Salah satu hal yang luput dari telaah para pengamat saat ini ialah tidak adanya gejala politik identitas.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·4 menit baca
Salah satu dinamik menarik dalam komunitas Islam beberapa tahun terakhir ini ialah adanya kontestasi/persaingan yang sangat kompetitif antar pelbagai golongan dan kelompok. Masing-masing kelompok memiliki pemahaman yang berbeda dan beragam. Masing-masing juga memiliki apa yang disebut truth claim atau pendakuan sebagai kelompok yang benar, atau bahkan malah paling benar. Gejala ini, oleh para sarjana, kerap disebut sebagai ”kontestasi otoritas”.
Awal Ramadhan tahun ini ditandai oleh kontestasi otoritas di dalam tubuh umat Islam. Kontestasi itu terjadi dalam penentuan awal bulan: antara kubu yang memakai sistem moon sighting atau melihat bulan (ru’yah) dan kubu lain yang menggunakan sistem hitungan matematis-astronomis (falak/hisab).
Kontestasi soal penentuan awal bulan ini sudah terjadi berkali-kali dalam sejarah umat Islam, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Masing-masing kubu tentu saja membawa klaim kebenarannya masing-masing. Siapakah yang paling dianggap mewakili kebenaran dalam kontestasi ini? Pertanyaan ini tak mudah dijawab, atau sebaiknya tidak usah dijawab, karena jawaban yang mendukung kelompok tertentu hanya akan berujung pada perdebatan lebih jauh.
Yang menarik, arena perdebatan dalam kontestasi ini bahkan melebar ke ruang sosial yang lebih luas dengan hadirnya media sosial. Partisipan dalam perdebatan ini pun tidak terbatas pada kalangan ahli saja (al-mutakhassisun), tetapi juga publik awam.
Kontestasi ini terjadi tidak saja dalam isu penentuan awal bulan, melainkan dalam hampir setiap isu-isu keagamaan. Kerap kali perdebatan di ruang sosial yang terbuka luas itu menampilkan pelbagai sudut pandang yang menarik, tetapi juga saling bertabrakan, walau yang terlibat di sana adalah publik awam. Kadang-kadang dari kalangan awam ini muncul perspektif keagamaan yang di luar arus utama. Menurut saya, para ahli patut juga mempertimbangkan pandangan-pandangan awam dalam masalah keagamaan semacam ini. Dalam banyak kasus, pandangan awam ini justru lebih masuk akal dan bisa menjawab kebuntuan.
Dinamik lain yang patut ditelaah adalah bukan saja adanya kontestasi otoritas, melainkan munculnya banyak otoritas baru. Saat ini, di masyarakat Islam, terjadi gejala ”pluralisasi otoritas keagamaan”. Ada banyak sebab kenapa gejala ini muncul. Pertama, makin terbukanya kesempatan pendidikan kepada semua kalangan sehingga orang-orang yang menganggap diri atau dianggap sebagai otoritas agama meningkat drastis dari segi jumlah. Kedua, sumber-sumber pengetahuan juga makin terbuka lebar. Wilayah keagamaan juga bukan lagi monopoli mereka yang menekuni ilmu-ilmu agama, melainkan juga kalangan yang mendalami ilmu-ilmu lain. Karena itu, muncullah para ulama ”baru”.
Bagaimana melihat gejala pluralisasi otoritas ini? Apakah ini semacam retaknya otoritas keagamaan lama? Atau malah bisa disebut sebagai demokratisasi otoritas? Apakah ini menandai runtuhnya otoritas ”kiai lama”, atau malah terbukanya ruang bagi banyak ”kiai baru” yang justru positif karena tersedia pilihan-pilihan yang plural bagi masyarakat agama?
Bagi saya, entah ini adalah retaknya otoritas lama atau demokratisasi otoritas yang justru bermakna positif (tergantung sudut pandang mana yang kita pakai), ada hal yang jauh lebih penting direnungkan: bagaimana umat dan publik menyikapinya. Apakah publik menyikapi keragaman dan kontestasi otoritas ini sebagai perbedaan yang menimbulkan konflik dan ketegangan sosial? Ataukah mereka menyikapinya sebagai arena pendewasaan dan dialog antar-pelbagai sudut pandang yang justru produktif?
Beberapa minggu terakhir ini, di media sosial kita muncul perdebatan menarik. Selain perdebatan yang begitu seru soal ”hilal” atau permulaan bulan itu, ada pula perdebatan yang hangat (bahkan kadang cenderung sengit) mengenai isu ”salafi”. Kelompok salafi, sebagaimana kita tahu, memang sudah sering menjadi sumber kontroversi. Mereka sering membawa pandangan yang kritis terhadap praktik-praktik keagamaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Kalangan Islam ”main-stream” tentu saja tidak menyukai pandangan salafi semacam ini.
Saya melihat, ada hal yang positif dalam pluralisasi otoritas keagamaan ini. Tentu saja keragaman pandangan keagamaan bisa juga berujung pada pertengkaran. Tetapi saya melihat hal yang sebaliknya. Dari tahun ke tahun, publik Islam makin terbiasa dengan keragaman pendapat ini. Kadang-kadang memang muncul perdebatan yang keras, bahkan ”pembubaran” kegiatan keagamaan oleh kelompok tertentu yang dianggap ”berbeda”.
Tetapi jika kita lihat gambar besar masyarakat Islam Indonesia saat ini, ada tren positif yang mengarah kepada munculnya sikap agree to disagree: sepakat untuk tidak sepakat. Tuduhan-tuduhan terhadap kelompok lain sebagai ”sesat”, ”kafir”, dan ”murtad” sudah mulai berkurang dengan drastis. Ini, bagi saya, merupakan kabar baik. Ada gejala demokratisasi di kalangan umat beragama; demokratisasi bukan pada level kelembagaan politik, melainkan pada level budaya.
Dinamik yang positif semacam ini, menurut saya, perlu diangkat ke permukaan agar publik tidak tenggelam dalam kemuraman karena adanya gejala ”merosotnya demokrasi” sebagaimana dikemukakan sejumlah pengamat akhir-akhir ini. Ya, benar, terjadi proses de-konsolidasi dan merosotnya demokrasi pada ranah politik, tetapi kita tak boleh lupa bahwa terjadi pula penguatan kultur demokrasi dalam ranah kehidupan sosial. Salah satu hal yang luput dari telaah para pengamat saat ini ialah tidak adanya gejala politik identitas yang biasanya cenderung polarizing itu dalam pilpres/pileg terakhir. Ini jelas dinamik yang penting dan positif. Kenapa kok seperti dianggap tidak ada?
Dinamik ini, bagi saya, adalah cerminan dari gejala yang lebih luas seperti sudah saya kemukakan, yaitu adanya kesediaan masyarakat untuk menerima perbedaan pandangan dalam isu-isu keagamaan. Ini adalah cerminan dari menguatnya kultur agree to dis-agree. Ini adalah gejala menguatnya kultur demokrasi dalam masyarakat sebagai akibat dari pluralisasi otoritas keagamaan yang berlangsung dalam beberapa dekade terakhir.
Dinamik yang positif ini seharusnya tidak luput dari telaah kita agar kita tidak terus muram dalam melihat kehidupan sosial-politik masyarakat kita.