Politik Bunglon, Tidak Ada Musuh Abadi
Sejatinya kepentingan mereka bergabung adalah untuk keamanan diri dan mempertahankan diri, seperti halnya bunglon.
Bunglon, binatang reptilia yang punya keistimewaan mengubah warna kulit tubuhnya dan akan menyerupai warna daun di sekitarnya. Perubahan warna itu disebut mimikri.
Tujuan mengubah warna agar bunglon tersebut menyerupai warna daun di sekitarnya guna melindungi dan mempertahankan diri dengan cara kamuflase untuk keamanan diri. Dalam keseharian kehidupan kita, orang yang plin-plan tidak mempunyai pendirian tetap dan cenderung mencla-mencle biasanya disebut manusia seperti bunglon.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selanjutnya, dalam jagat perpolitikan selalu ada ungkapan bahwa tidak ada musuh yang abadi, karena yang abadi itu kepentingan. Dengan berpijak pada adagium tersebut, perpindahan seseorang masuk-keluar partai politik lain itu hal yang lazim dan bukan sebuah kenistaan.
Demikian pula dalam koalisi partai politik sebuah pemerintahan. Sah-sah saja ketika partai politik yang sebelumnya berseberangan dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu) akan dengan mudahnya pindah dan bergabung dengan pemenang pemilu. Politik yang demikian tersebut tidak ada salahnya jika dinamakan politik bunglon.
Alasan partai politik yang tadinya lawan kemudian bergabung menjadi kawan selalu klasik, yaitu demi kemaslahatan bangsa, demi rekonsiliasi negara, serta demi yang lain. Akan tetapi, jika diperhatikan dengan saksama, sejatinya kepentingan mereka bergabung menjadi koalisi itu adalah untuk keamanan diri dan mempertahankan diri, seperti halnya bunglon.
Akhir kata, kita akan segera melihat siapakah partai politik yang akan pindah pagar menjadi kawan dalam koalisi setelah sebelumnya menjadi lawan dalam Pemilu 2024. Akankah banyak bunglon di negeri ini? Atau partai politik di negara kita teguh pada prinsip pendiriannya serta berbudibawa leksana? Waktu yang akan menjawab.
Tugurejo, Tugu, Semarang
”Jendela Pecah” Negeri Tercinta
Pemilihan Presiden 2024 telah usai setelah KPU menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Melalui kolom surat pembaca ini, saya ingin memberikan catatan kecil sebagai bahan refleksi bersama.
Di kota saya, Wonogiri, kini meruyak grafiti di mana-mana. Tulisan cat coreng-moreng hadir di tembok- tembok dan bangunan telantar. Bahkan, terdapat pula di gelagar jembatan kereta api yang melintang di atas jalan raya.
Fenomena maraknya grafiti itu bikin saya ingat teori jendela pecah (broken windows) dari kriminolog James Q Wilson dan George Kelling untuk menerangkan asal epidemi tindak kejahatan.
Menurut mereka, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika ada jendela sebuah rumah pecah, tetapi dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan itu tidak ada yang peduli, atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni.
Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat tersebut.
Lanjutnya, di sebuah kota, awal yang remeh, seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.
Apakah fenomena jendela pecah itu juga terjadi dalam kehidupan berbangsa dan berdemokrasi bangsa Indonesia?
Seingat saya, dalam pemilihan umum di Indonesia, baru kali ini di Pemilu 2024 para cendekiawan dari kampus dan politisi melayangkan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi terkait sengketa pemilu yang terjadi.
Menurut pemahaman awam saya, amicus curiae tersebut tidak lain sebagai sinyal kewaskitaan para cendekiawan kita tentang fenomena jendela pecah yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan berdemokrasi di republik ini.
Bisakah kita sama-sama optimistis memperbaiki ke depannya?
Wonogiri, Jawa Tengah
Catatan Mudik dan Balik
Perjalanan mudik dan balik melalui jalan tol pada 10 dan 12 April 2024 menarik untuk dicatat. Kami sekeluarga biasa memilih waktu mudik ke Kota Tegal dari Jakarta setelah shalat Idul Fitri.
Berangkat dari Jakarta, Rabu, 10 April 2024, kami memasuki jalan tol dari Cawang, Jakarta Timur, sekitar pukul 10.30 WIB. Kondisi jalan berbayar sampai gerbang keluar di Tegal (Adiwerna) relatif ramai, tetapi lancar. Namun, ada sedikit catatan.
Catatan pertama, saat memasuki rest area tambahan ternyata tidak tersedia toilet yang cukup. Hal ini berbeda dengan janji dan pernyataan pihak terkait, yaitu akan memperbanyak toilet mobil/portabel. Faktanya, di rest area sementara Cikampek-Palimanan itu langka toilet.
Saat kendaraan masuk pun tidak terlihat petugas yang mengatur kecuali sukarelawan. Tanda arah untuk parkir juga kurang terlihat.
Intinya, setelah susah payah dapat tempat parkir, mencari toiletnya pun sulit.
Hal lain yang jadi catatan, untuk bisa keluar rest area juga harus sabar akibat jalur lintas kacau.
Sementara arus balik pada Jumat, 12 April 2024, relatif ramai lancar. Catatan kami terkait pelayanan tap kartu tol secara manual.
Untuk memperbanyak tempat transaksi pembayaran, ada tambahan petugas pembawa alat tap transaksi. Ternyata dilayani secara manual perlu waktu lebih lama. Sebab, setelah petugas menerima kartu e-money dan menggeseknya ke alat transaksi yang dipegang harus menunggu sampai kertas bukti transaksi keluar.
Petugas baru menyerahkan kembali kartu e-money bersama kertas bukti transaksi pembayaran setelah kertasnya disobek dari alat gesek.
Hal ini berbeda jika transaksi dilakukan secara otomatis. Setelah tap kartu dan gerbang pintu tol terbuka, kita bisa langsung meneruskan perjalanan dengan tidak harus menunggu kertas bukti transaksi.
Catatan lain, jumlah petugas kepolisian lalu lintas tidak tampak banyak di sepanjang Jalan Tol Cawang sampai Tegal.
Pondokgede, Kota Bekasi