Perangkat Konsumtif: Belanja dengan Dalih Agama di Bulan Ramadhan
Dengan dalih agama, masyarakat cenderung konsumtif menjelang hari raya. Alasannya, untuk memuliakan hari suci.
Oleh
SYAMSUL ALAM
·4 menit baca
Bulan Ramadhan diwarnai oleh suasana yang khas, di mana umat Muslim meningkatkan ibadah dan berbagai kegiatan sosial demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di tengah keberkahan dan kekhidmatan tersebut, fenomena konsumsi meningkat secara drastis.
Fenomena ”gila belanja” atau peningkatan signifikan dalam aktivitas belanja selama bulan Ramadhan telah menjadi ciri khas. Meskipun bulan Ramadhan secara tradisional dianggap sebagai waktu untuk memperkuat hubungan dengan Tuhan melalui ibadah, praktik konsumtif yang meliputi pembelian makanan, pakaian, dan barang-barang lainnya sering kali mengambil peran dominan dalam budaya kontemporer.
Berdasarkan data riset The Trade Desk pada 2023, pemimpin teknologi periklanan global, satu dari tiga masyarakat Indonesia (32 persen) akan berbelanja lebih banyak pada Ramadhan 2024. Selanjutnya, riset ini menemukan sekitar 48 persen konsumen Indonesia menyatakan peningkatan belanja mereka dilandasi kepercayaan diri terhadap kondisi ekonomi, sedangkan 43 persen dari mereka memiliki keinginan untuk berbelanja lebih banyak (General Manager The Trade Desk untuk Indonesia Purnomo Kristanto dalam keterangan tertulis, 5 Desember 2023).
”Gila belanja” atau shopping fever merupakan fenomena psikologis di mana seseorang mengalami dorongan yang kuat untuk berbelanja secara impulsif dan berlebihan. Bagi Jean Baurdillard, konsumerisme modern telah menciptakan satu dunia di mana nilai-nilai konsumsi dan tanda-tanda memiliki dominasi yang kuat atas kehidupan sosial, budaya, dan psikologis individu. Itu sebab, konsumerisme bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan material, tetapi lebih kepada sarana untuk menciptakan identitas sosial (Jeand Baurdillard, Masyarakat Konsumtif, 2000).
Dalam era modern, bulan Ramadhan telah menjadi saat yang ditandai dengan dualitas unik: antara ibadah spiritual yang mendalam dan juga gelombang konsumerisme yang melanda. Di tengah semangat berpuasa dan meningkatnya ketaatan agama, kita juga disuguhkan oleh fenomena yang semakin merajalela, yaitu konsumerisme war takjil dan belanja berlebihan dengan dalih agama.
Konsumerisme “war” takjil
Selama bulan Ramadhan, fenomena konsumtivisme mencuat dengan jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim. Apalagi munculnya fenomena war takjil bulan Ramadhan tahun ini menjadi pemandangan yang ramai dan meriah di setiap sudut-sudut kota. Dengan berjejer di sepanjang jalan atau di tempat-tempat strategis lainnya, para pedagang takjil menawarkan berbagai macam makanan ringan dan minuman untuk berbuka puasa.
Namun, di balik kehangatan dan kebersamaan yang tercipta, war takjil juga mencerminkan tingginya tingkat konsumtivitas di bulan suci ini. Terbukanya peluang untuk membeli makanan dan minuman yang beragam kerap kali menyebabkan peningkatan konsumsi, dengan orang-orang yang cenderung mengeluarkan lebih banyak uang dari biasanya.
Apakah masyarakat tidak boleh mengikuti war takjil? Tentu saja boleh. Masyarakat boleh berbelanja apa pun, di mana pun, serta berapa pun harganya selagi itu tidak merugikan orang lain.
Selama bulan Ramadhan, fenomena konsumtivisme mencuat dengan jelas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim.
Bahkan terdapat beberapa masyarakat yang berargumen bahwa mengikuti kegiatan war takjil adalah memenuhi kebutuhan untuk berbuka puasa. Sebenarnya, kata yang lebih tepat adalah hasrat berbelanja, dan saya menyaksikan kegiatan tersebut lebih cenderung mengikuti tren daripada memenuhi kebutuhan karena mereka berbelanja seakan-akan di luar batas kewajaran.
Semisal mereka berbelanja es buah, pisang ijo, pastel, dan berbagai jenis makanan lain. Namun, pada saat berbuka, mereka tidak menghabiskan makanannya. Sebenarnya kegiatan berbelanja tidak menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan jika itu masih berada pada batas kewajaran. Dengan begitu, tidak akan pernah dikatakan sebagai perilaku konsumerisme.
Belanja dengan dalih agama
Ketika menyambut hari raya Idul Fitri, baik kota maupun desa dipenuhi dengan gemerlap aktivitas belanja. Para pembeli begitu antusias menjelajahi pasar-pasar tradisional dan mal-mal untuk mencari peralatan baru demi merayakan hari suci. Kegiatan berbelanja dengan alasan agama merujuk kepada praktik konsumsi yang dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai-nilai keagamaan.
Belanja aksesori, misalnya berbelanja alat-alat peribadatan: mukena, sejadah, tasbih, kopiah, dan sebagainya. Masyarakat Muslim tetap membeli sekalipun harganya jutaan, puluhan, bahkan ratusan juta rupiah dengan alasan agama. Mengutip ungkapan Abdurrahman Moeslim bahwa demi menghadap Tuhan pun maka pakaian pun harus terbaik dan mahal (Zuly Qodir, 2018).
Sependek pengetahuan penulis, dalam pandangan Islam tidak ada keharusan atau aturan yang mengatakan bahwa seseorang harus mengenakan pakaian yang mahal ketika menghadap kepada Tuhan. Namun, pakaian yang terbaik dalam konteks Islam lebih mengacu kepada pakaian yang bersih, sopan, dan layak dipakai sesuai dengan norma-norma agama dan budaya yang berlaku. Pertanyaan kemudian adalah apakah pakaian terbaik adalah pakaian yang mahal?
Justru dalam konteks sosial, ungkapan di atas yang menekankan ”pakaian harus mahal” saat menghadap Tuhan saya anggap sebagai eksklusif karena dapat membuat seseorang yang berada di sekitarnya merasa terpinggirkan. Kenapa, karena ketidakmampuan mereka membeli pakaian yang mahal.
Selanjutnya pakaian yang mewah dalam hal ini mahal dapat memperkuat budaya materialisme yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai spiritual dalam hal ini sikap tawadhu’ (kerendahan hati). Itu sebab, pakaian yang mahal sebagai syarat untuk menghadap Tuhan dapat menyimpang dari esensi ajaran agama yang mengajarkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan kesopanan, serta perhatian terhadap kebutuhan orang lain.
Perilaku konsumtif menjadi fenomena keagamaan karena argumen yang diungkapkan oleh masyarakat berdalih agama. Bahkan agama menjadi pemantik utamanya. Misalnya, belanja untuk menghormati dan memuliakan hari suci dalam hal ini Idul Fitri.
Terdapat pula beberapa masyarakat yang menganggap bahwa bulan suci Ramadhan harus menjadi bulan ”pembeda” dengan bulan lainnya. Apalagi belanja di bulan suci Ramadhan dapat pula disalurkan kepada orang yang membutuhkan sebagai sedekah yang tentu saja pahalanya akan dilipatgandakan. Wallahualam.
Syamsul Alam, Peneliti Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta; Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Magister Studi Agama-agama, Konsentrasi Sosiologi Agama