Jadi Ketua APHTN-HAN, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah Tak Langgar Etik
MKMK menilai jabatan ketua umum APHTN-HAN tidak mengganggu independensi Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menilai hakim konstitusi Guntur Hamzah tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi Sapta Karsa Hutama atas jabatannya sebagai ketua umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara. Posisi tersebut tidak membuat yang bersangkutan terganggu independensinya sebagai hakim konstitusi. Namun, MKMK menyarankan, apabila Guntur tidak nyaman dengan jabatan tersebut, ia bisa mundur dari ketua umum yang sudah dijabat sejak 2021 itu.
Hal tersebut terungkap dalam putusan MKMK yang dibacakan dalam sidang yang dipimpin Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna, Kamis (25/4/2024) sore. Pertimbangan hukum putusan dibacakan bergantian antara anggota MKMK Yuliandari, Guru Besar Ilmu Perundang-undangan yang juga mantan Rektor Universitas Andalas, dan Ridwan Mansyur yang merupakan hakim konstitusi aktif.
Guntur Hamzah diadukan Forum Mahasiswa Peduli Konstitusi (Formasi) dan Gerakan Aktivis Konstitusi (GAS) atas dugaan melanggar kode etik terkait dengan jabatannya sebagai ketua umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Dikhawatirkan, jabatan yang disandang berbarengan dengan posisinya sebagai hakim konstitusi tersebut menimbulkan konflik saat anggota atau pengurus asosiasi pengajar tersebut menjadi ahli atau menjadi bagian dari pihak yang beperkara dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU 2024 di MK.
Selain itu, kedudukan Guntur sebagai ketua umum APHTN-HAN juga dinilai tanpa izin dari lembaga MK. Dengan demikian, pelapor mendalilkan Guntur telah melakukan perbuatan tercela karena tidak dapat menjaga citra independensi, marwah, dan martabat sebagai hakim MK. Guntur dinilai telah melanggar prinsip independensi, kepantasan, dan kesopanan dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama.
Atas laporan tersebut, Guntur Hamzah saat diperiksa MKMK menerangkan bahwa pada prinsipnya hakim konstitusi dapat ikut serta dalam perkumpulan sosial atau profesional yang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai hakim konstitusi. Hal ini sesuai dengan penerapan prinsip keempat Kode Etik dan Perilaku Hakim (butir penerapan 4.11 Sapta Karsa Hutama). Selain itu, Guntur juga mengaku sudah mengajukan pengunduran diri sebagai ketua umum APHTN-HAN pada September 2023 yang disampaikan dalam pidatonya pada Konferensi Nasional APHTN-HAN II di Batam, 29 September 2023.
Selain itu, ia juga sudah mengajukan status non-aktif sebagai ketua umum sehingga saat ini yang bersangkutan sudah tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani surat-menyurat APHTN-HAN.
Pertimbangan
Sebelum menjatuhkan putusan, anggota MKMK Yuliandri mempertimbangkan sifat organisasi APHTN-HAN sebagai organisasi profesi pengajar HTN dan HAN di perguruan tinggi yang berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni khususnya pengembangan HTN dan HAN. Keanggotaan organisasi tersebut bersifat terbuka dan independen bagi para pengajar di bidang keilmuan tersebut, serta tidak mengikatkan/terikat pada organisasi sosial politik tertentu.
Mengacu pada penerapan angka 11 Prinsip Kepantasan dan Kesopanan dalam Sapta Karsa Hutama, hakim konstitusi diperbolehkan mengikuti perkumpulan sosial atau profesional sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugasnya. APHTN-HAN, menurut Yuliandri, termasuk ke dalam organisasi yang dimaksud dalam kode etik tersebut.
Selain itu, MKMK juga menemukan fakta bahwa jabatan ketua umum tersebut telah disandang Guntur sejak menduduki sebagai sekretaris jenderal MK. Ia terpilih dalam Musyawarah Nasional IV APHTN-HAN di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 3-4 Februari 2021. Sejak menjadi hakim konstitusi, Guntur juga sudah non-aktif sebagai ketua umum yang dibuktikan melalui Keputusan Nomor 01.11/APHTN-HAN/XII/2023 tentang Pengurus Pusat APHTN-HAN masa bakti 2021-2025.
Namun, dalam pertimbangannya, Yuliandri juga mengungkapkan, MKMK berpandangan apabila Guntur merasa tidak nyaman dengan jabatan itu, meskipun bukan pelanggaran etik, melepaskan jabatan sebagai ketua umum merupakan langkah yang bijaksana.
”Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalil pelapor sepanjang berkenaan dengan keberadaan hakim terlapor sebagai ketua umum APHTN-HAN yang dianggap melanggar Sapta Karsa Hutama adalah tidak beralasan,” ujar Yuliandri.
Terkait independensi hakim konstitusi yang berpotensi terganggu karena berkomunikasi intens dengan pengurus atau anggota organisasi, Sekretaris MKMK Ridwan Mansyur justru mempertanyakannya. Apabila intensitas komunikasi demikian dapat serta-merta dinilai berpengaruh terhadap independensi Guntur sebagai hakim saat memutus PHPU Pilpres, pertanyaan yang harus dijawab adalah pengaruh pengurus atau anggota yang mana yang akan ”paling didengar” oleh hakim terlapor.
Bahkan, perlu diuraikan pula kemungkinan menjadi saksi atau ahli dari pihak mana, pemohon, termohon, ataukah pihak terkait. ”Dengan penalaran sederhana sedemikian saja telah ternyata bahwa dalil pelapor tidak menunjukkan koherensinya. Lagi pula, jika konstruksi pemikiran pelapor diikuti, komunikasi intensif bukan hanya dapat terjadi antara ketua umum APHTN-HAN dan pengurus dan anggota APHTN-HAN, tetapi juga antara sesama anggota dan antarsesama pengurus. Sementara itu, faktanya, saat ini terdapat lima hakim konstitusi yang juga anggota APHTN-HAN,” kata Ridwan.
Oleh karena itu, apabila alur pemikiran pelapor diikuti, MKMK mengatakan, bukankah keempat hakim konstitusi lain juga dapat dinilai tidak independen dan karena itu dianggap tidak layak mengadili perkara PHPU Pilpres. Dengan pertimbangan itulah, MKMK menyatakan laporan tersebut tidak terbukti.