Opsi Dua Pasangan Calon di Pilpres 2024 Kembali Menguat
Isu lama muncul lagi terkait kemungkinan Pilpres 2024 hanya diikuti dua bakal pasang calon presiden-wakil presiden,yaitu dari koalisi Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemungkinan Pilpres 2024 yang hanya diikuti dua bakal pasang calon presiden wakil presiden kembali menguat. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak menutup peluang untuk memasangkan bacapres yang diusung, yakni Ganjar Pranowo, dengan Prabowo Subianto, kandidat yang didukung Koalisi Indonesia Maju. Pasalnya, hingga satu bulan jelang pendaftaran capres dan cawapres, dua poros koalisi pendukung Ganjar dan Prabowo pun belum juga menentukan pendamping bakal capresnya masing-masing.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/9/2023), mengakui, tidak tertutup kemungkinan untuk memasangkan bakal calon presiden (capres) dari partainya, yakni Ganjar Pranowo, dengan kandidat yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto. Pihaknya terus berkomunikasi dengan partai politik (parpol) lain, tidak terkecuali dengan KIM yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gelora, dan Partai Garuda, untuk bekerja sama dalam menghadapi Pilpres 2024 sekalipun saat ini kedua pihak ada di poros berbeda.
Menurut Puan, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Apalagi, tahap pencalonan presiden dan wakil presiden masih sekitar satu bulan lagi, yakni pada 19 Oktober-25 November mendatang. Dalam rentang waktu tersebut, semua parpol memiliki kalkulasi masing-masing mengenai sosok bakal cawapres yang bisa saja mengubah situasi saat ini.
Dinamika yang ada di politik ini selalu memungkinkan kita untuk bersilaturahmi dan bertemu dengan sesama anak bangsa untuk bisa menyepakati hal-hal yang akhirnya kami sepakati bersama. Bahwa ini adalah yang terbaik untuk bangsa dan negara.
”Dinamika yang ada di politik ini selalu memungkinkan kita untuk bersilaturahmi dan bertemu dengan sesama anak bangsa untuk bisa menyepakati hal-hal yang akhirnya kami sepakati bersama. Bahwa ini adalah yang terbaik untuk bangsa dan negara,” kata Puan.
Saat ini, PDI-P bersama dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hanura telah bekerja sama untuk mengusung Ganjar. Ada pula KIM yang mengusung Prabowo. Selain itu, Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung Anies Baswedan.
Dari ketiga poros, hanya Koalisi Perubahan yang tak hanya memiliki bakal capres, tetapi juga telah menetapkan bakal cawapres, yakni Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Sementara gabungan parpol pendukung Ganjar dan Prabowo hingga saat ini belum menentukan sosok cawapresnya masing-masing.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad hanya tersenyum ketika ditanya apakah KIM telah memikirkan skenario untuk memasangkan Ganjar dengan Prabowo. Namun, sebelum menjawab pertanyaan, ia mempertanyakan siapa yang paling awal melontarkan skenario itu ke publik. Ia pun mempertanyakan kembali, jika Ganjar dan Prabowo berpasangan, siapa yang akan diposisikan sebagai bakal capres dan cawapres.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad
”Jadi, namanya politik ini, kan, dinamis. Sampai dengan pendaftaran, masih banyak hal yang mungkin terjadi. Koalisi Indonesia Maju saat ini justru sedang berkonsentrasi menyusun program kerja bersama dalam rangka kampanye untuk pilpres nanti,” ucap Dasco.
Jadi, namanya politik ini, kan, dinamis. Sampai dengan pendaftaran, masih banyak hal yang mungkin terjadi. Koalisi Indonesia Maju saat ini justru sedang berkonsentrasi menyusun program kerja bersama dalam rangka kampanye untuk pilpres nanti.
Untuk itu, jika muncul pertanyaan soal kemungkinan memasangkan Ganjar dengan Prabowo, ia mengaku belum pernah terpikir ke sana. Namun, sebagaimana amanat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Gerindra, pertengahan Agustus 2022, partainya telah mengukuhkan Prabowo sebakal bakal capres pada Pilpres 2024. Hal itu kini didukung seluruh parpol anggota KIM.
Di KIM, ungkap Dasco, proses penentuan bakal cawapres masih sangat cair. Banyaknya jumlah parpol anggota koalisi pun tak memunculkan pertentangan berarti untuk menentukan sosok bakal cawapres. Sebab, sejak awal bergabung, mereka telah berkomitmen untuk menyerahkan kewenangan tersebut kepada Prabowo.
Pak Prabowo ingin musyawarah mufakat sehingga nanti pasti diajak bicara ketua-ketua umum partai yang ada. Tentunya, nama-nama itu akan digodok di situ. Ya, mungkin ada yang keluar ke publik atau bahkan ada yang enggak, kan, begitu.
”Pak Prabowo ingin musyawarah mufakat sehingga nanti pasti diajak bicara ketua-ketua umum partai yang ada. Tentunya, nama-nama itu akan digodok di situ. Ya, mungkin ada yang keluar ke publik atau bahkan ada yang enggak, kan, begitu,” kata Dasco.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengatakan, KIM belum akan memutuskan bakal cawapres pendamping Prabowo dalam waktu dekat. Sekalipun koalisi tersebut baru saja mendapatkan kekuatan tambahan dengan bergabungnya Demokrat, penentuan bakal cawapres tetap akan dilakukan secara hati-hati.
Bahkan, menurut Lodewijk, KIM akan mendahulukan pembentukan tim pemenangan ketimbang menentukan bakal cawapres. Ketua tim itu nantinya akan mengendalikan kerja 19 direktorat berbeda untuk mengatur strategi pemenangan Prabowo di Pilpres 2024.
”Pak Prabowo yang akan menentukan (bakal cawapres dan ketua tim pemenangan),” katanya.
Bukan isu baru
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda mengungkapkan, gagasan dua pasangan calon di Pilpres 2024 belakangan ini memang mulai disuarakan sejumlah elite PDI-P. Hal itu mengindikasikan bahwa skenario tersebut memang ada. Apalagi, isu tersebut sudah lama berkembang, setidaknya sejak tahun lalu, dan kini kembali berembus.
”Jadi, pada konteks ini kelihatannya kepentingan PDI-P dengan kepentingan Gerindra sudah bertemu,” ujar Huda.
Sejak masih berkoalisi dengan Gerindra, kata Huda, PKB memiliki semangat untuk mewujudkan kontestasi yang minimal diikuti tiga pasangan calon. Sebab, pilpres mendatang tidak diikuti oleh petahana. Artinya, lebih banyak kandidat lebih baik.
”Padahal, dengan presidential threshold sebesar 20 persen berpotensi muncul empat pasangan calon. Nah, jangan sampai kita melawan arus keinginan publik. Jangan sampai ditambah lagi dengan membatasi dua pasangan calon. Kesehatan demokrasi kita bisa pincang,” kata Huda.
Padahal, dengan presidential threshold sebesar 20 persen berpotensi muncul empat pasangan calon. Nah, jangan sampai kita melawan arus keinginan publik. Jangan sampai, ditambah lagi dengan membatasi dua pasangan calon. Kesehatan demokrasi kita bisa pincang.
Terlepas dari itu, pasangan capres cawapres yang diusung oleh Koalisi Perubahan siap berkompetisi, baik jika akan diikuti oleh dua pasangan calon maupun tiga pasangan calon.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman menegaskan, tak boleh ada pemaksanaan dari pihak mana pun untuk mewujudkan dua pasangan calon pada Pilpres 2024. Pembentukan pasangan calon harus terwujud secara natural dan bebas dari penciptaan kondisi atau kepentingan kelompok tertentu.
”Tidak boleh ada persengkongkolan, paksaan-paksaan, tidak boleh ada skenario-skenario yang sengaja dibuat untuk membatasi, menghalangi munculnya calon-calon atau tokoh alternatif yang mau maju. Kalau skenario itu natural, sesuai aspirasi masyarakat, ya fine-fine saja. Tetapi, kan, tidak boleh menghentikan persaingan. Untuk mendampatkan hasil yang fair, kompetisi harus dibuka. Maka tidak boleh ada manipulasi,” ucap Benny.
Menurut Benny, ini bukan persoalan kontestasi pilpres nanti harus diikuti dua atau tiga pasangan calon. Yang terpenting adalah kontestasi harus terhindar dari pemanfaatan institusi-institusi dan pejabat tertentu untuk pemenangan salah satu calon.
”Kalau itu dilakukan, itu akan terjadi unfair competition. Itu akan merusak nilai demokrasi. Saya pun berharap, Presiden harus menjaga netralitas. Jangan cawe-cawe. Itu prinsip bernegara,” kata Benny.
Ia pun tak sependapat dengan argumen penciptaan kondisi dua pasangan calon untuk penghematan anggaran. Sebab, demi demokrasi, argumen tersebut tidaklah berlaku. Ia mengibaratkan, membangun demokrasi sama mahalnya dengan membangun jalan tol dan kereta api cepat. Artinya, sesuatu yang dihasilkan untuk kesejahteraan masyarakat tidak bisa dipaksa untuk harus berhemat atau tidak berhemat.
”Untuk bangun jalan tol saja, pemerintah mau keluarkan uang banyak. Tetapi, kenapa untuk pengembangan demokrasi yang berkualitas, mereka tidak mau? Ya harus disiapkan (anggarannya),” ucap Benny.