Dilema Internet Cepat
Selain masalah teknis dan hitung-hitungan bisnis, operator menghadapi dilema iklim bisnis internet yang belum kondusif.
Berdasarkan laporan Speedtest Global Index pada Desember 2023, peringkat kecepatan internet di Indonesia masih rendah, bahkan untuk ukuran Asia Tenggara. Untuk kategori internet mobile, kecepatan internet rata-rata Indonesia mencapai 24,96 Mbps, berada di peringkat ke-97 dari 146 negara di dunia.
Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Kamboja. Kita hanya menang jika dibandingkan dengan Myanmar dan Timor Leste. Hal yang sama terjadi pada kategori fixed broadband atau internet lewat kabel ke rumah-rumah.
Dalam hal ini, Indonesia hanya unggul atas Myanmar dan Timor Leste. Bahkan, per Desember 2023, posisi Indonesia ada di peringkat ke-126 dari 178 negara di dunia.
Untuk kategori internet mobile, kecepatan internet rata-rata Indonesia mencapai 24,96 Mbps, berada di peringkat ke-97 dari 146 negara di dunia.
Dari data tersebut, kita bisa memaklumi jika pemerintah ingin memacu kecepatan internet di Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi telah bertekad mewujudkan tersedianya internet fixed broadband dengan kecepatan minimal 100 Mbps di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah antara lain akan menerapkan aturan yang melarang setiap operator dan penyedia layanan internet broadband (ISP) menjual paket internet dengan kecepatan di bawah 100 Mbps. Sudah pasti masyarakat dan berbagai kalangan pengguna internet di seantero negeri ini juga akan senang jika internet Indonesia bisa ngebut.
Kecepatan internet yang tinggi tidak hanya akan membuat kita lebih nyaman menonton video streaming atau main gim daring. Lebih dari itu, akan banyak peluang bisnis yang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai bidang.
Menghadirkan internet dengan kecepatan minimal 100 Mbps itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah seorang petinggi operator mengungkapkan, penerapan layanan internet minimal 100 Mbps itu dinilai sangat sulit terwujud saat ini.
Baca juga: Kecepatan Internet Dinaikkan? Berikut Respons Warga
Alasannya, perlu kolaborasi berbagai pihak dari ujung ke ujung, tidak hanya pihak operator. Semua operator dan ISP pasti berniat mendukung upaya pemerintah yang ingin mewujudkan layanan internet berkualitas yang, selain cepat, juga merata.
Buktinya, puluhan triliun rupiah setiap tahun dialokasikan oleh operator dan ISP untuk membangun jaringan internet beserta teknologi terbaru sebagai pendukungnya. Bagi mereka sebagai penyedia layanan internet, kualitas layanan yang prima, cepat, dan stabil merupakan pemenuhan atas kebutuhan pelanggan. Demikian juga dengan jaringan internet yang merata akan memperbesar pasar mereka.
Namun, selain masalah teknis dan hitung-hitungan bisnis, operator menghadapi dilema iklim bisnis internet yang belum kondusif. Di tengah upaya operator dan ISP terus membangun dan meningkatkan kualitas jaringan internetnya, satu hal yang saat ini membuat galau operator dan ISP adalah terus maraknya penjualan kembali (resale) layanan internet dari operator atau ISP oleh sebagian pelanggan.
Jadi, oknum pelanggan tersebut mengatur sedemikian rupa sehingga layanan yang didapatkan dari operator atau ISP bisa dibagi-bagi dan dijual ke masyarakat dengan biaya berlangganan yang murah. Dengan demikian, para oknum tersebut bisa mengambil keuntungan berlipat dari layanan yang disediakan operator atau ISP.
Satu hal yang saat ini membuat galau operator dan ISP adalah terus maraknya penjualan kembali (resale) layanan internet dari operator atau ISP oleh sebagian pelanggan.
Mereka hanya keluar biaya untuk berlangganan ke operator atau ISP, dan tak perlu keluar biaya mahal untuk pengelolaan jaringan. Tidak heran, bisnis ini mendatangkan keuntungan yang menggiurkan dan menarik minat banyak pihak untuk ikut ambil bagian.
Karena sama-sama berjualan ke masyarakat dengan segmen pasar yang sama, wajar jika operator dan ISP merasa terganggu dengan adanya bisnis penjualan kembali layanan internet oleh para oknum pelanggan tersebut. Bagi para ISP dan operator, pasar kompleks perumahan merupakan target pasar yang sangat potensial. Namun, sebagian pasar tersebut telah diambil para reseller.
Persoalan yang menambah kegalauan para operator dan ISP adalah utilisasi jaringan yang meningkat, tapi pendapatannya justru menurun. Ini bisa terjadi karena peningkatan trafik berasal dari para pelanggan ilegal dari para reseller.
Ibarat kata, operator sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah pasarnya digerogoti para reseller, biaya pemeliharaan jaringan yang dimanfaatkan para reseller harus ditanggung pula.
Mengapa praktik ilegal tersebut bisa terus berlangsung? Hingga saat ini belum ada langkah nyata dari pihak-pihak yang berwenang untuk menindak para pelaku praktik ilegal yang merugikan para operator dan ISP tersebut.
Hingga saat ini belum ada langkah nyata dari pihak-pihak yang berwenang untuk menindak para pelaku praktik ilegal yang merugikan para operator dan ISP tersebut.
Jika terus dibiarkan, praktik ilegal ini akan semakin merugikan operator dan ISP sebagai pelaku bisnis sekaligus mitra pemerintah dalam mendukung dan mewujudkan misi penyediaan dan pemerataan internet cepat di masyarakat.
Masyarakat juga berpotensi dirugikan karena layanan internet yang mereka dapatkan dari praktik bisnis yang menyimpang tidak akan terjamin keberlangsungannya.
Bagi yang telanjur berlangganan, layanan internet yang mereka langgani sewaktu-waktu bisa diputus. Tentunya, kualitas layanan juga tidak pasti karena hanya nyantol secara ilegal ke operator atau ISP.
Masalah ini juga mengemuka dalam kasus kebocoran data yang dialami salah satu ISP besar belum lama berselang. ISP tersebut mengaku terpaksa menerapkan kebijakan fair usage policy (FUP) atau pembatasan kecepatan untuk layanan internet fixed broadband-nya.
Langkah yang kurang disukai pelanggan ini terpaksa ISP tersebut terapkan untuk menekan maraknya penjualan kembali layanan oleh sebagian pelanggannya. Kabar terakhir, bahkan ada oknum yang mengancam akan membocorkan data ISP yang bersangkutan jika kebijakan FUP tersebut terus diberlakukan.
Jika bisnis operator dan ISP terganggu, mereka tidak akan berminat untuk berinvestasi dan harapan pemerintah agar kecepatan internet negeri ini menjadi minimal 100 Mbps bisa terhambat.
Di sisi lain, pemerintah juga berpotensi dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Memang, dalam jangka pendek, akan terjadi peningkatan penetrasi internet. Namun, jika operator dan ISP merugi, potensi pajak yang akan diterima pemerintah juga berkurang.
Jika bisnis operator dan ISP terganggu, mereka tidak akan berminat untuk berinvestasi dan harapan pemerintah agar kecepatan internet negeri ini menjadi minimal 100 Mbps bisa terhambat. Intinya, layanan internet yang disediakan reseller ilegal tidaklah berkelanjutan karena model bisnis yang tidak sehat.
Oleh karena itu, keseriusan pemerintah untuk melarang praktik bisnis layanan internet dengan nyantol layanan milik operator dan ISP ini sangatlah penting bagi perkembangan internet cepat di Indonesia.