Ada kekhawatiran, tanpa stimulus, pertumbuhan bisa di bawah 5 persen tahun ini.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Kekhawatiran akan dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia pada pertumbuhan ekonomi memunculkan kebutuhan akan stimulus bagi sektor riil terdampak.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) hari Rabu (24/4/2024) menaikkan bunga acuan 25 basis poin menjadi 6,25 persen. Ini kenaikan pertama sejak Oktober 2023. Kebijakan menaikkan BI Rate akhirnya ditempuh BI karena begitu kuatnya tekanan terhadap rupiah yang kian mendekati level Rp 16.500 per dollar AS.
BI dalam situasi dilematis karena kenaikan suku bunga acuan ibarat pedang bermata dua: di satu sisi bisa membantu memperkuat nilai tukar, tetapi di sisi lain akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan ekonomi jangka panjang dan stance kebijakan moneter BI yang pro-stability membuat BI memilih opsi menaikkan BI Rate untuk meredam gejolak nilai tukar di tengah meningkatnya risiko global.
Pelemahan rupiah terutama dipicu langkah The Fed menahan bunga acuan sehingga memicu arus modal global mengalir kembali ke AS dan banyak mata uang dunia terjun bebas. Sebelumnya, The Fed menyinyalkan masih akan tiga kali menurunkan bunga acuan tahun ini seiring inflasi AS yang juga mulai terkendali. Konsensus ekonom global, eksekusinya kemungkinan baru dilakukan September. Selama itu pula tekanan terhadap rupiah masih akan terjadi. Pelemahan rupiah berkepanjangan akan memukul ekonomi domestik.
Namun, selain menahan eksodus dana keluar, kenaikan bunga acuan BI juga akan mendorong naiknya suku bunga kredit, yang akhirnya tertransmisi ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, ada kekhawatiran, tanpa stimulus, pertumbuhan bisa di bawah 5 persen tahun ini.
Di sini pentingnya kebijakan kenaikan suku bunga acuan dibarengi pula dengan stimulus atau insentif fiskal dan nonfiskal lain guna meredam dampaknya pada sektor riil.
Stimulus itu bisa berupa kebijakan untuk mengatasi beban kenaikan biaya akibat naiknya suku bunga, insentif pajak, atau pengurangan hambatan impor bahan baku dan penolong. Perlu pula diantisipasi potensi meningkatnya gagal bayar dan kredit macet UMKM akibat kenaikan suku bunga kredit. Kebijakan fiskal untuk bantalan sosial masyarakat yang terdampak mungkin juga diperlukan guna menjaga daya beli.
Di tengah ketidakpastian global, untuk stabilisasi nilai tukar, menaikkan bunga acuan dan berbagai instrumen moneter BI saja mungkin tak cukup. Koordinasi kebijakan moneter, fiskal, keuangan, dan sektor riil penting untuk menjaga stabilitas makro, baik inflasi, nilai rupiah, maupun pertumbuhan.
Tekanan nilai tukar ini pada dasarnya implikasi dari masih kuatnya hegemoni ekonomi dan dollar AS serta sistem perekonomian kita yang terbuka. Di sini pentingnya peringatan IMF untuk fokus pada fundamen ekonomi dalam negeri. Mencegah defisit ganda (twin deficit), yakni fiskal dan neraca transaksi berjalan, salah satu kunci menjaga rupiah. Tak kalah penting, mengurangi ketergantungan pada penggunaan dollar AS. Pendalaman pasar uang dan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi antarnegara menjadi penting di sini.