Khawatir Diintimidasi, Sejumlah Saksi Kubu Anies-Muhaimin Mengundurkan Diri
Sejumlah orang yang dipersiapkan menjadi saksi dari kubu Anies-Muhaimin dalam sidang PHPU di MK memutuskan mundur.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim kuasa hukum Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar kesulitan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang perselisihan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi. Sejumlah saksi memutuskan mundur karena khawatir dipecat, diusut kasus hukumnya, dan diintimidasi. Beberapa di antaranya, bahkan, menyatakan mundur saat sidang tengah berlangsung sehingga kuasa hukum harus mencari penggantinya.
Kuasa hukum Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto, saat jeda sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (1/4/2024), mengungkapkan, pada awalnya tim hukum mendapatkan sekitar 100 orang yang menyatakan bersedia menjadi saksi dan ahli.
Tim kemudian memilih orang-orang yang dinilai berkualitas serta memiliki pengetahuan yang cukup untuk memperkuat dalil-dalil di hadapan mahkamah. Sebab, mahkamah membatasi jumlah maksimal saksi dan ahli yang diajukan sebanyak 19 orang.
Namun, sebagian saksi dan ahli mengundurkan diri sehingga batal memberikan kesaksian di persidangan. Mereka yang mengundurkan diri berlatar belakang, antara lain, aparatur sipil negara (ASN), kepala desa, dan masyarakat umum.
”Yang terpilih itu ada yang mundur. Saya tidak mau bilang terjadi intimidasi, teror, saya enggak mau bilang begitu karena mereka mengundurkan diri dengan berbagai alasan,” ujar Bambang saat jeda persidangan di MK.
Kuasa hukum Anies-Muhaimin lainnya, Ari Amir Yusuf, menambahkan, sebanyak lima saksi bahkan mengundurkan diri ketika sidang PHPU Pilpres sudah dimulai pekan lalu. Seorang ASN dari Riau mengundurkan diri karena khawatir dipecat. Adapun satu kepala desa dari Sulawesi mengundurkan diri sabagai saksi karena khawatir ada pengusutan kasus hukum selama dirinya menjabat.
”Sementara itu, tiga saksi dari Jawa Timur yang terdiri dari kiai, pengasuh pondok pesantren, dan pimpinan pengasuh santri mengundurkan diri karena takut mendapatkan intimidasi,” tuturnya.
Meski kesulitan, pada akhirnya Tim Hukum Anies-Muhaimin berhasil menghadirkan 7 ahli dan 11 saksi dalam sidang PHPU, Senin pagi. Selain itu, ada pula satu ahli yang memberikan keterangan secara tertulis.
Sebanyak lima saksi bahkan mengundurkan diri ketika sidang PHPU Pilpres sudah dimulai pekan lalu.
Ketujuh ahli yang dihadirkan dalam sidang tersebut adalah pakar ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Eka Cahya Widodo, ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri, ahli hukum administrasi Ridwan, ekonom UI Vid Adrison, Kepala Pusat Studi Forensika Digital (Pusfid) UII Yogyakarta Yudi Prayudi, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, dan pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan.
Sementara 11 saksi yang dihadirkan adalah Mirza Zulkarnain, Muhammad Fauzi, Anies Prijo Ansharie, Andry Ermawan, Surya Dharma, Achmad Husairi, Mislani Suci Rahayu, Sartono, Arief Patramijaya, Amrin Harun, dan Atmin Arman. Adapun keterangan ahli dari Roy Suryo diserahkan kepada majelis hakim dalam keterangan tertulis.
Sementara itu, saat memberikan keterangan di persidangan, Arief Patramijaya memberikan kesaksiannya mengenai kesalahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ia menjadi saksi fakta yang melihat pimpinan KPU dijatuhi sanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena terbukti melanggar kode etik sehubungan dengan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (1/4/2024).
”Pada putusannya, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan terakhir yang ketiga kepada Hasyim Asy’ari dan menjatuhkan sanksi keras kepada anggota KPU,” ujarnya.
Saksi lainnya, Amrin Harun, menjelaskan adanya dugaan formulir C.Hasil yang tidak terekam dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Ia juga menemukan adanya dugaan penggelembungan suara di sejumlah kecamatan di Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Saya menemukan kejanggalan antara Sirekap dan formulir C.Hasil di Sumatera Utara. Seharusnya formulir C.Hasil itu suci dan tidak seharusnya ada pola-pola perbedaan pada tanda tangan dan coretan tipe-ex yang ada pada lembarannya,” kata Amrin yang menyampaikan keterangan secara daring dari Amerika Serikat.