Rekayasa ”contraflow” seharusnya hanya diterapkan dalam keadaan darurat yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Oleh
FX WIBISONO
·3 menit baca
Belajar dari peristiwa kecelakaan maut dengan 12 orang tewas di Kilometer 58 Tol Cikampek, Karawang Timur, pihak berwenang seharusnya mencari solusi tuntas agar tidak setiap tahun memberlakukan rekayasa contraflow utamanya di jalan bebas hambatan.
Contraflow adalah sistem rekayasa atau pengaturan lalu lintas (lalin) yang dilakukan dengan cara memperlancar arah arus lalu lintas kendaraan di ruas jalan yang dipenuhi kepadatan tinggi dengan menambah lajur arus kendaraan di sisi jalur kendaraan dari arah yang berlawanan.
Untuk mengurai kemacetan, pihak lalu lintas (terbiasa) menerapkan contraflow pada ruas jalan yang sangat padat kendaraan, khususnya pada jam-jam sibuk, ataupun diterapkan setiap tahun pada saat arus mudik ataupun balik pada waktu libur nasional.
Mengapa contraflow? Rekayasa contraflow seharusnya hanya diterapkan dalam keadaan darurat yang tidak dapat diduga sebelumnya, misalnya ruas jalan yang tidak dapat dilalui karena faktor alam, seperti badan jalan longsor, jembatan runtuh, banjir, ataupun terjadi kecelakaan fatal yang mengakibatkan kemacetan yang sangat parah.
Rekayasa contraflow merupakan sistem pengaturan lalin yang paling berbahaya karena rentan terjadi kecelakaan fatal.
Berdasarkan data yang akurat dan ilmiah, upaya memecahkan kemacetan lalin secara bertahap harus segera mendapat solusinya, antara lain: 1. Mengurangi jumlah kendaraan pribadi di dalam kota hingga 50 persen dengan cara mengalihkan warga kota berpindah ke moda transportasi publik yang nyaman, aman, dan tepat waktu.
2. Menyediakan kantong parkir di setiap titik yang sudah terkoneksi dengan layanan transportasi publik.
3. Membatasi kendaraan pribadi masuk kota dengan sistem jalan berbayar secara elektronik yang diterapkan di sejumlah ruas jalan dengan volume kendaraan tinggi di dalam kota.
Jakarta dapat menjadi contoh agar warganya senantiasa berkegiatan dengan cerdas serta hemat tenaga, waktu, dan BBM dengan beralih menggunakan transportasi publik.
Kecelakaan maut di Tol Cikampek Km 58, Senin (8/4/2024), di tengah arus mudik menjelang Lebaran sungguh menyesakkan psikis dan kemanusiaan kita. Informasi di media massa menyebutkan bahwa kecelakaan itu terjadi karena sebuah minibus yang melaju di lajur contraflow tiba-tiba berada di arah yang berlawanan arah. Tabrakan dengan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dan kemudian dengan minibus lain dari arah berlawanan pun tak terhindarkan. Terjadilah kebakaran pada dua minibus itu. Dua belas orang pun meninggal dunia.
Berbagai analisis pun segera bertebaran. Namun, seharusnya sistem contraflow di jalan tol-lah yang menjadi pokok perhatian. Jalan tol adalah jalan dengan kecepatan khusus. Arus kendaraan pun dibagi dua dengan pembatas berupa tanah kosong selebar 3-5 meter (kadang masih ditambah kawat pembatas) atau tembok beton. Dengan sistem seperti ini pun, masih bisa terjadi kecelakaan karena kendaraan menyeberang pembatas.
Bagaimana mungkin sistem contraflow diterapkan di jalan tol yang ramai dengan pemudik dan hanya diberi pembatas berupa cone tanpa tali dan tanpa pengawasan petugas secara mencukupi?
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun memutuskan contraflow tetap diberlakukan karena bukan hal yang salah dan sudah biasa dilakukan. Masyarakat harus mematuhi ketentuan contraflow untuk tetap di jalurnya dan tidak mengambil jalur kendaraan lainnya.
Kesuksesan pembangunan jalan tol tidak bisa menggantikan jiwa 12 orang yang meninggal itu. Sistem lalu lintas harus menjamin keamanan nyawa setiap pengguna jalan tol.