”King Maker” Politik Indonesia
Hasil Pemilu 2024 dengan semua kejutannya tak lepas dari kiprah ”king maker”: Jokowi, Megawati, Prabowo, dan Paloh.
Komisi Pemilihan Umum secara resmi telah mengumumkan dan menetapkan hasil Pemilu 2024, baik di tingkat pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, maupun pemilihan Dewan Pimpinan Daerah. Hasilnya, pasangan Prabowo-Gibran menjadi pemenang pilpres dengan perolehan suara 58,59 persen.
Sementara dalam pemilihan anggota legislatif, PDI-P dipastikan menjadi pemenang dengan perolehan 16,72 persen, disusul Partai Golkar di urutan kedua (15,29 persen), dan Partai Gerindra di urutan ketiga (13,22 persen).
Hasil Pilpres 2024 yang telah ditetapkan KPU tidak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang menghadirkan beberapa kejutan. Salah satu kejutan dimaksud ialah perolehan suara yang tidak linier antara pilpres dan pileg.
PDI-P yang menjadi pemenang pileg justru mengalami kekalahan di tingkat pilpres. Sementara partai-partai yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran yang menjadi pemenang pilpres justru mengalami kekalahan di tingkat pileg. Bahkan Gerindra sebagai kendaraan utama Prabowo berada di posisi ketiga, kalah dari PDI-P sebagai lawan dalam pileg dan pilpres, bahkan juga kalah dari Partai Golkar sebagai kawan di tingkat pilpres sekaligus lawan di tingkat pileg.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024 KPU Mirip dengan Hasil Hitung Cepat ”Kompas”
Kejutan lain yang baru bersifat analisis bagi sejumlah lembaga survei, tetapi menjadi kepastian berdasarkan hasil resmi KPU, adalah tidak lolosnya PSI ke Senayan, bahkan juga PPP. Tidak lolosnya PSI ke Senayan menjadi kejutan mengingat besarnya iklan yang melibatkan Jokowi selama masa kampanye.
Sementara kejutan untuk PPP karena partai Islam paling tua ini gagal bertahan di Senayan. Padahal, pelbagai macam upaya penyelamatan telah dilakukan PPP, termasuk dengan mendukung koalisi Ganjar-Mahfud yang didukung partai pemenang Pemilu 2019, PDI-P.
”King maker”
Menurut hemat penulis, hasil Pemilu 2024 dengan semua kejutannya tidak lepas dari kiprah para king maker dan tokoh-tokoh lain yang cukup berpengaruh di partai dan kelompok masing-masing. King maker pertama sudah pasti Presiden Jokowi.
Selama ini penulis bersikap kritis terhadap fenomena Jokowi yang sedemikian kuat. Dalam bacaan awal penulis, Jokowi akan menjadi presiden yang justru didikte oleh pihak-pihak yang memodalinya untuk menjadi capres (daripada mendikte para pemodal).
Inilah yang terjadi selama hampir dua periode masa kepemimpinannya. Hingga akhirnya Jokowi berbeda pilihan capres-cawapres dalam Pemilu 2024. Pada awalnya, Jokowi berbeda pilihan capres-cawapres dengan Surya Paloh, dan tanpa diduga Jokowi juga berbeda pilihan capres-cawapres dengan Megawati.
Semakin ke sini, fenomena Jokowi semakin tak tertandingi. Bahkan, seperti dalam nubuat kepemimpinan kuno, fajar dan terang kepemimpinan Jokowi telah meredupkan seluruh sinar kepemimpinan yang ada ataupun yang pernah ada di Indonesia. Jokowi pun seakan men(di)jadi(kan) pilar tunggal bangsa yang sangat kuat.
Namun, apa pun keadaannya, hasil Pilpres dan Pileg 2024 menunjukkan bahwa Megawati masih menjadi faktor tersendiri alias king maker.
Inilah mungkin yang bisa menjelaskan masyarakat tetap anteng, tenang, dan tidak berunjuk rasa walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dibonsai sedemikian rupa seperti sekarang. Bahkan banyak pegawai dan ketuanya justru terlibat isu suap atau korupsi.
Jokowi sebagai faktor semakin kuat. Walaupun ada beberapa aktivis yang konsisten mengkritik Jokowi dengan berbagai macam diksi, Jokowi sebagai faktor bergeming. Justru Jokowi tampak tetap kuat dan kokoh. Bahkan tragedi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pun tidak secara langsung mengguncang Jokowi (kecuali setelah Jokowi beda pilihan capres-cawapres dengan Megawati).
King maker kedua adalah Megawati. Sejak Jokowi berbeda sikap politik dengan Megawati dan PDI-P secara umum (khususnya terkait dukungan terhadap pasangan capres-cawapres), situasi politik tampak mulai berbeda bahkan cenderung memanas. Kritikan-kritikan tajam yang dalam sembilan tahun terakhir cenderung tak dianggap seketika seakan menjadi kebenaran.
Pelan-pelan, wacana publik mulai ramai membahas dinasti politik, pelemahan demokrasi, penegakan hukum yang tebang pilih, dan seterusnya. Aksi demonstrasi juga mulai terjadi di beberapa tempat. Bahkan, dalam beberapa hari menjelang pemilu, suara-suara itu disampaikan secara bergelombang oleh para guru besar di banyak kampus.
Baca juga: Lebih dari Lobi Politik
Hal yang disayangkan adalah sampai hari ini sangat sedikit tokoh (bahkan hampir tidak ada) yang mau mengakui kesalahannya dalam mendukung Jokowi pada masa-masa sebelumnya, termasuk (dari) PDI-P yang menjadi motor pencapresan Jokowi dalam dua periode. Padahal, sebelum mengkritik Jokowi secara keras seperti belakangan ini, sebagian dari tokoh-tokoh tersebut membela Jokowi dengan pelbagai macam terori (termasuk PDI-P).
Namun, apa pun keadaannya, hasil Pilpres dan Pileg 2024 menunjukkan bahwa Megawati masih menjadi faktor tersendiri alias king maker. Perolehan PDI-P yang menjadi pemenang Pileg 2024 menunjukkan posisi Megawati yang masih menjadi faktor kuat.
Pada tahap tertentu, Jokowi dan Megawati menjadi faktor yang seimbang dengan dua wilayah kekuasaan yang berbeda. Jokowi faktor utama dalam konteks pilpres, sedangkan Megawati menjadi faktor utama dalam konteks pileg.
King maker ketiga adalah Prabowo Subianto. Selama ini Prabowo telah menjadi tokoh politik yang sangat diperhitungkan, tetapi belum menjadi king maker. Adalah benar bahwa Gerindra acap menempati lima besar dalam beberapa kali pemilu terakhir, tetapi sejauh ini Prabowo juga selalu kalah dalam pilpres yang diikuti.
Sudah pasti kemenangan Prabowo dalam pilpres kali ini salah satunya disebabkan oleh Jokowi. Meski demikian, Jokowi bukan menjadi satu-satunya faktor yang membuat pasangan Prabowo-Gibran menang. Faktanya PSI yang dipimpin Kaesang Pangarep yang tak lain anak Jokowi dan diiklankan dengan menggunakan video Jokowi tetap tidak mendapatkan suara signifikan, bahkan gagal ke Senayan.
King maker keempat adalah Surya Paloh dengan partainya, Nasdem. Dalam hemat penulis, Paloh sangat pantas untuk mendapatkan julukan sebagai ”penyelamat demokrasi” di saat demokrasi Indonesia berada dalam keadaan kritis, bahkan sakaratul maut. Dengan mencapreskan Anies sejak dini, Paloh telah memompa jantung demokrasi Indonesia yang nyaris berhenti, hingga kritik dan keseimbangan terus terjaga dalam kehidupan demokrasi, mengingat Anies kerap bersikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi.
Baca juga: Reinterpretasi ”King Maker” 2024
Sebagaimana dimaklumi bersama, pencapresan Anies bukan tanpa rintangan dan tantangan. Namun, kiprah politik Paloh terbukti berhasil melanjutkan pencapresan Anies ke tahap selanjutnya, menjadi peserta Pilpres 2024. Bahkan, pasangan Anies-Muhaimin berhasil mendapatkan dukungan suara yang besar (24,95 persen), jauh lebih banyak daripada suara pasangan Ganjar-Mahfud (16,47 persen) yang didukung PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 2019.
Ketika KPU sudah mengumumkan dan menetapkan hasil Pemilu 2024, Nasdem di bawah komando Paloh menyatakan menerima hasil yang ada walaupun pasangan Anies-Muhaimin masih menggugat hasil Pilpres 2024 ke MK. Sikap Paloh menerima hasil Pilpres 2024 lagi-lagi bisa disebut sebagai penyelamat demokrasi mengingat sempat menguat (di sebagian pihak) dorongan untuk menolak hasil Pemilu 2024.
Bahkan sejumlah pihak mencoba memaksakan diri mendorong penggunaan hak angket di DPR untuk mengusut tuntas dugaan kecurangan Pemilu 2024. Dalam hemat penulis, penggunaan hak angket halal dan konstitusional, tetapi lebih banyak mudaratnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam keadaan rawan pascapemilu seperti sekarang.
Hal ini tak berarti dugaan kecurangan Pemilu 2024 harus didiamkan. Sebaliknya, dugaan kecurangan pemilu harus ditindaklanjuti. Namun, bukan melalui mekanisme hak angket, melainkan melalui tata ulang aturan dan ketentuan kepemiluan dengan mengantisipasi adanya potensi pengubahan ketentuan secara mendadak seperti dalam tragedi MKMK.
Pun demikian terkait pentingnya mengantisipasi terjadinya kecurangan melalui sistem atau pejabat kepemiluan di semua tingkatan. Hal yang paling penting adalah mengakhiri praktik haram politik transaksional (termasuk politik uang) antara pemilih dan pihak-pihak yang akan dipilih (baik capres-cawapres, caleg, maupun DPD). Bahkan hal yang terakhir ini (politik transaksional) dapat disebut sebagai dosa dan kesalahan utama terkait dengan kepemiluan.
Semoga para ”king maker ” Indonesia (dan juga tokoh-tokoh lain) ke depan memilih peran yang positif dan konstruktif.
Perbaikan terkait kepemiluan sebagaimana di atas penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi sekaligus mengukuhkan kapasitas Indonesia sebagai kiblat demokrasi bagi dunia Islam. Untuk mencapai semua ini dibutuhkan peran dan dukungan dari semua pihak, termasuk dari para king maker.
Semoga para king maker Indonesia (dan juga tokoh-tokoh lain di luar empat orang tersebut) ke depan memilih peran yang positif dan konstruktif untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan negara, bukan hanya demi kepentingan golongan, partai, keluarga, apalagi pribadi. Sebab, sebagaimana pernah disampaikan oleh salah satu pemimpin paling agung dalam Islam, Umar bin Khattab, sayyidul qawmi khadimuhum (pemimpin bangsa adalah pelayannya), bukan khadi’umum (penipu bangsa).
Hasibullah Satrawi, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam