Investasi dan Kemitraan untuk Optimalisasi Infrastruktur
Untuk optimalisasi pembangunan infrastruktur, pemerintah dan BUMN perlu melibatkan partisipasi sektor nonpemerintah.
Oleh
ARIEF BUDIMAN
·4 menit baca
Investasi dalam pembangunan infrastruktur memiliki peran penting dalam mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mendukung pemerataan kesejahteraan sosial. Penelitian ”G20 Global Infrastructure Hub” menunjukkan bahwa investasi infrastruktur memiliki efek berganda (multiplier effect) yang lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik pada umumnya, hingga kurang lebih 1,5 kali dalam masa dua hingga lima tahun.
Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur jalan-jalan pada 2003-2010 berkontribusi pada penciptaan 4 persen lapangan kerja baru di Peru. Kontribusi ini, antara lain, dari berbagai ekspansi usaha dan peningkatan kegiatan ekspor yang dimungkinkan oleh infrastruktur tersebut.
Dekade terakhir menandai upaya serius Pemerintah Indonesia dalam membangun infrastruktur, ditunjukkan dengan peningkatan alokasi anggaran infrastruktur dari Rp 154,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 422,7 triliun pada 2024. Namun, kelanjutan investasi infrastruktur tetap diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6-7 persen guna mencapai visi Indonesia Maju.
Nilai komersial pembangunan infrastruktur sering kali baru dapat dicapai dalam jangka panjang. Untuk itu, investasi langsung pemerintah melalui APBN tetap diperlukan. Meskipun demikian, dengan keterbatasan kapasitas fiskal pemerintah dan BUMN, partisipasi aktif dari entitas nonpemerintah menjadi penting. Partisipasi ini tidak hanya dalam melakukan investasi, tetapi juga dalam mengoptimalkan infrastruktur yang telah ada, untuk memastikan bahwa investasi tersebut memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang maksimal untuk masyarakat luas.
Sejak didirikan, Indonesia Investment Authority (INA), sebagai sovereign wealth fund Indonesia, menempatkan investasi di sektor infrastruktur sebagai prioritas utamanya, mencakup berbagai sektor, seperti transportasi, logistik, telekomunikasi, dan energi. Hingga kini, INA bersama mitra investasinya telah melakukan investasi lebih dari 3,2 miliar dollar AS atau kurang lebih Rp 50 triliun. Interaksi INA dengan berbagai mitra dari berbagai penjuru dunia membuka beberapa perspektif baru dalam optimalisasi infrastruktur di Indonesia.
Optimalisasi infrastruktur
Berdasarkan pengalaman kami, terdapat tiga konteks optimalisasi infrastruktur, yaitu infrastruktur dasar di area yang sudah matang, infrastruktur dasar di area baru, dan infrastruktur inovatif untuk memenuhi kebutuhan dan/atau mengembangkan pelayanan baru.
Konteks yang pertama adalah optimalisasi infrastruktur dasar, seperti jalan, pelabuhan, dan bandar udara di area yang sudah matang. Tantangan pada konteks ini adalah melakukan optimalisasi infrastruktur untuk menciptakan nilai lebih. Bentuk optimalisasi ini beragam: dapat berupa efisiensi dalam operasi dan pemeliharaan hingga peningkatan produktivitas, kapasitas, dan/atau kemampuan pelayanan.
Selain itu, optimalisasi juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikan teknologi terkini yang telah diadopsi oleh operator infrastruktur dunia. Sebagai contoh dalam pengelolaan peti kemas, penerapan otomasi, data analytics, digitalisasi supply chain dengan real-time connectivity dengan perusahaan perkapalan pengguna dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses bongkar muat kapal kontainer di dermaga hingga 50-70 persen.
Di sektor infrastruktur digital, kebutuhan data center Indonesia diperkirakan akan meningkat tajam, dari sekitar 110 MW menjadi lebih dari 300 MW dalam lima tahun ke depan.
Konteks kedua adalah investasi infrastruktur dasar di area pengembangan baru. Di area baru, dampak sosial ekonomi untuk masyarakat dapat bernilai tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), diperkirakan pembangunan dan pengoperasian seluruh jalan tol Trans-Sumatera dapat menciptakan lebih dari 1 juta lapangan kerja setiap tahun.
Meskipun demikian, tantangan komersial atau finansial yang dihadapi cukup tinggi mengingat penggunaan yang kadang masih jauh di bawah kapasitas yang diinvestasikan. Untuk meningkatkan penggunaan infrastruktur, kadang diperlukan investasi tambahan di sektor atau area terkait.
Sebagai contoh, untuk meningkatkan penggunaan jalan tol baru, investasi pembangunan kompleks industri atau pengembangan area hunian, ritel, atau komersial di alur jalan tersebut dapat membantu tingkat utilisasi. Selain itu, investasi lanjut untuk memperluas ”konektivitas” diperlukan, seperti jaringan jalan tol yang lebih luas atau pelabuhan yang tersambung pada jalan tol tersebut.
Terakhir adalah pengembangan infrastruktur ”inovatif” untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau konsumen yang belum terpenuhi secara optimal. Peran sektor swasta atau nonpemerintah sering ditemukan pada konteks infrastruktur inovatif ini. Inovasi diperlukan seiring dengan meningkatnya tuntutan segmen pengguna tertentu.
Sebagai contoh, di sektor logistik, infrastruktur modern warehouse dirancang untuk mampu mendukung kebutuhan pengguna layanan logistik berkebutuhan tinggi. Seperti pemain e-commerce yang membutuhkan turnaround time atau waktu proses yang sangat cepat atau Third-party Logistics (3PLs). Juga pemain otomotif yang membutuhkan spesifikasi gedung seperti kemampuan tahan beban landasan serta standar fire safety yang tinggi.
Di sektor infrastruktur digital, kebutuhan data center Indonesia diperkirakan akan meningkat tajam, dari sekitar 110 MW menjadi lebih dari 300 MW dalam lima tahun ke depan, terutama didorong oleh permintaan hyperscaler, pemain teknologi berskala besar yang membutuhkan kapasitas data center tinggi. Selain memastikan pelayanan infrastruktur inti, instalasi data center baru juga perlu berupaya mengembangkan penggunaan energi terbarukan mengingat tuntutan konsumen global yang membutuhkan adopsi praktik sustainability di seluruh operasinya.
Investasi dan inovasi infrastruktur juga diperlukan di sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Sebagai contoh, di Australia, dilakukan investasi infrastruktur sosial berupa pusat-pusat edukasi anak usia dini, yang tidak hanya meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan produktivitas negara.
Untuk Indonesia, sektor sosial masih membutuhkan investasi signifikan. Di sektor kesehatan contohnya, rasio tempat tidur rumah sakit dan jumlah dokter per 1.000 penduduk masih 40 persen lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Masih banyak dibutuhkan investasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sektor ini.
Infrastruktur merupakan salah satu fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pemerintah dan BUMN memiliki peran penting dalam pembangunan infrastruktur. Namun, partisipasi dari sektor nonpemerintah penting untuk melengkapi upaya ini, baik untuk meningkatkan produktivitas dari aset yang ada, menumbuhkan permintaan untuk utilisasi infrastruktur baru, maupun secara bersama berinovasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau konsumen yang senantiasa berkembang.
Bersama-sama, kita dapat membangun infrastruktur yang tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga mempersiapkan Indonesia untuk masa depan yang lebih baik.
Arief Budiman, Deputy Chief Executive Officer Indonesia Investment Authority (INA)