Tanpa Kontrol Kuat dan Perbaikan Tata Kelola, Perpanjangan Masa Jabatan Kades Kontraproduktif
Desa hanya akan mendapat manfaat maksimal dari perpanjangan masa jabatan kepala desa ketika pemimpin itu berkualitas.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa jabatan kepala desa yang telah diperpanjang menjadi delapan tahun dinilai akan kontraproduktif dengan upaya demokratisasi di desa. Para kepala desa tersebut akan merasa memiliki kewenangan yang besar, apalagi jika kontrol masyarakat tidak kuat.
Pada Kamis (28/3/2024), Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna. Semua ketentuan baru dalam perubahan kedua UU Desa pun langsung berlaku setelah diundangkan.
Ketentuan baru dimaksud termasuk masa jabatan kepala desa yang kini menjadi delapan tahun dan dapat dipilih paling banyak untuk dua kali masa jabatan. Sebelumnya, masa jabatan kepala desa diatur selama enam tahun, tetapi dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman pada Jumat (29/3/2024), menilai, masa jabatan kepala desa yang diperpanjang menjadi delapan tahun tidak serta-merta akan mengatasi persoalan di desa.
Perpanjangan masa jabatan, menurut Herman, akan menjadikan kepala desa merasa memiliki kewenangan yang besar. Masa jabatan kepala desa yang diperpanjang tersebut juga dinilainya kontraproduktif dengan upaya demokratisasi di desa.
Herman menuturkan, kepemimpinan desa memang salah satu aspek penting dalam pembangunan desa. Akan tetapi, desa akan mendapat manfaat maksimal dari perpanjangan masa jabatan kepala desa ketika pemimpin pemerintahan desa itu berkualitas.
”Kasus-kasus penyelewengan dana desa, yang menurut Indonesia Corruption Watch atau ICW melibatkan banyak kepala desa, memberikan gambaran bahwa tak semua kepala desa memiliki integritas,” kata Herman.
Mengutip data ICW, kasus korupsi dana desa meningkat sembilan kali lipat selama periode 2015-2021. Korupsi dana desa pada 2015 sebanyak 21 kasus dan kemudian meningkat menjadi 154 kasus pada 2021.
ICW mencatat, dana desa yang digelontorkan pemerintah selama 2015-2021 mencapai Rp 400,1 triliun. Selama periode itu terjadi 592 kasus korupsi di tingkat desa dengan 729 tersangka. Akibat praktik korupsi itu, kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Kasus-kasus penyelewengan dana desa, yang menurut Indonesia Corruption Watch atau ICW melibatkan banyak kepala desa, memberikan gambaran bahwa tak semua kepala desa memiliki integritas.
Oleh karena itu, Herman mengatakan, berdasarkan kajian KPPOD, dengan berkaca dari Indeks Desa Membangun (IDM), hal yang dibutuhkan saat ini adalah tata kelola desa yang baik. Tata kelola ini mulai penguatan perencanaan, penganggaran, hingga penerapan pembangunan.
Selain itu, peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk pengawasan kinerja kepala desa harus dioptimalkan. Kontrol masyarakat juga harus kuat dengan melibatkan masyarakat sipil, perguruan tinggi, hingga media massa.
”Fungsi BPD sangat strategis, terutama karena banyaknya masalah kades terkait kasus korupsi,” katanya.
Herman berpendapat, ke depan perlu dicari mekanisme pemilihan kepala desa yang mampu menjaring pemimpin desa berkualitas. Dalam pembangunan desa, termasuk penggunaan dana desa, juga perlu dicari cara-cara untuk meningkatkan partisipasi semua warga desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan.
”Sosok kepala desa itu harus memiliki kapasitas dan integritas. Bicara kemampuan yang bisa memperkuat kepemimpinan, manajerial, dan teknokrasi. Sebab, kepala desa itu memimpin perencanaan kerja setiap tahunnya. Paling penting ia memiliki integritas, bagaimana menjaga akuntabilitas tersebut,” tuturnya.
Kesepakatan DPR dan pemerintah
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun itu merupakan kesepakatan yang terbaik untuk semua. Meski awalnya jabatan kepala desa diusulkan selama sembilan tahun, dengan proses yang panjang dan melibatkan semua pihak, DPR dan pemerintah setuju masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun.
”Dinamika di lapangan saat proses revisi, kan, banyak sekali. Insya Allah ini yang terbaik ke depan. Bisa berguna bukan hanya untuk perangkat desanya, tetapi juga bagi kesejahteraan desanya,” ucap Puan.
Seperti diketahui, perubahan kedua UU Desa merupakan usul inisiatif dari DPR. Draf perubahan UU Desa disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada rapat paripurna 11 Juli 2023. Selanjutnya, RUU Desa tersebut disahkan menjadi undang-undang pada Kamis (28/3/2024).
Sejumlah aturan baru diatur dalam perubahan UU Desa tersebut. Salah satunya, masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dan dapat dipilih paling banyak untuk dua kali masa jabatan (Pasal 39). Sebelumnya, masa jabatan kepala desa diatur selama enam tahun, tetapi dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan.
Ketentuan baru jabatan kepala desa sebenarnya lebih rendah dibandingkan usulan DPR sebelumnya. Dalam draf RUU Desa yang disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR, jabatan kepala desa diusulkan selama sembilan tahun.
Ketentuan lain yang diubah adalah terkait sumber-sumber pendapatan desa. Dalam Pasal 72 diatur, salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dana desa.
Sebelumnya, alokasi dana desa diatur minimal sebesar 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK). Kini, alokasi dana desa menjadi paling sedikit 10 persen dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam APBD.