Tren Sewa Rumah, Antara Bunga KPR hingga Gaya Hidup Kekinian
Menyewa rumah itu ekonomis, ramah lingkungan, selaras dengan tren masa kini yang butuh fleksibilitas. Benarkah demikian?
Kabar tentang potensi kenaikan bunga kredit kepemilikan rumah sebagai salah satu dampak kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen memunculkan lagi opsi lebih baik menyewa daripada membeli hunian.
Mengontrak rumah diperbincangkan karena dinilai lebih ekonomis daripada membeli rumah baru maupun second atau bekas. Pilihan menjadi penyewa makin disanjung karena disebut bagian dari gaya hidup hijau dan berkelanjutan.
Bisnis penyewaan tempat tinggal dan tempat usaha dipercaya telah ada sejak ratusan hingga ribuan tahun silam. Di era modern, praktik menyewakan dan sewa properti berkembang pesat seiring revolusi industri yang dimulai sejak abad ke-18 di Eropa yang memengaruhi seluruh dunia.
Di perkotaan, usaha sewa-menyewakan tempat untuk berbagai kebutuhan tak bisa dipisahkan dari ledakan jumlah kelas menengah dari kalangan pekerja.
Baca juga: Banjir Dubai, Kota Paling Maju Pun Tunduk pada Krisis Iklim
Saat ini, perekonomian penyewaan menjadi lebih kompleks dan beragam. Selain penyewaan rumah maupun hunian vertikal reguler, ada pula penyewaan jangka pendek untuk liburan atau keperluan singkat lain. Ada pula konsep ruang hidup berbagi yang bisa diterjemahkan dengan menyewa tempat bersama untuk tinggal maupun berbisnis.
Pertumbuhan ekonomi penyewaan yang menjadi tren pemanfaat ekonomi kekinian itu didorong oleh beberapa faktor, termasuk perubahan demografi, kondisi ekonomi, dan kemajuan teknologi.
Salah satu pendorong utama perekonomian penyewaan adalah meningkatnya jumlah generasi muda yang menunda kepemilikan properti karena tingginya harga dan gaya hidup baru yang menginginkan fleksibilitas serta mobilitas lebih luas.
Khususnya tren menyewa rumah, faktor lain yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi penyewaan adalah bangkitnya gig economy terkait dengan membeludaknya pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer).
Mereka memiliki pendapatan yang tidak dapat diprediksi dan sering kali harus berpindah-pindah kota untuk bekerja. Menyewa rumah menjadi pilihan lebih menarik daripada memiliki rumah.
Baca juga: Kreativitas dan Humor di Balik ”Dress Shimmer” hingga Kaleng Rengginang
Menyewa rumah turut menjadi bagian dari kampanye hidup hijau di perkotaan. Menyewa berarti memanfaatkan bangunan yang telah ada dan kecenderungan pelaku mengontrak tempat lebih kecil daripada jika membeli atau memiliki sendiri.
Tempat yang lebih kecil berarti perlu pengendalian kepemilikan barang dan pembatasan belanja barang baru. Hal ini menekan pengeluaran, produksi sampah, dan hal lain yang diasosiasikan bisa memperparah kerusakan lingkungan.
Selain itu, biasanya penyewa memilih rumah di pusat kota yang lebih dekat dengan tempat kerja maupun sekolah dan pasar. Akses ke berbagai tujuan bisa dengan berjalan kaki atau memanfaatkan angkutan umum. Biaya pembelian bahan bakar yang lebih kecil, bahkan tidak ada, ikut mengurangi polusi udara maupun kemacetan kota.
Dengan pembayaran sewa secara periodik yang stabil dan pengeluaran lain lebih kecil, pengontrak dapat mengatur keuangannya secara lebih baik. Ada peluang emas untuk menambah tabungan dan pendapatan dengan menggunakan kelebihan uang untuk usaha maupun hal lain.
Jika suatu saat tetap ingin memiliki properti, asumsinya seorang pengontrak memiliki masa persiapan keuangan lebih baik.
Efektivitas pemanfaatan tempat dan waktu membantu mengikis stres juga beban ekonomi tambahan yang biasa melanda kaum urban di perkotaan tak tertata perkembangannya (rebakan urban/urban sprawl).
Baca juga: Belajar dari Kebakaran Maut di Mampang Prapatan
Bagi pemilik yang menyewakan propertinya atau berbagi tempat tinggal dengan orang lain di rumahnya secara berbayar, berarti menghemat perawatan rutin bangunan, menjaga aset, dan menambah penghasilan.
Kebijakan publik cenderung menguntungkan empunya rumah dan merugikan pengontrak.
Ideologi properti
Meskipun menyewa rumah telah menjadi tren, budaya arus utama di sebagian besar negara ternyata masih memandang pengontrak dengan sebelah mata.
Salah satu American dreams yang mengakar di pikiran masyarakat Amerika Serikat, misalnya, tetaplah menjadi pemilik rumah dengan segala kelengkapan simbol kenyamanan maupun keamanan di dalamnya.
Dalam jurnal ”The history of tenants in the United States, struggle and ideology” (1981) oleh Allan David Heskin dan “Landlords and tenants in London, 1550-1700” (2011) oleh William C Baer diulas tentang pola pikir masyarakat serta berbagai stigma yang melekati penyewa rumah.
Pemahaman tersebut ternyata berakar dari praktik berusia ratusan tahun. Di masa lalu, tuan tanah, pemilik lahan dan berbagai bangunan yang difungsikan untuk hunian maupun tempat usaha identik dengan orang kaya rasa juga penguasa.
Penyewa selalu dikelompokkan sebagai kaum yang lebih miskin, pendatang di kota atau tempat yang menjanjikan pekerjaan dengan upah tak seberapa. Dipengaruhi pemahaman tersebut, muncul istilah ”ideologi properti” yang memisahkan kepentingan pemilik rumah dari kepentingan penyewa berpenghasilan rendah.
Baca juga: Mudik dan Urbanisasi
Donald A Krueckeberg dalam jurnalnya, ”The grapes of rent: A history of renting in a country of owners” (2010), menyatakan, menurut ideologi ini, pemilik adalah warga negara yang lebih baik daripada penyewa. Oleh karena itu, kebijakan publik cenderung menguntungkan empunya rumah dan merugikan pengontrak.
Bias yang sengaja memihak pemilik properti dan merugikan penyewa telah menjadi hal yang menonjol dalam kebijakan publik Amerika. Kondisi tersebut berlangsung sejak ratusan tahun lalu dan jejak maupun sisa kebijakannya terendus hingga saat ini. Fenomena serupa ada di negara lain, termasuk Indonesia.
Beberapa kebijakan pemerintah secara umum biasanya cenderung memberi peluang lebih kepada pemilik modal untuk membeli, memiliki, dan mengusahakan lahan juga properti. Redistribusi lahan yang adil untuk setiap warga tidak terwujud. Praktik monopoli kepemilikan lahan, properti, dan usaha persewaan justru tumbuh subur.
Di lokasi kawasan pengembangan baru, biasa ditemukan pengembang menjual unit apartemen maupun rumah kepada konsumen. Konsumen berdompet tebal bisa memborong unit yang dijajakan. Pengembang, atau melalui pihak yang direkomendasikan oleh mereka, menjanjikan kepada konsumen bahwa hunian mereka bisa segera dapat disewakan dan menghasilkan uang.
Praktik penguasaan lahan berlebihan semata demi mengeruk dan menguasai sumber ekonomi melawan semua kaidah tata kelola ramah lingkungan. Eksploitasi lahan dan aktivitas pembangunan berlebihan sudah pasti tidak hemat sumber daya.
Baca juga: Tarif Murah, Syarat Wajib Angkutan Umum Modern Perkotaan
Tren menyewakan rumah untuk penginapan turis di daerah wisata pada akhirnya juga menjadi ajang unjuk gigi pemilik kapital. Mereka bisa membeli atau menyewa dengan murah dari warga lokal kemudian mengembangkan bisnis sewa properti.
Akibatnya, harga sewa, harga beli properti, dan harga lahan sama-sama melonjak naik. Warga setempat yang membutuhkan rumah untuk mereka sendiri terlepas dari bisnis wisata tak mampu membayar sewa, apalagi membelinya. Kasus seperti ini terjadi di banyak kota dan pusat wisata di dunia.
Kendali pemerintah
Adanya kemungkinan kenaikan bunga KPR dan tren menyewa rumah sebagai gaya hidup kekinian kali ini di Indonesia diharapkan memunculkan ide-ide segar dalam mewujudkan hak atas hunian layak bagi masyarakat. Tidak sekadar menambah ceruk bisnis bagi para pemilik modal, apalagi makin menutup akses warga lain atas tempat tinggal.
Pengelola kota dapat melihat situasi ini sebagai momentum menata ruang urban, termasuk manajemen hunian.
Baca juga: Proyek Tol Dalam Kota Menantang Logika dan Fakta
Data jumlah bangunan dan fungsinya akan membantu pemerintah memetakan pasokan dan kebutuhan hunian di kotanya. Kebijakan ketat yang mengatur hak dan kewajiban penyewa serta pemilik properti dapat menjadi alat redistribusi hunian secara adil lagi berkelanjutan.
Selama ini, upaya pemerintah membangun hunian layak murah bagi warga berpenghasilan rendah selalu terbentur biaya. Hunian terjangkau bagi kelas menengah juga belum semuanya dipenuhi. Siapa tahu, jika dapat menjembatani dengan aturan jelas tentang ekonomi sewa antarwarga, salah satu masalah kronis perkotaan tersebut dapat ditangani.
Baca juga: Catatan Urban