Baru kali ini MK memberikan ruang bagi para pihak sengketa pilpres untuk menyerahkan kesimpulan. Demi wujudkan keadilan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Sengketa Pemilihan Presiden 2024 segera berakhir. Namun, berbeda dari sidang sengketa hasil di pemilihan presiden sebelumnya, hakim konstitusi memberikan kesempatan para pihak untuk menyerahkan kesimpulan yang berangkat dari segala hal yang terjadi selama persidangan. Bobot kesimpulan dinilai tidak lebih berbobot dari keterangan saksi dan alat bukti yang dihadirkan saat sidang. Meski demikian, melalui penyerahan kesimpulan, hakim konstitusi terlihat ingin mengejar terciptanya keadilan substantif.
Di pengujung sidang pembuktian perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sebelum delapan hakim konstitusi memasuki tahapan rapat permusyawaratan hakim, Jumat (5/4/2024), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengumumkan kesepakatan hakim konstitusi soal dibukanya ruang para pihak terkait perkara untuk mengajukan kesimpulan.
Baru kali ini keputusan tersebut diambil saat MK menangani perkara sengketa pilpres. Tahapan penyampaian kesimpulan biasanya hanya diterapkan saat pengujian konstitusionalitas undang-undang. Keputusan baru itu diambil karena menurut Suhartoyo, banyaknya dinamika yang berbeda di pilpres kali ini jika dibandingkan dengan pilpres sebelumnya sehingga MK mengakomodasi penyampaian hal-hal yang bersifat krusial dan penyerahan berkas yang masih tertinggal.
Sebagai contoh, ia menyebut pihak terkait, yaitu tim hukum pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang belum menyerahkan keterangan saksi dan ahli. Selain itu, para pihak juga boleh menyampaikan respons atas kesaksian empat menteri Kabinet Indonesia Maju serta kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang dihadirkan di sidang untuk dimintai keterangannya.
Tenggat penyampaian kesimpulan itu berakhir Selasa (16/4/2024). Meski penyerahan kesimpulan bukan hal yang diwajibkan oleh MK, semua pihak memanfaatkannya dengan menyerahkan kesimpulan ke MK, baik dari pihak pemohon gugatan hasil pilpres, pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ataupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD; pihak termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU); maupun pihak terkait, Prabowo-Gibran.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Umbu Rauta berpandangan, jika memperhatikan Pasal 6 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diubah dengan PMK No 4/2024, memang tahapan penyampaian kesimpulan tidak diatur secara eksplisit.
Meski demikian, tiadanya pengaturan dimaksud tidak serta-merta dimaknai tidak diperkenankan. Menurut dia, tahapan penyampaian kesimpulan diperkenankan sejauh disepakati bersama oleh pleno hakim dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan tidak mengganggu batas waktu penyelesaian persidangan selama 14 hari kerja.
”Pemberian kesempatan penyampaian kesimpulan justru memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menyampaikan dan menegaskan kembali standing-nya terhadap perselisihan terkait hasil Pilpres 2024,” ucap Umbu Rauta.
Penegasan kembali poin-poin tersebut juga harus memperhatikan fakta-fakta persidangan saat tahapan pembuktian. Dengan demikian, para pihak tak bisa menyerahkan alat bukti baru.
Bobot kesimpulan
Perihal bobot kesimpulan yang disampaikan para pihak dalam putusan hakim konstitusi kelak, menurut Umbu, sangat bergantung pada penilaian setiap hakim, begitu pula terkait relevansinya dengan pendapat hukumnya untuk menjadi bahan dalam penyusunan putusan dalam RPH bersama hakim lainnya. ”Setiap hakim memiliki independensi dalam menyusun pendapat hukum dan diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan berdasarkan kadar relevansinya,” ucap Umbu.
Namun, menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, bobot kesimpulan tak lebih berbobot dari saksi dan bukti yang dihadirkan selama persidangan. Pasalnya, kesimpulan bukan alat bukti.
Terlepas dari itu, ia menilai, adanya tahapan penyampaian kesimpulan ini menunjukkan bahwa para hakim MK ingin memberikan ruang keadilan bagi para pihak sekaligus untuk memperlihatkan bahwa MK tidak sekadar mahkamah kalkulator. Sindiran ini kerap dilayangkan pada MK karena selama ini MK hanya berfokus pada mengadili hasil penghitungan suara. ”MK sepertinya ingin sedalam-dalamnya menggali keadilan substantif,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti berpandangan, penyampaian kesimpulan ini merupakan bagian dari hukum acara atau hukum prosedur. Perlu diingat bahwa hukum prosedur adalah jantungnya hukum.
”Mengapa prosedur jadi penting? Sebab, prosedur selalu bicara mengenai keadilan. Karena itu, hakim mempunyai wewenang untuk selalu melakukan perubahan atau adaptasi terhadap hukum acara. Dengan kata lain, hakim punya wewenang, boleh saja ketika itu tidak diatur, kemudian dia mengambil diskresi,” ucapnya.
Senada dengan Aan, ia pun melihat dibukanya ruang para pihak menyampaikan kesimpulan karena hakim ingin memberikan kesempatan kepada para pihak, terutama bagi pemohon, untuk menyempurnakan permohonannya dengan berbasis pada tahapan yang sudah dilalui. ”Kan, bisa saja, setelah alat bukti disampaikan semua pihak, lalu menimbulkan hal-hal baru yang mungkin dulu tidak disampaikan oleh pemohon. Karena itu, pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya,” ucapnya.
Ditambah lagi, hakim melihat perkara sengketa hasil pilpres kali ini memiliki tingkat kompleksitas yang lebih besar dibandingkan dengan perkara sengketa pilpres sebelumnya. Ditambah lagi keterbatasan waktu 14 hari bagi hakim untuk menyelesaikan perkara itu.
Dengan kata lain, hakim dilihatnya berupaya mewujudkan keadilan.
”Prosedur itu selalu berkaitan dengan keadilan. Karena itu, ketika hukum acara ada perubahan, harus dinilai bahwa perubahan itu untuk mencapai keadilan yang lebih baik. Dengan demikian, hukum itu tidak sekadar diartikan sebagai hukum yang tertulis, tetapi timbul dari praktik yang bersifat etis dan moral,” ucapnya.