Menilik Badan Penerimaan Negara
Upaya pemerintahan baru untuk membentuk badan penerimaan negara memerlukan dukungan dari masyarakat.
Lebih kurang 20 tahun lalu, Rosario Manasan merilis hasil studi yang menyimpulkan bahwa reformasi pajak di banyak negara umumnya berujung pada upaya menemukan model ideal bentuk institusi pajak (Manasan: 2003).
Model yang kemudian menjadi rekomendasi sering disebut semi-autonomous revenue authority (SARA). Terminologi ini sebetulnya lebih merujuk pada konsep kerangka kerja dan tata kelola sebuah organisasi administrasi pemungutan dalam rangka menyiapkan institusi menjadi otonom dan bergeser dari model sebelumnya yang berbentuk institusi reguler (Crandall dan Kidd: 2010).
Calon presiden dan wakil presiden peraih suara terbanyak Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menempatkan penerimaan negara dalam ”perhatian khusus” dengan program berupa pembentukan badan penerimaan negara (BPN). Ini akan masuk dalam program hasil cepat demi mendorong capaian tax rasio yang angkanya diupayakan dapat menembus 23 persen.
Baca juga: Badan Penerimaan Negara Bukan ”Panasea” Masalah Pajak
Membentuk BPN bukanlah sekadar memisahkan organisasi pengelola penerimaan negara dari Kementerian Keuangan. Bukan pula soal posisi strukturalnya, melainkan terkait dengan transisi organisasi yang ada saat ini menjadi sebuah institusi dengan otoritas dan kewenangan khusus.
Dengan pemahaman ini, upaya sekadar ”ganti baju” dapat dihindari karena sebetulnya proses yang ideal adalah membuat ”baju baru” agar di kemudian hari problem ”baju baru yang sempit” tak terjadi.
Di Indonesia, riset ilmiah tentang SARA telah diinisiasi dan dipublikasikan tahun 2013 dalam DDTC Working Paper oleh Bawono Kristiaji dan Andri Poesoro. Riset itu menyimpulkan, institusi merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap penerimaan.
Di bagian lain, riset ini juga menyimpulkan bahwa keputusan mengadopsi model SARA ”is clearly not solely influenced by the internal administration calculation, but also should include broader political-economic considerations” (DDTC: 2013).
Berbekal hasil-hasil riset selama ini, sebetulnya tahun 2015 ada upaya untuk membentuk lembaga yang disebut badan penerimaan pajak (BPP) yang kemudian oleh Presiden Joko Widodo disiapkan amanat presidennya. Namun, dalam dinamikanya belum terealisasi.
Itu dapat dipahami mengingat fokus pemerintah saat itu adalah memaksimalkan penerimaan negara melalui program tax amnesty. Ini demi memastikan ketersediaan kebutuhan anggaran yang meningkat untuk pembiayaan program selama transisi pemerintahan baru. Inisiatif membentuk BPP saat itu belum pada momentum tepat karena dapat mengganggu kinerja organisasi yang ada.
Pada saat bersamaan, pemerintah fokus pada inisiatif global AEOI yang juga menjadi momentum untuk membenahi basis data perpajakan. Walaupun demikian, pemerintah tetap menyadari bahwa pekerjaan ini tidaklah sederhana sehingga komitmen pemerintah akhirnya lebih diarahkan ke perbaikan sistem administrasi pajak secara menyeluruh.
Upaya pemerintahan baru untuk membentuk BPN memerlukan dukungan dari masyarakat.
Kemudian terbitlah Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Pajak (PSAP) yang melahirkan proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Pajak (PSIAP). Pekerjaan utamanya membangun core tax system melalui implementasi integrasi sistem seluruh proses bisnis inti administrasi pajak di Indonesia.
Sebagai bagian dalam program hasil cepat, pembentukan BPN setidaknya bisa diparalelkan dengan agenda besar reformasi pajak saat ini. Tidak tertutup kemungkinan capres Prabowo menjadikan program ini sebagai program 100 hari setelah pelantikan Oktober 2024.
Oleh karena itu, tim Prabowo-Gibran dan Presiden Jokowi dapat mempertimbangkan untuk meletakkan program ini sebagai salah satu prioritas utama dalam transisi pemerintahan. Inisiasi diskusi dapat dimulai dengan kementerian terkait agar baseline yang sudah ada dapat dimanfaatkan.
Apalagi dalam Perpres No 40/2018, skema model organisasi merupakan output yang sangat strategis karena rancang ulang administrasi pajak yang sedang dibangun telah mempertimbangkan common practice yang dipakai pada berbagai sistem perpajakan modern.
Organisasi fungsional
Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan model organisasi yang bisa dipakai. IMF dalam studinya memublikasikan model pendekatan organisasi fungsional (IMF: 2010). Dalam konteks Indonesia, model ini bisa dikombinasikan dengan perkembangan ter-update di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang kini menerapkan mekanisme kerja dalam skema Komite Kepatuhan, dan menghasilkan kinerja organisasi baik.
Jika pendekatan organisasi fungsional ini akan diadopsi oleh BPN kelak, apa yang berlangsung di lingkungan DJP saat ini bisa dijadikan baseline.
Untuk fleksibilitas operasional, desain BPN perlu merujuk ke institusi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), mulai 2024, pungutan lembaga keuangan yang selama ini berbentuk iuran langsung ke OJK telah berubah menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di APBN.
Nantinya, OJK akan mendapatkan porsi pembiayaan dari APBN sesuai rencana kerjanya. Opsi bagi BPN kelak, bisa saja menggunakan model pembiayaan operasional dengan pendekatan cost collection ratio allocation, mengambil rasio persentase tertentu dari realisasi penerimaan negara pada APBN sebagai biaya operasional BPN.
Tidak tertutup kemungkinan capres Prabowo menjadikan program ini sebagai program 100 hari setelah pelantikan Oktober 2024.
Saat ini, Indonesia sedang berupaya bergabung dalam keanggotaan negara-negara OECD yang komponen tax ratio-nya berbeda dengan komponen tax ratio Indonesia selama ini. Capaian tax ratio negara-negara OECD rata-rata di angka 34 persen, sangat jauh di atas capaian kita.
Tantangan BPN tidaklah mudah. Riset keterkaitan langsung antara tax ratio dan model organisasi memang belum bisa memberi jawaban memuaskan bagi kita semua. Walaupun demikian, harus diakui bahwa struktur organisasi suatu administrasi pajak merupakan komponen kunci dari program modernisasi dan reformasi yang efektif (Maureen Kidd: 2010).
Upaya pemerintahan baru untuk membentuk BPN memerlukan dukungan dari masyarakat. Proses rancang ulang komponen administrasi pajak dan komponen kebijakan pajak diharapkan dapat menaikkan tax ratio demi keberlanjutan semua program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat.
Yeheskiel Minggus Tiranda, Guru Besar Hukum Pajak Universitas Islam Sultan Agung, Semarang