Jakarta adalah Idul Fitri bagi Dewi. Idul Fitri bagi saya berlangsung di tempat-tempat berbeda.
Oleh
LINDA CHRISTANTY
·4 menit baca
Sahabat saya, Dewi, bahagia akan merayakan Idul Fitri di Jakarta tahun ini dengan ibu, kakak, dan keponakannya. Hampir 22 tahun tinggal di Karlsruhe, kota di Jerman, baru kali ini dia sengaja pulang untuk merayakan Idul Fitri. Dia biasa pulang ke Indonesia jauh sebelum ataupun sesudah Hari Raya karena harus bekerja.
Dewi dulu meninggalkan Indonesia karena menikah dengan lelaki Jerman. Pernikahan mereka dikaruniai dua anak laki-laki. Namun, kehidupan rumah tangga yang dibayangkan indah ternyata berbisa. Suaminya sering mencaci maki Dewi karena cemburu. Tiap kali dia berusaha menjernihkan persoalan, lelaki itu makin kalap. Pergaulannya pun dibatasi.
Tujuh tahun hidup dalam tekanan batin, Dewi akhirnya berontak. Dia tanpa ragu bertemu teman atau pergi memotret, hobinya sejak dulu. Suaminya panik karena tidak bisa mengontrol Dewi lagi dan mulai melakukan kekerasan fisik pada awal tahun ke-8 pernikahan mereka.
Merasa jiwanya terancam, Dewi memilih pergi dari rumah dengan membawa anak-anaknya. Si sulung baru berusia 5 tahun dan si bungsu berusia 3 tahun.
Dua minggu sebelum meninggalkan rumah, dia menghubungi lembaga swadaya masyarakat yang melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan rumah tangga. Nomor telepon lembaga tersebut didapat Dewi dari teman kerja yang melihat bekas cekikan di lehernya. Dia tinggal di penampungan selama lima bulan. Pihak kepolisian dan penampungan mengingatkan Dewi agar tidak meninggalkan Jerman karena suaminya melaporkan dia menculik anak-anak untuk dibawa ke Indonesia. Dia dan suaminya akhirnya berpisah.
Jakarta adalah Idul Fitri bagi Dewi. Idul Fitri bagi saya berlangsung di tempat-tempat berbeda. Waktu orangtua saya masih hidup dan tinggal di Pulau Bangka, saya merayakannya di Pulau Bangka. Waktu mereka tinggal di Bandung, saya merayakannya di Bandung. Idul Fitri adalah di mana orang tua saya berada. Pulau Bangka mengingatkan saya pada Idul Fitri dan Batin Tikal, leluhur dan teladan kami dari garis papa.
Batin Tikal yang bernama asli Syekh Ahmad atau Ahmad adalah pejuang terbesar antikolonial Belanda di Bangka Belitung. Dia cicit kandung dan pelanjut nasab Syekh Yusuf Al Makassari. Silsilah sah dan resminya tercantum dalam buku Erwiza Erman, Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung: Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap (2009).
Batin Tikal ini memiliki julukan lengkap Batin Tikal dari Pemjampar atau Batin Tikoe dari Pemjampar sesuai dokumen primer operasi militer Belanda dan dicantumkan secara detail oleh Willem Adriaan van Rees dalam bukunya, Wachia, Taykong en Amir, op het Nederlandsch-Indisch leger in 1850.
Pada 19 Februari 2024, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Jenderal Kehormatan Prabowo Subianto meresmikan Rumah Sakit Angkatan Darat Batin Tikal yang berada Pulau Bangka.
Kementerian Pertahanan dan TNI melakukan kesalahan fatal karena tidak mengundang ahli waris sah dan resmi Syekh Ahmad alias Batin Tikal dalam peresmian rumah sakit tersebut di Jakarta. Dua lembaga negara ini malah mengundang orang yang bukan keturunan dan bukan ahli waris sah Syekh Ahmad. Orang tersebut mengaku keturunan Batin Tikal dari Kampung Gudang, tokoh fiktif yang ditulis Akhmad Elvian, ASN di Pangkal Pinang, dalam bukunya, Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang.
Kampung Gudang baru ada pada 1852, sesuai arsip primer ”Kaart van het Eiland Banka, Volgens de Topographische Opneming in de Jaren 1852-1855", sedangkan Batin Tikal sudah dihukum buang ke Manado pada 1851.
Akhmad Elvian juga pernah mengubah keterangan dalam arsip primer ”Behoort Bij Missive van het Militaire Departement, dd 12 Februarij 1851, No.4, Afschrift Militair Kommandement Banka L:A/24, Bt. March 25, 1851, No.13”, yang dapat diakses di ANRI, Jakarta, untuk mencipta tokoh fiktif. Pada arsip tertera jelas ”Batin Awal dari Boekit” menerima uang 100 gulden dari Belanda, tetapi Akhmad mengubahnya menjadi ”Batin Tikal dari Boekit”, yang dipublikasikan terus-menerus di media cetak dan elektonik.
Dewi tercenung mendengar cerita saya tentang Batin Tikal dan sejarah keluarga. Keterikatan dengan leluhur dan keluarga menjadi ciri masyarakat Indonesia, yang berbudaya komunal. ”Karena itu, berkumpul dengan keluarga menjadi amat berharga bagi perantau,” katanya, dengan mata berkaca-kaca. Kami bertemu di mal kawasan Senayan siang itu.
Rasialisme kini menguat di Jerman dan berdampak terhadap hubungan pertemanan Dewi. Ketika mengetahui puluhan ribu orang jadi korban genosida di Gaza, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, dia memasang seruan solidaritas untuk Palestina di Instagram-nya. Dua teman Jerman yang sudah bersahabat puluhan tahun mendadak menghapus dia dari pertemanan.
”Banyak orang Jerman mengira pendudukan Palestina oleh zionis Israel adalah masalah agama. Padahal, Israel menjajah Palestina, seperti Belanda dulu menjajah Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei di beberapa distrik di Jerman, yaitu Sachsen, Thuringen, dan Bradenburg, dukungan suara terhadap partai kanan, Alternative for Germany (AfD), meningkat. Sasaran partai ini anak-anak muda.
Pemerintah Jerman sebenarnya tengah merancang undang-undang yang mempermudah imigrasi karena amat membutuhkan tenaga kerja dari luar. Masalahnya, AfD merencanakan ”remigrasi”, yaitu mendeportasi orang-orang kulit berwarna, meskipun lahir di Jerman dan berkewarganegaraan Jerman.
”Rencana rahasia itu dibocorkan media. Anak-anakku bisa menjadi korban. Kulit mereka kecoklatan seperti ibunya. Setelah lulus kuliah, anak pertamaku ingin tinggal di Indonesa,” kata Dewi.