Terobosan Hakim Konstitusi Pulihkan Kepercayaan terhadap MK
Pulihnya kepercayaan publik menunjukkan masyarakat masih menaruh harapan MK dapat memberikan putusan berlegitimasi kuat.
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi kembali pulih setelah para hakim menciptakan sejumlah terobosan dalam menyidangkan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. Pulihnya kepercayaan publik ini sekaligus menunjukkan warga masih mempunyai harapan terhadap lembaga demokrasi tersebut untuk bisa memberikan putusan yang memiliki legitimasi kuat dan menyudahi pro-kontra di masyarakat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lembaga Survei Indonesia (LSI) memotret, setidaknya 73 persen responden masih percaya dan sangat percaya kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK berada di urutan keempat teratas setelah TNI, Presiden, dan Kejaksaan Agung. Survei ini melibatkan 1.213 responden dan digelar pada 7-9 April 2024 dengan toleransi kesalahan ± 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Jika dilihat dari trennya, kepercayaan publik terhadap MK merosot tajam ke 61 persen pada Januari 2024. Ini tak jauh setelah polemik pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam putusan MK yang mengubah persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden (capres-cawapres). Putusan ini melapangkan jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, berdampingan dengan capres Prabowo Subianto.
Baca juga: Menyoal Etika Gibran dalam Debat Cawapres
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dalam rilis survei nasional, Kamis (18/4/2024), mengatakan, dibandingkan seluruh lembaga negara yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah penilaian publik terhadap MK. Menurut dia, hal ini karena belakangan MK menjadi sorotan publik.
Lebih jauh, jika dihubungkan dengan proses persidangan sengketa Pilpres 2024 di MK, tampaknya penilaian positif publik terhadap MK tak terlepas dari sejumlah diskresi yang dibuat oleh para hakim konstitusi. Pertama, memanggil empat menteri kabinet Presiden Jokowi untuk menjadi saksi di persidangan.
Baca juga: MK Panggil Empat Menteri
Kedua, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan kesimpulan atas proses persidangan yang telah dijalani.
”(Hal) yang positif adalah lembaga resmi yang harus menyelesaikan persoalan perselisihan pemilu ini masih dipercaya masyarakat setelah MK cukup babak belur karena putusan yang cacat etika. Jadi, terhadap lembaga demokrasi, dalam hal ini MK, masyarakat masih punya harapan,” ujar Djayadi.
Dari hasil survei, didapati mayoritas pemilih capres-cawapres nomor urut 1 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar), 2 (Prabowo-Gibran), dan 3 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) sepakat bahwa pemanggilan menteri di persidangan, awal April 2024, menunjukkan bukti keseriusan MK dalam menangani sengketa Pilpres 2024.
”Jadi, tindakan para hakim dinilai banyak positifnya. Itulah mengapa tingkat kepercayaan kepada MK meningkat dibandingkan sebelum dan pascapemilu,” kata Djayadi.
Baca juga: MK yang Mulai, MK yang Mengakhiri
Terlepas dari itu, beban yang dipikul MK memang tidak mudah. Sebab, jika didalami lebih lanjut, ternyata mayoritas pemilih Anies-Muhaimin masih meragukan MK bakal menghasilkan putusan yang adil pada 22 April mendatang.
Tindakan para hakim dinilai banyak positifnya. Itulah mengapa tingkat kepercayaan kepada MK meningkat dibandingkan sebelum dan pascapemilu.
Pemilih Ganjar-Mahfud terbelah, antara percaya dan tidak percaya. Adapun mayoritas pemilih Prabowo-Gibran percaya MK akan menghasilkan putusan yang adil.
”Jadi, tidak bisa kita memastikan putusan mana yang adil bagi semua pihak nanti. (Pihak) yang bisa mengurangi rasa tidak adil atas putusan yang dikeluarkan MK itu adalah MK itu sendiri. Nah, kita tidak tahu, nih, strategi atau putusan MK seperti apa karena mereka masih RPH (rapat pemusyawaratan hakim), dan itu tidak ada yang tahu, kan, karena sifatnya tertutup,” kata Djayadi.
Baca juga: Wanti-wanti Wapres, Pemilu Luber Jurdil, dan Perintah Konstitusi
Hal yang pasti, lanjut Djayadi, semua bergantung pada hakim MK. Ia meyakini, putusan hukum ini merupakan sesuatu yang tidak mudah karena ini menyangkut persoalan politik. Tak heran, putusan MK pasti menimbulkan pro dan kontra.
”Tetapi, bagaimanapun, semua ini harus ada ujungnya. Kalau tidak ada ujungnya, justru demokrasi kita bisa collapse (runtuh),”kata Djayadi.
Menurut Djayadi, semua kini kembali ke pundak MK, yakni terkait bagaimana lembaga tersebut memaknai bahwa merekalah sekarang yang menjadi ujung dari perselisihan hasil pemil”.
"MK harus mampu memberi keyakinan kepada publik, seberapa kecil keyakinan di mata publik, bahwa ini adalah ujung yang harus kita terima. Ini tentu tidak mudah. Karena itu, dituntut sikap kenegarawanan dari MK,” kata Djayadi.
Baca juga: Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi
Berlanjut ke hasil survei, ketika ditanya sikap responden terhadap tuntutan yang ada, sebanyak 64,5 persen responden menyatakan tidak setuju atas permohonan pembatalan penetapan pasangan Prabowo-Gibran. Mayoritas yang tidak setuju tersebut merupakan pendukung Prabowo-Gibran. Adapun pemilih Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud paling mendukung tuntutan itu.
Tetapi, bagaimanapun, semua ini harus ada ujungnya. Kalau tidak ada ujungnya, justru demokrasi kita bisa collapse.
Kemudian, soal tuntutan pemungutan suara ulang tanpa pasangan Prabowo-Gibran, ini juga ditolak oleh 74,8 persen responden. Polanya pun tidak jauh berbeda atau cenderung partisan di mana yang tidak setuju dengan tuntutan itu adalah pihak yang menang, yakni pemilih Prabowo-Gibran. Sementara itu, mereka yang setuju adalah pihak yang kalah, yakni pemilih Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Bagi Djayadi, hal yang menarik dari hasil sikap responden itu adalah perbedaan sikap pemilih partai. Umumnya, mayoritas pemilih partai tidak setuju dengan dua tuntutan tersebut. Pemilih yang setuju dengan dua tuntutan tersebut paling besar dari pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Baca juga: "Exit Poll" Litbang Kompas : Pemilih PKS Paling Loyal
Hasil tersebut, menurut Djayadi, tampak sejalan dengan gerakan atau manuver-manuver politik yang dilakukan oleh elite-elite partai di luar PKS. Jika diperhatikan, elite-elite partai di luar PKS sudah menunjukkan secara langsung atau tidak langsung mengakui kemenangan Prabowo-Gibran. Misal, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
”(Pihak) yang masih tegas menyatakan belum, kan, PKS. Bahkan PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), kan, mungkin ditangkap ambigu oleh para pemilihnya. Misal sudah ada pertemuan antara Jokowi dan (Ketua DPP PDI-P) Puan Maharani atau berita-berita Prabowo akan bertemu (Ketua Umum PDI-P) Megawati Soekarnoputri,” ucap Djayadi.
Jika ditarik lebih jauh dengan melihat sikap pemilih ini, Djayadi melihat PKS lebih siap menjadi oposisi dibandingkan partai lain karena sikap pemilih PKS paling berbeda dengan pemilih partai lain. “Jadi, kalau PKS ambil oposisi itu wajar karena ada linieritas antara sikap pemilih dan elitenya,” tuturnya.
Baca juga: Ujian Konsistensi PKS sebagai Partai Oposisi
Namun, jika hanya PKS yang akan menjadi oposisi di pemerint””han selanjutnya, ini berarti akan mengulang masa pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Ma’ruf Amin. Artinya, koalisi pemerintahan nanti bukan lagi “oversize”, melainkan koalisi ”supersize”. Menurut Djayadi, potensi bergabungnya partai-partai kubu rival itu sangat mungkin, terutama setelah putusan MK nanti.
”Jadi, kalau melihat kecenderungan-kecenderungan ini, koalisi makin cair, itu sangat mungkin. Jadi, dari segi partai, tampaknya tidak masalah untuk bergabung. Gaya Prabowo sama dengan Jokowi, merangkul semua pihak. Maka jadilah koalisi supersize,” katanya.