Langkah Kejagung Mengungkap ”Sang Kepala” di Balik Kasus Timah Dinanti
Harvey Moeis diduga tidak beroperasi sendiri, tetapi ada auktor intelektualis di belakangnya.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah Kejaksaan Agung untuk menelusuri pihak yang diduga mengatur kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk dinanti. Sebab, peran tersangka Harvey Moeis disebut hanya sebagai perpanjangan tangan.
Sebagai tersangka ke-16 dalam kasus dugaan korupsi penambangan ilegal di izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk 2015-2022, Harvey disebut penyidik sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (PT RBT). Dalam menjalankan perannya, Harvey diduga menjadi pihak yang menghubungi beberapa perusahaan pengolahan timah (smelter) untuk turut serta dalam pemrosesan timah. Mereka adalah PT SIP, CV VIP (Venus Inti Perkasa), PT SPS, dan PT TIN (Tinindo Inter Nusa).
Selain itu, Harvey juga diduga meminta sebagian keuntungan kegiatan penambangan timah ilegal dari perusahaan tersebut. Agar tidak dicurigai, dana tersebut seolah sebagai pembayaran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) melalui PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) yang dikelola Helena Lim. Namun, hingga kini, penyidik belum mengungkap sosok atau pihak di balik Harvey Moeis.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/4/2024), berpandangan, langkah penyidik sudah tinggal selangkah lagi untuk mengungkap pihak yang mengatur semuanya, termasuk yang menyuruh Harvey.
”Kepalanya memang harus dicari. Mungkin mereka (penyidik) mau menuntaskan kasus itu secara bertahap, (dan) bisa jadi itu merupakan strategi Kejagung. Tingkat keberaniannya sudah terlihat dan kita dukung,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, PT RBT pernah berpindah kepemilikan. Salah satu orang yang diduga mengetahui pembentukan dan proses perpindahan kepemilikan adalah sosok bernama RBS atau Robert Bonosusatya. Robert pernah diperiksa sebagai saksi oleh penyidik.
Beberapa waktu lalu, MAKI mengeluarkan somasi terbuka yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung. Dalam somasinya, MAKI menyatakan, RBS diduga merupakan aktor intelektual dan penikmat uang hasil korupsi. Somasi itu dikeluarkan tidak lama setelah Harvey dan Helena ditetapkan sebagai tersangka.
Kepalanya memang harus dicari. Mungkin mereka mau menuntaskan kasus itu secara bertahap, bisa jadi itu merupakan strategi Kejagung.
Menurut Boyamin, pihaknya berencana untuk mengajukan permohonan praperadilan terkait jalannya kasus tersebut. Permohonan praperadilan itu terkait dengan dugaan RBS sebagai aktor dan penikmat uang hasil korupsi. ”Kalau itu tidak diproses, kita gugat,” katanya.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, berharap, penyidik Kejagung tidak pandang bulu dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka jika memang sudah ada alat bukti yang cukup. Sebab, ketika penyidik mendalami dan memperluas penyidikan, kemungkinan semakin banyaknya pihak lain yang terlibat semakin besar.
Egi juga mempertanyakan penyidikan yang selama ini seperti terfokus pada aktor swasta. Sementara itu, aktor dari otoritas yang terkait pengawasan atau otoritas penegak hukum sama sekali belum tersentuh. ”Dalam hal ini siapa pun harus ditindak,” ujar Egi.
Terkait hal itu, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi mengatakan, penyidik tidak menyidik berdasarkan kemungkinan. ”Jangan berasumsi dalam penegakan hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana tidak merespons pertanyaan yang diajukan Kompas perihal perkembangan perkara dan kemungkinan penambahan tersangka.
Sebagaimana diberitakan, kasus dugaan korupsi itu disebut telah merugikan perekonomian negara sebesar Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan. Adapun kerugian keuangan negara hingga saat ini masih dalam penghitungan.