Ilustrasi
Data skrining Kementerian Kesehatan pada Maret 2024 terhadap 12.121 mahasiswa calon dokter spesialis di 28 rumah sakit pendidikan menunjukkan bahwa 22,4 persen mahasiswa mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen mengalami gejala depresi berat, bahkan ada yang mengaku ingin mengakhiri hidup atau melukai diri (Kompas, 16/4/2024). Perundungan oleh senior, baik secara verbal maupun fisik, disebut sebagai salah satu penyebab munculnya gejala depresi (Kompas, 18/4/2024).
Perundungan adalah isu kompleks yang terjadi di semua tempat, tidak hanya di kampus kedokteran. Memang, program studi kedokteran memiliki tantangan tersendiri dan mahasiswa diharapkan menyadari hal itu sejak sebelum kuliah.
Saat pertama kali masuk kampus, sudah ditekankan kepada mahasiswa bahwa kesalahan sedikit saja dari dokter bisa berakibat fatal terhadap nyawa pasien. Senior atau pembimbing yang bersikap galak atau marah-marah karena mahasiswa melakukan kesalahan, walau kecil, dianggap normal, bagian proses pendidikan mereka, supaya para dokter bisa menghindari malapraktik di kemudian hari.
Sayangnya, ada senior yang sengaja berlagak galak dan menggunakan status senior atau egonya bertindak sewenang-wenang terhadap yuniornya. Alasannya demi mendidik mereka agar memiliki ”mental kuat” saat menghadapi tantangan di lapangan kerja. Disadari atau tidak, hal itu mendorong terbentuknya lingkungan pendidikan yang toksik dan menimbulkan stres, yang pasti akan terulang pada angkatan berikutnya.
Mendidik dengan cara keras mungkin tidak terhindarkan bagi sebagian orang, tetapi semestinya kita masih bisa mengendalikan ego kita.
Cara mendidik yunior dengan ego seperti ini terjadi di berbagai lingkungan kampus, bahkan sekolah dan lingkungan kerja, tidak hanya di kampus kedokteran. Perundungan yang terjadi biasanya bermula dari sikap kita sendiri yang kesulitan mengendalikan ego. Sebaiknya Kemenkes tidak sendirian dalam menindaklanjuti kasus ini karena perundungan bukan kasus eksklusif yang hanya terjadi di satu tempat.
Trinita SB
Ngemplak, Sleman, DIY
Beda Layanan BPJS dan KIS
Pada Januari 2024, saya dirawat inap di RSU Haji Surabaya (milik Pemprov Jawa Timur) dengan fasilitas BPJS dan berhak atas perawatan di ruang rawat kelas satu. Waktu itu, dengan pertimbangan supaya penunggu pasien bisa ikut menginap, saya memilih dirawat inap menggunakan ruang rawat utama (VIP) dan saya harus membayar selisih tarifnya yang lebih mahal, selesai, tidak masalah.
Kemudian pada April 2024, saya mengantar cucu saya dirawat inap di rumah sakit yang sama, tetapi dengan fasilitas KIS (Kartu Indonesia Sehat).
Juga dengan pertimbangan supaya penunggu pasien bisa ikut menginap, saya memilih rawat inap menggunakan ruang VIP.
Ternyata, saya harus membayar biaya penuh seperti pasien umum yang menurut ukuran saya lumayan mahal.
Karena saat itu kondisi cucu saya sudah lumayan berat, saya menerima saja ketentuan itu supaya cucu saya bisa segera ditangani.
Pertanyaan saya kepada RSU Haji Surabaya atau siapa saja yang berwenang menjawab, apakah memang ada ketentuan yang membedakan fasilitas antara pasien BPJS dan pasien KIS di RSU Haji?
Karena menurut kabar dari beberapa teman saya yang kerabatnya pernah dirawat di RS Suwandhi (milik Pemkot Surabaya), tidak ada perbedaan fasilitas antara pasien BPJS dan pasien KIS.
Menurut saya juga begitu karena kedua rumah sakit itu sama-sama milik pemerintah.
Bob Djumara
Wisma Permai, Mulyorejo, Surabaya