”Sukses” penyebaran bahasa nasional dan ”pengorbanan” bahasa lokal paling dirasakan, secara paradoksal, di Bali.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Indonesia telah sejak berabad-abad disatukan secara tidak langsung oleh penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca antarpulau Nusantara. Pada tahun 1928, hampir seratus tahun yang lalu, bahasa Melayu itu telah disulap menjadi bahasa Indonesia, dijadikan sarana dan lambang persatuan Indonesia melalui Sumpah Pemuda.
Sejak waktu itu, dan terutama sejak kemerdekaan, ruang sosial penggunaan bahasa Indonesia telah meluas secara drastis. Bahasa Indonesia telah terus menyertai kemajuan literasi hingga dari bahasa minoritas kini menjadi bahasa mayoritas penduduk kepulauan ini, bahkan hingga ke Papua dan pulau-pulau terpencil. Namun perluasan penggunaan bahasa nasional ini bukan tanpa biaya. Jumlah pengguna lancar bahasa-bahasa daerah tengah surut secara drastis pula. Anak muda generasi baru, yang semestinya berdwibahasa, tak mampu berbahasa daerah dengan lancar.
”Sukses” penyebaran bahasa nasional dan ”pengorbanan” bahasa lokal paling dirasakan, secara paradoksal, di suatu daerah di mana keagungan kebudayaan dimeteorkan, yaitu di Bali. Di wilayah perkotaan Bali, lebih-lebih di daerah-daerah pariwisata, bahasa Indonesia merajai komunikasi sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh migrasi: pendatang merupakan 20% dari jumlah penduduk pulau, dan persentasenya lebih besar lagi di daerah urban dan pariwisata.
Maka, kini kerap ditemukan pegawai atau pekerja ”pendatang” yang bila ditanyakan ”kuda tiang mayah” (berapa harus saya bayar), tak mampu menjawab. Situasi ini bertolak belakang dengan Yogya, misalnya, di mana mahasiswa pendatang, usai tinggal 4-5 tahun di Yogya, pulang ke daerahnya dengan bekal bahasa Jawa.
Penurunan kuasa atas bahasa Bali paling terasa dalam penggunaan ”tingkat bahasa”. Orang Bali masih mampu berbahasa ”kasar” dalam hal sehari-hari, tetapi jarang memahami bahasa ”halus”. Lebih-lebih lagi, setiap kali muncul kesempatan membicarakan topik-topik abstrak, orang Bali enggan mempergunakan bahasa ibu.
Kerap terlihat berbagai situasi yang aneh: misalnya rumus tata bahasa Bali dengan pembendaharaan kata yang kian mengindonesia. Atau peluncuran buku tentang budaya Bali yang diawali dengan pembukaan bahasa Bali yang sangat halus oleh ahlinya, tetapi lalu disusul diskusinya dalam bahasa Indonesia. Seolah-olah modernitas tidak bisa ditanggapi dalam bahasa budaya lokal.
Memang masih terdapat ruang-ruang di mana bahasa Bali masih lazim digunakan. Ruang keluarga pedesaan, ruang rapat tradisional (sangkep/paruman), ketika tugas dan isu kolektif dibagi-bagi antara anggota desa/banjar. Tetapi sejak penggunaan HP menjadi umum, kecenderungan beralih ke bahasa Indonesia tak tertahankan. Tidak keren ”mebaos Bali”.
Upaya-upaya untuk menjaga keseimbangan lama antara penggunaan bahasa Bali dan bahasa nasional gagal. Memang bahasa Bali diajarkan sebagai ”muatan lokal” di SD, tetapi hanya selama dua jam seminggu. Lebih-lebih, cenderung diabaikan sebagai ”tidak penting”, apalagi oleh pendatang di kota.
Memang Pemda Bali mempekerjakan penyuluh-penyuluh bahasa Bali yang dikirim ke desa-desa untuk menjaga penggunaan bahasa dan aksara Bali, tetapi fungsi penyuluh cenderung bersifat simbolis melulu. Ujung-ujungnya kondisi bahasa Bali kini tergolong rentan (vulnerable dalam bahasa UNESCO), dengan pengguna kian terbatas pada lingkungan keluarga, dan mutu bahasa kian rendah.
Fenomena di atas tidak hanya menimpa Pulau Bali. Sudah lama UNESCO memperingatkan bahwa terdapat ribuan bahasa yang terancam punah. Apakah memang merupakan masalah? Ya, terutama bagi bahasa-bahasa yang mengandung sudut pendekatan dunia yang khas. Dan di dalam hal ini Bali tak terkalahkan. Apalagi terdapat warisan Jawa Kuno di dalam ruang kulturalnya.
Untunglah fenomena di atas menimbulkan reaksi, hal mana di Indonesia diprakarsai oleh Alissa Stern, seorang Amerika idealis, bekas guru UI. Pada tahun 2011, Alissa bergabung dengan belasan idealis Bali untuk membentuk Basa Bali Wiki. Suatu lembaga yang bertujuan menjadikan bahasa daerah ”keren” kembali dengan penggunaan platform digital online.
Dibuat berbagai lomba (Wikithon), dilengkapi penyusunan kamus online, dan diimbuhi wawancara ala anak muda. Bali Wiki kini kian luas peminatnya, ribuan, dan kian mampu membangun benteng penggunaan bahasa lokal yang kokoh hingga mendapat penghargaan literasi UNESCO (2019) selain sponsorship Swiss dan Amerika.
Tujuan para pendiri Basa Bali Wiki bukan kelokalan nan sempit. Kini sudah dibentuk Basa Sulsel Wiki dan tengah dibentuk Basa Kalimantan Wiki. Yang semua, katanya, bakal bermuara dalam waktu dekat pada Bahasa Ibu Wiki. Agaknya kian banyak warga bangsa ini menyadari bahwa kebanggaan atas ketunggalan bangsanya harus berdasarkan atas kebanggaan atas keberanekaan bahasanya. Bhinneka Tunggal Ika.