Selama takbiran masih terdengar, di situ masih ada kisah dan perjuangan yang terus dikobarkan. Perjuangan untuk pulang.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·4 menit baca
Hari Raya Idul Fitri ditandai dengan lantunan takbir di hampir semua masjid. Takbiran bukan semata simbol yang mengisahkan hari raya telah tiba, tetapi lebih dari itu adalah momentum untuk memanggil kembali memori dan imajinasi tentang siapa diri kita, dan dari mana berasal. Setiap lantunan takbir membawa kisah pada kampung halaman, keluarga, dan kenangan tentang masa lalu.
Takbiran adalah sebentuk kerinduan yang mengekal lewat bunyi. Darinya kita menapaki ulang tentang wajah orangtua, rumah berdinding anyaman bambu di desa, jalan-jalan kampung yang becek karena hujan, aroma kue dan makanan kesukaan, dan yang paling penting: tawa dan canda penuh bahagia dengan orang-orang terkasih. Ada semacam kehangatan yang tumbuh dalam setiap dentuman takbir.
Takbiran juga membawa tangis dan sedih. Melempar kepada ingatan tentang kakek, nenek, bahkan ibu, dan bapak yang telah pergi untuk selamanya. Momentum berkumpul bersama mereka di kala hari raya teberkati dengan suara takbir yang terus berdentum di toa masjid, televisi, bahkan status-status media sosial. Kala salah satu dari mereka pergi untuk selamanya, hari raya tak lagi sama, ada kekosongan relung jiwa yang tiba-tiba muncul, dan takbiran semakin memperkuat rasa itu.
Rumah di kampung halaman bukanlah tempat tinggal, sebagaimana home dan house. Rumah adalah tempat di mana imajinasi dan kenangan digurat, terus dirindukan untuk kembali didatangi atas nama ”pulang”. Pulang untuk menelisik masa lalu, mengobati lelah dari rantau, menginsyafkan diri dari riuhnya hidup, kembali menjadi ”anak-anak” di hadapan orangtua tercinta.
Dan, suara takbir mengiringi semua laku itu, sufistik, menempuh perjalanan jauh demi pertemuan sesaat, untuk kembali ke rumah dengan berbagai risiko yang kadang tak masuk akal. Mudik, begitulah kata itu dikenal.
Rumah yang begitu gaduh dan ramai dengan suara anak-anak menjadi sepi kala nenek telah pergi menghadap ilahi. Itu mengubah ikatan keluarga menjadi lebih rapuh. Rumah itu tak lagi hidup secara fisik, tetapi lewat takbiran akan terus abadi dalam imajinasi. Takbiran, katalisator dalam menghubungkan pada sesuatu yang tak lagi dapat dilihat dan didengar. Mengantarkan kepada bunyi yang tak bersuara, serta keramaian yang tak lagi bising.
Karena itu, air mata adalah teman setia kala takbiran (dalam konteks ini) berkumandang. Selebihnya adalah doa-doa untuk terus dipanjatkan bagi orang-orang yang berjasa merajut kenangan. Takbiran adalah sebaik-baiknya suara yang memberi segala kebaikan. Tidak ada bunyi lebih indah untuk mengingat wajah-wajah orang terkasih selain takbiran. Hari raya diantarkan dengan sempurna lewat takbiran.
Jarak
Di rantau dan tak dapat pulang, suara takbiran menambah luka berlarat. Teknologi tentu saja telah berkembang, mampu mempertemukan satu orang dengan lainnya lewat fasilitas di dalamnya, katakanlah video call. Namun, takbiran mendekonstruksi itu semua. Bahwa pertemuan fisik adalah sebuah keniscayaan, tak mampu tergantikan dalam reduksi gambar dan video lewat perangkat bernama gadget.
Justru sebaliknya, teknologi demikian justru menjadi ruang pembekuan pada kisah-kisah bersama keluarga kala hari raya tiba dan takbiran menjadi background bunyi pengiring dari semua peristiwa itu. Betapa kangen telah membuncah dan menyayat. Mencabik pada hati yang merindu, pada tubuh yang ingin tersentuh, dan pada telinga yang ingin mendengar. Semua tertuju pada sosok terkasih di kampung halaman. Takbiran adalah semesta imajinasi yang tak akan pernah padam.
Takbiran datang dengan sengaja, tetapi mengunggah segala kenangan secara tiba-tiba, mengentak, dan tak terkontrol. Suara lantunan takbir menjadikan hidup lebih bermakna, bahwa jarak adalah semata kuasa keterpisahan tempat, dan kerinduan mengisi pada setiap jengkalnya.
Takbiran, sebuah momentum di mana akal sehat terus dipupuk, untuk kembali menginsyafi diri, membuncahkan nilai-nilai penting kebersamaan, cinta, bahkan kasih sayang. Semua hadir untuk terus diwariskan dan dirawat dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dan takbiran tak ubahnya lorong kecil yang melegalkan.
Bagi anak di rantau, takbiran adalah bunyi tanpa syarat bagi orangtua menderas doa-doa terbaiknya dengan air mata dan hati yang khusyuk.
Oleh karena itu, selama takbiran masih terdengar, di situ masih ada kisah dan perjuangan yang terus dikobarkan. Perjuangan untuk pulang, perjuangan untuk sebuah pertemuan, dan perjuangan untuk menggapai tawa dan bahagia.
Takbiran menyublim menjadi doa-doa. Bagi anak di rantau, takbiran adalah bunyi tanpa syarat bagi orangtua menderas doa-doa terbaiknya dengan air mata dan hati yang khusyuk. Suara takbiran begitu gaduh, tetapi hati begitu sunyi. Anak yang dahulu berlarian lucu di pelataran rumah, berpeci, berbaju koko, kini jauh di rantau, bekerja demi eksistensi hidup yang lebih mapan.
Suara takbir kemudian menyelinap, memunculkan segala peristiwa masa lalu menjadi diorama tiga dimensi yang bergerak tanpa henti. Senyum dan ingatan itu hadir, apa yang hilang itu kini ditemukan. Takbiran dengan demikian menjadi sebentuk upaya untuk mencari segala sesuatu yang telah lama dilupakan, tak lain adalah kenangan.
Imajinasi
Sebaik-baiknya teknologi, adalah imajinasi. Kita bisa merekam segala peristiwa dalam gawai, tetapi tak akan pernah mampu menyentuh perasaan terdalam karena berbagai hal: kualitas gawai, kualitas kamera, pengeras suara, bahkan mungkin juga kuota internet. Namun, imajinasi menghapus segala keterbatasan itu.
Takbiran datang, mata terpejam, semesta ingatan yang selama ini kita rawat dan rindukan akan hadir dengan sempurna. Takbiran melampaui kuasanya sebagai bunyi, atau jika berkenan, saya sebut sebagai: musik! Nada-nada dalam takbiran dirangkai dengan indah, ada estetika yang hadir secara utuh kendatipun takbiran dibawakan oleh bocah bersuara sumbang.
Pada konteks inilah kita mendekonstruksi kuasa musik dengan pelbagai syaratnya. Nada, tempo, ritme, dan harmoni sering kali menjadi catatan utama bagi musik estetik, menjadi tak bermakna lewat suara takbiran.
Justru sebaliknya, suara sumbang takbiran oleh anak-anak di mushala kampung itu adalah keindahan tak terbantahkan. Dengan bedug ditabuh bertalu-talu, menjadi bunyi soundscape paling indah dalam sebuah perayaan hidup bernama hari raya.
Takbiran menemani aktivitas bermaaf-maafan, memberi arti bagi keiklasan, menerima dan memberi segala kebaikan pada sesama. Takbiran berkumandang, menjelaskan akhir dari puasa, tetapi lebih dari itu, ia menjadi sebentuk bunyi paling ditunggu, untuk tidak sekadar membangun imajinasi, merawat kenangan, tetapi juga bagi kehidupan yang lebih bermartabat, baik secara agama maupun budaya.
Aris Setiawan, Etnomusikolog, Dosen di ISI Surakarta