Paradoks Demokrasi Tanpa Oposisi
Pemerintahan yang ideal memberikan ruang gerak yang luas terhadap eksistensi oposisi. Demokrasi pun akan lebih sehat.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa pemilihan presiden dan kemudian penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum, otomatis pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih Indonesia periode 2024-2029.
Kemenangan Prabowo-Gibran sah baik secara politik maupun secara hukum meskipun pada kondisi yang lain, tim hukum dari pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD masih menunggu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait tuntutan perbuatan melawan hukum KPU dalam proses penyelenggaraan Pilpres 2024.
Terdapat hal yang sangat menarik dalam pidato resmi Prabowo setelah ditetapkan oleh KPU, yaitu ajakan untuk bersama-sama membangun bangsa dan menghilangkan perbedaan. Tafsir terkait dengan pidato tersebut memiliki dua makna sekaligus.
Baca juga: Prabowo: Kami Akan Merangkul Semua Unsur
Pertama, mengajak semua kekuatan politik untuk bergabung guna memperkuat barisan koalisi pemerintahannya. Kedua, pihak yang kalah dalam Pilpres 2024 tetap di luar dan tidak bergabung dengan koalisi pemerintahan, tetapi dimohon untuk tidak mengganggu jalannya pemerintahan selama Prabowo-Gibran memimpin negara ini dalam lima tahun ke depan.
Setelah pengumuman dan penetapan hasil Pilpres 2024 oleh KPU tersebut, beberapa partai mulai memainkan strategi politik dengan secara intens melakukan komunikasi politik. Tujuannya, untuk menjajaki apakah akan bergabung dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran atau memosisikan dirinya di luar pemerintahan sebagai oposisi.
Meskipun dalam perpolitikan di Indonesia tidak dikenal istilah oposisi, dalam setiap praktik berbangsa dan bernegara yang ada di banyak negara mana pun tetap dibutuhkan adanya penyeimbang untuk melakukan fungsi check and balance pemerintah. Tujuannya agar pengelolaan pemerintahan tidak dilakukan secara ”sembrono” dan ”ugal-ugalan”.
Diskursus tentang eksistensi oposisi dalam perpolitikan Indonesia lima tahun ke depan menjadi sangat menarik untuk dibahas. Hal ini sebagai dampak proses pertarungan Pilpres 2024 yang dianggap oleh sebagian kalangan merupakan pemilu yang ”sangat keras, brutal, dan penuh kecurangan”.
Hasil kemenangan pasangan Prabowo-Gibran sepertinya akan menyisakan luka yang mendalam serta problematika sosial, politik, hukum yang sangat serius tidak hanya bagi pihak yang kalah dalam pertarungan pilpres tersebut, tetapi juga bagi kalangan masyarakat yang concern dalam bidang politik dan demokrasi, serta hukum tata negara.
Secara politik, pola pertarungan politik dalam pilpres yang lalu itu dikhawatirkan akan dijadikan sebagai template untuk diduplikasi dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Tuduhan pemilu yang penuh kecurangan tersebut akan dipayungi oleh keputusan hukum tertinggi guna melegalisasi hasil pemilu tersebut. Hal ini dibuktikan dengan putusan MK yang belum mampu keluar dari ”khitahnya” untuk selalu menolak pemohon.
Oposisi dimaknai sebagai kekuatan politik penyeimbang di luar pemerintahan yang fungsinya untuk mengawasi kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Dengan kondisi itu, pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pilpres tersebut akan mengkristalisasikan sikap politiknya untuk selalu mengkritisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Pada sisi lain, secara politik, parpol yang mengambil posisi sebagai oposisi akan selalu melakukan perlawanan melalui jalur politik yang konstitusional.
Istilah oposisi secara bahasa merupakan lawan kata dari posisi. Secara politik, kedua istilah tersebut (posisi dan oposisi) memiliki makna yang sangat bertolak belakang. Oposisi dimaknai sebagai kekuatan politik penyeimbang di luar pemerintahan yang fungsinya untuk mengawasi kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Dalam beberapa referensi, keberadaan oposisi akan memperkuat sistem demokrasi sebuah negara, bahkan ada yang menyatakan bahwa keberadaan oposisi merupakan ”vitamin politik” atau sparring partner guna menyelamatkan negara dari berbagai praktik penyelewengan, antara lain penyelewengan politik, penyelewengan hukum, penyelewengan administrasi, dan berbagai penyelewengan negara lainnya yang serius.
Berbeda halnya dengan istilah posisi.Posisi adalah jabatan-jabatan politik yang diperoleh oleh elite politik atau kelompok kekuatan politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan. Secara politik praktis, eksistensi oposisi akan memperkuat demokrasi dan konsep posisi hanya akan memperkuat dominasi politik elite dan penguasa.
Baca juga: Lemahnya Oposisi dan Budaya Harmoni
Menilik sejarah perpolitikan di Indonesia selama ini, bangsa Indonesia belum terbiasa dengan keberadaan oposisi. Para penguasa selama menjalankan pemerintahannya masih ”gagap politik” berhadapan dengan pihak yang berseberangan atau berbeda pendapat yang kita sebut oposisi itu.
Gagap politik maksudnya adalah bahwa setiap penguasa, mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga rezim Orde Reformasi sekalipun, belum sukses mengelola dan memberikan peran yang memadai dari kalangan oposisi. Respons yang selama ini dilakukan oleh setiap rezim terhadap kalangan oposisi adalah dengan melakukan politik ”pembumihangusan” terhadap oposisi.
Di era pemerintahan Jokowi sekalipun, khususnya pada kepemimpinan periode kedua, terkesan demokratis dan lebih halus dengan maraknya kriminalisasi terhadap pihak yang beroposisi dengan pemerintahannya. Artinya, oposisi belum dapat hidup bebas dalam memainkan perannya secara baik. Peran oposisi dalam pemerintahan pascareformasi terasa lebih hidup hanya pada 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Berdamai dengan oposisi
Pemerintahan yang ideal memberikan ruang gerak yang luas terhadap eksistensi oposisi. Dengan adanya ruang gerak yang luas kepada oposisi, demokrasi dalam sebuah negara akan jauh lebih sehat. Terdapat dinamika dan diskursus yang selalu berkembang untuk saling mengoreksi terhadap berjalannya pemerintahan.
Pihak oposisi akan mengoreksi secara kritis dari luar pemerintahan, sedangkan pemerintah sangat perlu juga mengoreksi dan memperbaiki diri dalam bentuk mengevaluasi setiap kebijakan pemerintahan yang diambil dan dilaksanakan. Bisa saja secara politik semua pandangan kritis dari oposisi bernilai negatif di mata pemerintah, bahkan ada yang menuduh akan menjatuhkan kredibilitas pemerintah, tetapi pandangan kritis tersebut sangat bernilai positif di mata publik.
Perlu kita ketahui bersama bahwa era reformasi ini lahir berkat kuatnya peran oposisi yang selalu mengontrol perilaku otoritarianisme dan mengguritanya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada zaman Orde Baru. Memberangus oposisi sama halnya pemerintah antikritik dan selalu menganggap dirinya selalu paling benar.
Oposisi diibaratkan sebagai ”pil pahit” yang akan mengobati penyakit kronis yang ada dalam rezim pemerintahan. Rezim penguasa tidak selayaknya selalu memosisikan diri untuk berkonflik dengan pihak oposisi, tetapi tetap memberikan peran yang besar kepada oposisi untuk mencari titik lemah pemerintahan yang memang harus diperbaiki.
Pemerintahan yang ideal memberikan ruang gerak yang luas terhadap eksistensi oposisi.
Dengan demikian, pemerintahan akan berjalan dengan baik dan demokrasi berjalan dengan sehat. Ibaratnya, seorang perenang yang ulung tidak akan menjadi perenang terbaik kalau tidak pernah diterpa oleh gelombang air yang deras dan hanya berada di air yang tenang. Demikian juga dengan demokrasi sebuah negara, bahwa tidak akan tercipta demokrasi yang sehat tanpa adanya kritik-kritik yang tajam serta pandangan yang berbeda dari kalangan oposisi.
Pemerintahan tanpa oposisi hanya akan melahirkan rezim status quo yang hanya menganggap dirinya selalu benar, dan ini hanya akan memupuk ”benalu” yang ada dalam dirinya dalam bentuk perilaku otoriter, KKN yang semakin menggurita, dan penyalahgunaan kewenangan lainnya.
Diibaratkan seperti tubuh manusia yang selalu diberikan makanan yang enak tidak selalu akan menyehatkan tubuh itu sendiri, tetapi hanya akan menimbulkan benih penyakit kronis, seperti gula, darah tinggi, jantung, bahkan kanker ganas yang akan mematikan tubuh manusia itu sendiri. Secara konseptual, kondisi seperti itu hanya akan menjerumuskan negara ini ke jurang kehancuran, yang di dalamnya terdapat penyakit-penyakit kronis yang akan mengikis kesehatan dari sebuah negara kita ini.
Peran oposisi adalah peran yang sangat terhormat bagi perbaikan bangsa ini. Seperti sebuah pepatah, bahwa sahabat terbaik adalah sahabat yang selalu mengingatkan dan mengoreksi ketika sahabatnya berada di jalan yang salah dan tidak membiarkan jalan yang salah itu tetap dilakukan.
Demikian juga dengan negara, jangan kita biarkan apabila penyelenggara negara ini melakukan pelanggaran dan tetap harus selalu dikoreksi. Pihak yang akan paling depan mengoreksi dan mengontrolnya itu adalah pihak oposisi.
Dalam 10 tahun rezim pemerintahan Jokowi, terutama pada kepemimpinan periode kedua, pihak yang berseberangan bungkam dan tiarap untuk mengeluarkan pandangan-pandangan kritisnya. Mereka merasa terancam melalui praktik mengkriminalisasikan dengan mengatasnamakan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca juga: Jangan Takut Menjadi Oposisi
Elite partai politik yang berlawanan akan dicari-cari kesalahannya yang berujung pada kasus hukum. Media yang kritis terancam praktik pembredelan atau tidak bisa tayang di media televisi, serta beberapa ancaman lainnya terhadap kebebasan berdemokrasi.
Keterlibatan pihak kampus, dalam hal ini para guru besar, akademisi, dan mahasiswa, beberapa waktu lalu dalam menyuarakan keprihatinan terhadap perpolitikan akhir-akhir ini sebagai benteng terakhir yang menjaga marwah etika akademik yang menjunjung tinggi moralitas dalam berbangsa dan bernegara. Beberapa fenomena tersebut dirasa sangat tidak sehat di alam iklim demokrasi.
Pada akhirnya peran oposisi sangat dibutuhkan di negeri ini guna memberikan vitamin politik bagi para penyelenggara pemerintahan dengan tujuan agar negara kita menjadi lebih sehat terbebas dari penyakit-penyakit kronis, seperti kanker ganas KKN, politisasi hukum, dan penyalahgunaan kewenangan lainnya yang menyebabkan negara terjerembap ke jurang kehancuran.
Agus Sjafari, Dosen Tetap Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; Pemerhati Masalah Sosial Pemerintahan