Tepat kiranya seruan dari Prabowo Subianto agar semua elite bersatu untuk membangun bangsa agar kita tak tertinggal.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Di berita utama harian ini, Kamis (25/4/2024), presiden terpilih Prabowo Subianto mengajak semua elite meninggalkan perbedaan. Kita ingin menggarisbawahi pernyataan itu.
Sebagai ajakan, atau seruan, kini saatnya bangsa Indonesia bersatu, sama-sama menatap ke depan. Tentu dalam sudut pandang atau cara menyelesaikan persoalan bisa berbeda, tetapi visi dan tujuan memajukan negara dan bangsa tak bisa lain selain dilakukan bersama dalam semangat persatuan.
”Hanya dengan bersatu, bekerja sama, kita akan mencapai cita-cita yang diharapkan oleh bangsa kita,” ujar Prabowo pada Rapat Pleno Terbuka Penetapan Capres-Cawapres Terpilih di Gedung KPU, Rabu (24/4/2024).
Prabowo dan Gibran masih mempunyai waktu enam bulan sebelum dilantik untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, tempo tersebut relatif pendek jika kita melihat tumpukan persoalan yang ada.
Tak semua persoalan berasal dari dalam negeri. Ketegangan geopolitik internasional, seperti halnya yang terjadi di Timur Tengah, sedikit atau banyak ada pengaruhnya terhadap kondisi perekonomian kita. Dalam kaitan geopolitik internasional ini, yang rentan bagi kita adalah jika ada gangguan pada rantai pasok komoditas. Apa yang bisa kita katakan tentang kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang cenderung merosot?
Selebihnya, kita bisa menengok kondisi perekonomian kita yang amat rentan karena ada banyak komoditas strategis yang kita impor, mulai dari minyak hingga beras, bahkan mulai dari kedelai hingga garam.
Kita masygul melihat realitas ini karena setelah beberapa kali ganti kepemimpinan nasional, hal-hal mendasar itu tak kunjung bisa dibenahi. Padahal, dengan membenahi persoalan impor saja, ada banyak hal yang dapat meningkatkan ketangguhan kita dalam menghadapi krisis global.
Selama ini kita berpandangan, ekonomi kita amat terbantu dengan kekenyalan sektor UMKM kita. Namun, sektor ini pun rentan terhadap terus berlangsungnya tren impor berbagai komoditas pokok, seperti kedelai.
Pemerintah mendatang juga harus memiliki daya dan kiat jitu guna mencapai pertumbuhan 7 persen yang berkualitas, yang mampu menciptakan lapangan kerja yang tak kunjung berkembang. Dalam soal lapangan kerja inilah, kita dihadapkan pada tantangan pelik. Sudah tepat kita menggeser perekonomian dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis ilmu pengetahuan (dan teknologi). Masalahnya, ekonomi berbasis pengetahuan pun kini sedang guncang akibat bangkitnya Revolusi Industri 4.0 yang membawa aneka teknologi baru, terutama kecerdasan buatan (AI).
Janji pembangunan SDM yang pada pemerintahan sekarang minim diwujudkan pada masa mendatang harus benar-benar diwujudkan. Bagaimana mau menyongsong ”Indonesia Emas” jika mayoritas tenaga kerja kita masih berijazah SD karena waktu yang dihabiskan di sekolah hanya 8 tahun?
Deretan persoalan masih bisa kita perpanjang lagi. Namun, kiranya isu di atas lebih dari cukup untuk membuat kita harus sibuk bekerja keras, lebih keras dari sekarang.
Dari sinilah kita ulangi lagi seruan Presiden Terpilih agar kita meninggalkan perbedaan dan bersatu padu membangun negeri dengan ketulusan. Bekerja dengan langgam ”business as usual” niscaya hanya menghasilkan hasil ”begini-begini saja”, boro-boro mengangkat Indonesia keluar dari ”negara berpenghasilan menengah”.