"Ferienjob", Peran KUI, dan Internasionalisasi
Berkaca dari kasus "ferienjob" di Jerman, kampus harus menertibkan kerja sama dan internasionalisasi melalui satu pintu.
Ilustrasi
Sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 kampus di Indonesia dilaporkan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus magang atau ferienjob di Jerman. Program ini, menurut beberapa peserta, diklaim oleh pimpinan kampus pengirim merupakan bagian dari program magang bersertifikat internasional, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Merujuk beberapa informasi dari media, ferienjob adalah istilah Jerman yang digunakan untuk menggambarkan pekerjaan sambilan atau pekerjaan paruh waktu. Program ini sering kali dijalani oleh mahasiswa, orang yang sedang belajar, atau orang yang sudah bekerja penuh waktu, tetapi ingin mendapatkan penghasilan tambahan. Ferienjob dapat berarti pekerjaan di sektor jasa, perdagangan, atau bahkan industri lainnya yang dapat dilakukan di luar jam kerja utama seseorang.
Tak dapat dipungkiri, program magang ke luar negeri merupakan kesempatan impian bagi banyak mahasiswa di Indonesia untuk bisa mengembangkan diri di Eropa, dan bahkan mendapatkan uang tambahan. Keuntungan yang didapat dari program ini tentu tidak sekadar penghasilan tambahan, tetapi lebih ke pengalaman kerja.
Baca juga: ”Ferienjob” dan Fenomena Gunung Es Perdagangan Orang
Ferienjob memberikan pengalaman kerja yang berharga, membantu dalam pengembangan keterampilan profesional dan sosial, termasuk juga jaringan dan referens. Walaupun hanya bekerja sambilan, tetapi kesempatan ini juga membuka peluang untuk membangun jaringan profesional dan mendapatkan referensi untuk pekerjaan mahasiswa di masa selanjutnya.
Dari penjelasan di atas, sebetulnya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak ada yang salah dari program sejenis fereinjob ini. Sebetulnya jikalau mahasiswa menjalani sebagaimana tujuan awal dari program ini, begitu banyak manfaat mahal yang didapat dan ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengembangkan program MBKM.
Program MBKM merupakan upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam menyediakan ruang kepada mahasiswa untuk belajar di luar kelas, yang dapat memberi bekal Keterampilan (skill) dan peningkatan kompetensi. Memang, fereinjob sebagaimana dijalankan terhadap 1.047 mahasiswa Indonesia ini, tidaklah memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai kegiatan MBKM sebagaimana Surat Edaran Dirjen Diktiristek tertanggal 27 Oktober 2023.
Penulis tidak ingin ”berkelindan” dengan bagaimana proses yang terjadi dalam program yang dianggap berkedok fereinjob ini, tetapi lebih pada bagaimana peran kampus harusnya dalam mengantisipasi segala urusan yang terkait dengan kerja sama dan internasionalisasi di perguruan tinggi.
Selain karena tuntutan untuk mengembangkan kerja sama dalam bidang Academic, Business, dan Government (konsep ABG), banyak kampus justru terlalu ”silau” ketika berurusan dengan kerja sama yang membawa embel-embel luar negeri, tanpa lebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang lebih selektif.
Ide internasionalisasi oleh perguruan tinggi, sebetulnya telah ditegaskan oleh Barbara Burn sejak 1985 yang menyebut bahwa higher education is internationalization karena di dalamnya ada aspek pertukaran pendidikan dan penelitian yang didukung oleh mobilitas pemerintah, mobilitas mahasiswa, pengajaran, pengembangan kurikulum internasional, dan studi bahasa asing.
Sejalan dengan hal tersebut, penulis meyakini bahwa perguruan tinggi sudah melakukan hal-hal terbaik dalam melaksanakan kerja sama dan internasionalisasi di kampusnya masing-masing. Namun, tuntutan untuk meningkatkan level akreditasi di mana salah satu standar yang cukup jadi momok menakutkan sebagai salah satu elemen untuk mencapai akreditasi unggul (baik akreditasi institusi perguruan tinggi maupun akreditasi program studi) adalah kerja sama dan internasionalisasi itu sendiri.
Kampus juga harus mampu memetakan jejaring dan riset pasar untuk memahami tren, peluang, dan tantangan dalam kerja sama.
Kerja sama dan internasionalisasi disadari atau tidak justru menjadi ”beban” kampus untuk kemudian ”memaksakan diri” melakukan aktivitas apa pun, yang penting terdengar ”internasional”. Sehingga menjamurlah agen-agen yang tidak jelas dalam pengiriman mahasiswa, mulai dari leadership training di luar negeri, sampai dengan magang yang menghabiskan ”kocek” orangtua. Kasus ini setidaknya memperlihatkan banyak perguruan tinggi tidak cukup berhati-hati melakukan kerja sama yang melibatkan mahasiswa dalam program pendidikan.
Berkaca dari kasus ferienjob di Jerman ini, kampus harus memiliki kebijakan dan standard operating procedure sentralistik yang jelas, terkait dengan kerja sama, termasuk prosedur untuk memilih, menginisiasi, sampai dengan mengevaluasi mitra kerja sama itu sendiri. Harus ada semacam tim khusus yang dilatih untuk bertanggung jawab mengelola kerja sama internasional.
Tentu saja tim yang memiliki keterampilan dan pengetahuan ”diplomasi dan negosiasi” yang diperlukan melakukan identifikasi potensi mitra kerja sama dan merancang kerangka kerja sama yang saling menguntungkan (mutual benefit). Karena, sejatinya yang sulit itu adalah “internasionalisasi tanpa harus ke luar negeri”, sebagaimana diungkap oleh Beelen dan Leask, tahun 2011 dalam buku yang berjudul “Internationalization at Home on the Move”.
Baca juga: Menyiapkan Jejaring Internasional Tangguh Menuju Indonesia Emas
Selain itu, kampus harusnya mampu menggunakan sumber dayanya sendiri untuk mengadakan kerja sama dengan mitra di luar negeri atau minimal ”kepanjangan tangan” dari perwakilan negara yang ingin dituju, tanpa harus melibatkan pihak ketiga.
Di Indonesia, sebut saja American Corner yang didirikan Kedutaan Besar Amerika Serikat di banyak kampus, begitu juga dengan Warung Perancis yang didirikan Kedutaan Besar Perancis, ataupun Taiwan Education Centre, dan lainnya yang merupakan mitra ”langsung” dalam mencari kesempatan mengembangkan kerja sama dan internasionalisasi perguruan tinggi di negara tujuannya itu sendiri.
Kampus juga harus mampu memetakan jejaring dan riset pasar untuk memahami tren, peluang, dan tantangan dalam kerja sama, terutama kerja sama internasional. Membangun jejaring dengan institusi, organisasi, dan agen yang memiliki reputasi baik dan dapat dipercaya, adalah tujuan penting dari pemetaan jejaring dan riset pasar ini. Termasuk pula bagaimana proses monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kerja sama harus dilakukan secara berkala.
Lembaga strategis
Bulut-Sahin, B, Emil, S, Okur, S et al pada 2023 menegaskan ulang bahwa salah satu bentuk komitmen perguruan tinggi dalam pengembangan internasionalisasi adalah dengan memosisikan lembaga strategis yang bernama International Office atau di Indonesia lebih banyak dikenal dengan Kantor Urusan Internasional (KUI).
KUI merupakan lembaga atau biro berada di bawah otoritas wakil rektor bidang kerja sama dan internasionalisasi, yang menjadi garda terdepan dalam melakukan inisiasi sekaligus filter terhadap kerja sama itu sendiri. Pemahaman serius sangat dibutuhkan di kalangan internal perguruan tinggi akan pentingnya peran strategis KUI yang merupakan ”gerbang utama” dalam upaya kerja sama dan internasionalisasi.
Sudah selayaknya, kampus di Indonesia mulai memberdayakan KUI menjadi ujung tombak kerja sama internasional itu sendiri. Termasuk dalam hal ini kesepakatan masalah mobilitas, baik pengiriman (unbound) maupun penerimaan mahasiswa (inbound) dari dan ke luar negeri.
Kampus harus secara tegas menertibkan kerja sama dan internasionalisasi melalui ”satu pintu”. Dengan demikian, semua proses dapat terkoordinasi, terawasi, serta ada pertanggungjawaban secara komando dan secara institusional dari pimpinan perguruan tinggi.
Baca juga: Simulakra Perguruan Tinggi
Bagi kampus-kampus ”besar” dengan mobilitas yang sudah masif, bahkan sudah memiliki gugus-gugus kerja sama dan internasionalisasi di level fakultas dan program studi, bisa saja menggunakan one-roof system. Artinya, gugus-gugus kerja sama boleh saja berinovasi dan menginisiasi kerja sama, tetapi semua harus mendapatkan persetujuan pimpinan perguruan tinggi melalui KUI. Ini dilakukan dengan sistem ”pengajuan naskah kerja sama”, serta membuat gambaran rencana implementasi kerja sama jangka pendek maupun jangka panjang yang dapat diukur manfaatnya bagi perguruan tinggi.
KUI, yang menjadi bagian sentral dalam kerja sama dan internasionalisasi di level universitas, harus juga menjadi rujukan dan mitra diskusi dari unit ”penjaga gawang implementasi” kerja sama dan internasionalisasi di perguruan tinggi, yaitu program studi (prodi). Suka tidak suka, core unit dalam implementasi kerja sama dan internasionalisasi, lebih banyak merupakan otoritas sekaligus tanggung jawab prodi.
Sebagai penutup, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, menguatkan kapasitas kelembagaan bagi perguruan tinggi yang masih membutuhkan pemahaman konsep dasar kerja sama dan internasionalisasi. Selain itu, juga ”menghidupkan” kembali pertemuan tahunan antara KUI dan penggerak kerja sama internasional dari perguruan tinggi.
Pertemuan tahunan ini berisi pertukaran pengalaman dan best practice antarperguruan tinggi. Ini akan memunculkan pemerataan informasi, pemahaman, dan skill guna meminimalisasi aktivitas-aktivitas yang mengarah kepada kerugian institusi perguruan tinggi dan sivitas akademika itu sendiri.
Yordan Gunawan, Ketua PCIM Spanyol; Ketua Asosiasi Kantor Urusan Internasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ’Aisyiyah Indonesia (ASKUI PTMA) 2019-2021, 2021-2023