untuk regenerasi intens ditempuh. Kader-kader yang belum pernah menjadi anggota DPR diberi ruang yang sama dengan calon petahana. Bahkan, pemilu jadi tempat menguji kader.
”Bagaimanapun, parpol ini harus memikirkan peremajaan. Tetapi, kedatangan anak-anak muda harus tetap diuji, dan paling gampang menguji mereka sebagai caleg,” ujarnya.
Menurut Ketua Departemen Politik dan Perubahan CSIS Arya Fernandes, tren peningkatan jumlah petahana yang menjadi anggota DPR menjelaskan betapa sulitnya bagi para pendatang baru untuk bertarung dalam pemilihan. ”Apalagi, pada saat yang sama harus berkompetisi dengan caleg dari dinasti politik dan biaya politik mahal,” katanya.
Kesuksesan para anggota DPR untuk terpilih kembali ke Senayan disebabkan beberapa hal, seperti mereka mempunyai pengalaman politik dan basis konstituen yang mereka rawat selama menjabat.
”Jaringan politik di daerah bisa mereka rawat dengan baik sehingga ketika maju lagi, tinggal aktivasi (dukungan) saja,” ujar Arya.
Ia juga menyebutkan, terdapat sejumlah petahana yang memanfaatkan program-program pemerintah, seperti pembangunan dan perbaikan infrastruktur, sebagai program yang diusulkan. ”Padahal, itu program pemerintah, tetapi diklaim sebagai usulan,” katanya.
Adapun petahana yang gagal mempertahankan kursinya, antara lain, karena petahana bertarung melawan tokoh-tokoh populer, seperti kepala daerah, mantan kepala daerah, ataupun tokoh yang berasal dari dinasti politik, pengusaha, atau punya dukungan dari pengusaha.
Sistem politik proporsional terbuka yang dijalani dalam Pemilu 2024, menurut Arya, menyebabkan caleg membutuhkan dana yang besar untuk melakukan kampanye secara mandiri. Mereka yang hendak melaju ke Senayan membutuhkan biaya besar, seperti untuk menggerakkan massa, mengunjungi daerah konstituen, dan kebutuhan saksi-saksi.
”New comer kalau tidak berasal dari dinasti politik atau tidak punya dukungan fundraising dari pengusaha, bagaimana cara dia membiayai kampanye? Makanya, sukar untuk new comer yang bukan dinasti politik atau tidak punya dukungan dari pengusaha,” tuturnya.