Penyair dan Pascakebenaran
Jokpin menavigasi tema kekecewaan dan kompleksitas keberadaan manusia melalui permainan kata dan syair yang menyentuh.
Menulis puisi adalah kerja pikiran, bukan kegiatan klenik yang tak terkontrol oleh nalar. (Joko Pinurbo)
Apa artinya ketika Indonesia kehilangan Chairil Anwar dan Joko Pinurbo? Keduanya tidak pernah sungguh-sungguh pergi karena karya mereka selalu hadir dalam keseharian kita. Mereka adalah pewarta kebenaran di era pascakebenaran (post-truth).
Hari Puisi Nasional diperingati setiap 28 April untuk mengenang Chairil Anwar yang wafat pada tanggal tersebut, 75 tahun lalu. Tahun ini, sehari sebelum hari peringatan itu, Joko Pinurbo (Jokpin) wafat di Yogyakarta pada dini hari dan esoknya dimakamkan bertepatan dengan hari yang dimuliakan oleh jagat sastra Indonesia.
Jokpin, peraih pelbagai anugerah sastra dengan sejumlah puisi yang bisa dinikmati pembaca berbahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin, pernah berkata bahwa belum ada penyair yang mampu menandingi bakat, kreativitas, dan disiplin diri Chairil ketika mencoba menjadi seperti Chairil yang terkenal melankolis dan sentimental itu (Pinurbo, Berguru pada Puisi, Diva Press, 2019).
Sebuah puisi bercita rasa kekinian yang jarang dibahas, tapi justru membuktikan dalil Chairil dan juga Jokpin bahwa hal-hal kecil dalam hubungan antarmanusia bisa menjadi memikat jika digarap dengan cermat.
Bagi Jokpin yang percaya bahwa untuk menjadi gagah harus berani gigih, Chairil sering hanya ditiru ”baper”-nya tanpa diserap ”keren”-nya. Berdalih tidak ingin mengulang-ulang pembahasan tentang Chairil Anwar yang telah melimpah, Jokpin menyelisik puisi ”Tuti Artic” yang ditulis Chairil tahun 1947.
Sebuah puisi bercita rasa kekinian yang jarang dibahas, tapi justru membuktikan dalil Chairil dan juga Jokpin bahwa hal-hal kecil dalam hubungan antarmanusia bisa menjadi memikat jika digarap dengan cermat. Jokpin memaknai kedisiplinan Chairil dalam arti ketekunan dan kecermatan dalam mengolah kata. Kedua hal inilah yang menghubungkan Chairil dan Jokpin.
Sarat kritik sosial
Chairil Anwar dan Joko Pinurbo tidak pernah sungguh-sungguh pergi karena karya mereka selalu hadir dalam keseharian kita. Chairil adalah inspirasi yang menurut Jokpin sanggup menerabas bahasa semua kalangan, dari pejabat sampai preman.
Fokus kedua penyair kita ini tidak terbatas pada hal-hal pribadi saja. Masing-masing sangat memperhatikan isu-isu sosial dan etika yang lebih luas di zamannya. Jangan berharap basa-basi di sini. Puisi-puisi Chairil dan Joko Pinurbo membahas kekecewaan dan frustrasi yang muncul saat mengamati kompleksitas dunia nyata.
Sajak Chairil berjudul ”Hukum” (1943) merawi kisah para veteran yang telantar setelah perang usai, padahal pada waktu direkrut calon-calon perwira itu dijanjikan fajar baru dan jasa mereka akan dikenang (The Snatched and the Snapped, Gramedia Pustaka Utama, 2024). Puisi ini merupakan cerminan dari realitas sosial dan politik waktu itu yang abai pada yang kalah dan lemah.
Dibumbui dengan humor yang kerap kali mencela diri sendiri, karya Chairil dan Jokpin begitu jujur serta menarik sekaligus menohok.
Puisi Jokpin, ”Pesta” (2019), dalam Perjamuan Khong Guan (Gramedia Pustaka Utama, 2020) tak kalah menyuguhkan dark humor: ”Di balik demokrasi yang boros dan brutal ada pesta pembagian doa untuk mengenang para petugas yang lembur dan mati di tempat perniagaan suara dengan honor tak seberapa”.
Dengan gaya yang penuh humor dan satire, Jokpin tanpa ragu melempar kritik terhadap buruknya kondisi sosial ketika kebenaran dimanipulasi demi kepentingan politik. Dibumbui dengan humor yang kerap kali mencela diri sendiri, karya Chairil dan Jokpin begitu jujur serta menarik sekaligus menohok.
Kedua penyair ini, dengan gaya dan karyanya yang unik, telah menjadi suara kritis yang berani menyuarakan kebenaran di tengah gejolak zaman. Puisi-puisi mereka mencerminkan keprihatinan terhadap dunia yang makin kehilangan makna.
Pewarta kebenaran di era pascakebenaran
Kepergian Chairil pada usia 27 tahun, dan Joko Pinurbo, 61 tahun, telah memberikan kepada Indonesia guru-guru kehidupan yang memiliki empati dan kedalaman. Kekecewaan Jokpin terhadap politik klien, misalnya, mencerminkan kekacauan politik saat ini, ketika kebenaran sering dimanipulasi demi keuntungan dan kekuasaan pribadi.
Dengan mengkaji karya-karya Chairil ataupun Jokpin melalui lensa post-truth, kita dapat menyoroti relevansi puisi kedua penyair dalam menghadapi tantangan masyarakat kontemporer. Chairil tidak sempat melihat dunia yang tak bisa hening dan berkontemplasi karena ditelan riuh rendahnya (dis)informasi.
Jokpin lebih ”b(er)untung” mengarungi masa penuh gejolak saat ini. Ia sempat menyaksikan terkikisnya kebenaran, bangkitnya otoritarianisme, manipulasi politik, dan realitas semu.
Seperti Chairil yang futuristik, Joko Pinurbo juga berpuisi tanpa bermaksud untuk menggurui. Ia menyimak cara generasi muda melibati dunia yang sangat dipengaruhi oleh media sosial dan teknologi informasi.
Ia menyimak cara generasi muda melibati dunia yang sangat dipengaruhi oleh media sosial dan teknologi informasi.
Dari puisi ”Telepon Genggam” yang menggelitik saat pemenang undian berhadiah mobil kodok ditelepon untuk mengirimkan foto untuk dicocokkan dengan kodoknya, sampai dengan puisi lawas tahun 2022: ”Aku tidur berselimutkan uang, ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang”, Jokpin mengajak kita menertawai kebebalan dan keserakahan manusia.
Fokusnya pada situasi sehari-hari memungkinkan pembaca untuk terhubung secara mendalam di era pascakebenaran ini. Pembaca diajak merenung, berempati, dan memahami dunia yang dilanda kepalsuan (terutama oleh penguasa, politikus, dan pemilik modal) serta ketidakadilan terhadap tukang becak, tukang bakso, pengemis, penganggur, dan kaum terpinggirkan lainnya.
Di era saat kebenaran semakin kabur, dilecehkan, dan dimanipulasi (Haryatmoko, Jalan Baru Kepemimpinan & Pendidikan, Gramedia Pustaka Utama, 2020), karya Chairil Anwar dan Joko Pinurbo menjadi semakin relevan. Mereka berdua, dengan cara masing-masing, menunjukkan kepada kita bahwa puisi memiliki kekuatan untuk melawan kebohongan dan ketidakadilan.
Seperti pendahulunya, Jokpin menavigasi tema kekecewaan dan kompleksitas keberadaan manusia melalui permainan kata dan syair yang menyentuh. Ketika kadang ”tersiksa” saat diminta membuat tinjauan atau komentar tentang penyair lain, Jokpin memakai kesempatan ini untuk belajar, memetik inspirasi, dan ”mencuri ide” dari penulis lain (Pinurbo, 2019: 6).
Rupanya penyair kita mendapat ide dari penyair Inggris, TS Eliot, yang berseloroh: penulis yang baik meminjam, sedangkan penulis besar mencuri.
Baca juga: Warisan Besar Joko Pinurbo untuk Sastra Indonesia
Yang jelas, bagi Joko Pinurbo, puisi merupakan perjalanan yang tak pernah usai. Ia mencuri dan mencari. Penyair tidak boleh berhenti belajar karena berpuisi berarti beribadah sambil bernalar seperti yang dikutip di awal tulisan ini.
Bait penutup ”Tubuh Pinjaman” memperjelas kemampuan Joko Pinurbo dalam menyampaikan emosi yang mendalam secara sederhana dan anggun: ”Tubuh, pergilah dengan damai/ Kalau kau tak tenteram lagi tinggal di aku./ Pergilah dengan santai saat aku sedang mencintaimu.” (Borrowed Body and Other Poems, Lontar, 2015: 7).
Joko Pinurbo mengembalikan yang pernah dicuri, dicari, dan dipinjam.
Adios, Joko Pinurbo. Jagat puisi selalu mencintaimu!
Novita Dewi, Guru Besar Sastra Universitas Sanata Dharma