Keris Tiang Bungkuk
Tiang Bungkuk adalah nama gelar. Nama aslinya tak boleh disebutkan saat ini.
Anak jantan Lolo Kecil di Kerinci, Malidin bin Hanafi bin Syafi’i, membuka rahasia turun-temurun demi kebenaran tentang keris Tiang Bungkuk, pemimpin Perang Kerinci pada abad ke-16. Tiang Bungkuk adalah nama gelar. Nama aslinya tak boleh disebutkan saat ini.
Tiang Bungkuk berasal dari Air Hitam, Sarolangun. Ia seorang suku Batin dan keponakan Tumenggung Merah Mato, ayah Mayang Mengurai, permaisuri Orang Kayo Hitam, raja Jambi pertama. Tiang Bungkuk menikahi perempuan Kerinci dan menetap di Kampung Tamiai, Kerinci.
Selepas subuh, berdasarkan kisah Malidin, Tiang Bungkuk pamit kepada istrinya untuk pergi berburu dengan ditemani seekor anjing hitam bermata merah, yang disebut anjing Mawu. Anjing jenis ini tercantum dalam Undang-Undang Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua di dunia, yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Adityawarman di abad ke-14.
Dari subuh hingga menjelang maghrib, Tiang Bungkuk gagal memperoleh binatang buruan karena anjingnya terus menggonggong dan bolak-balik mendatangi serumpun kubut, keladi raksasa. Karena kesal, Tiang Bungkuk menebas batang-batang kubut dengan parang. Tiba-tiba parangnya membentur benda keras. Ia terkejut mendapati sebilah keris luk tiga sepanjang sekilan dalam salah satu batang. Keris besi hitam. Ia meraih keris tersebut, lalu berjalan pulang.
Selepas maghrib, Tiang Bungkuk tiba di rumah dan disambut seruan istrinya, ”Datuk, nasi baru saja matang!” Saat Tiang Bungkuk meninggalkan rumah, istrinya mulai menanak nasi. Selama belasan jam, beras tak kunjung tanak. Sang istri yang kesal mengangkat periuk dari tungku lalu menumpahkan seluruh isinya di atas meja.
Batu hitam sebesar biji jagung tampak di antara butiran beras. Ia memungut batu itu lalu menyimpannya. Rasa kesal perlahan sirna. Ia mengumpulkan beras yang berserak untuk ditanak. Nasi matang tepat saat Tiang Bungkuk muncul di muka pintu. Begitulah kisah istrinya kepada Tiang Bungkuk yang kemudian menyerahkan batu tersebut kepada suaminya.
Baca juga: Gelang Perempuan Langit
Sesudah makan malam, Tiang Bungkuk memeriksa keris. Seketika bayangannya menjadi tujuh, begitu pula bayangan keris. Istrinya ketakutan, lari tunggang-langgang ke rumah tetangga terdekat. Istri tetangga mereka membuka pintu dan menyilakan istri Tiang Bungkuk masuk. Untuk menghindari berbagai pertanyaan, istri Tiang Bungkuk mengisahkan firasatnya yang tidak enak karena sudah lama tidak berkunjung.
Tak lama berbincang, istri Tiang Bungkuk berpamitan pulang dengan diliputi rasa waswas. Ia lega melihat Tiang Bungkuk sendirian di rumah.
Tiang Bungkuk meminta istrinya segera membantu mengangkat kayu bakar untuk membuat api unggun. Api menyala. Lidah api menjulang hingga belasan meter. Sambil menggenggam batu hitam, Tiang Bungkuk masuk ke dalam api. Sampai api unggun padam, tubuhnya tak terbakar sedikit pun.
Suatu hari utusan raja Jambi datang ke Kerinci untuk meminta uang jajah atau uang pajak. Orang Kerinci menolak, dengan alasan Kerinci tidak tunduk kepada undang-undang Kerajaan Jambi, tetapi tunduk pada undang-undang Kerajaan Pagaruyung. Sistem kekerabatan di Jambi pun berbeda dengan Kerinci. Jambi patrilineal. Kerinci matrilineal.
Perang Kerinci melawan Jambi tak terhindarkan, berlangsung hampir tiga tahun. Lebih dari 40 jenang (bupati) terbunuh, tak terhitung panglima dan prajurit gugur di pihak Jambi, tetapi Kerinci tak bisa ditaklukkan berkat kepemimpinan Tiang Bungkuk. Medan perang Kerinci melawan Jambi ada di Pulau Tengah, wilayah di pinggir Danau Kerinci.
Kerajaan Jambi akhirnya meminta bantuan kepada Kerajaan Demak di Pulau Jawa untuk menaklukkan Kerinci. Pasukan dari Demak dipimpin Pangeran Tumenggung, putra raja Jambi, Orang Kayo Hitam, dari istrinya di Jawa, Ratu Pemalang. Waktu perang terjadi, raja Jambi yang berkuasa adalah Panembahan Rantau Kapas, putra Orang Kayo Hitam dari permaisurinya Mayang Mengurai.
Tiang Bungkuk dijebak dengan taktik khusus. Jambi menantangnya berduel satu lawan satu dengan Pangeran Tumenggung dan berjanji menarik seluruh pasukan dari Kerinci jika ia menang. Tiang Bungkuk adalah sosok yang berhati bersih, selaras ucapan dengan perbuatan, memegang teguh janji, dan kesatria. Ia mengira semua orang seperti dirinya. Tanpa curiga, ia mendatangi lokasi duel. Di sana, ia dijaring dengan rambang atau jala besar yang membuat seekor buaya pun tak bisa lolos. Rambang khusus ini di-rajah di Jawa untuk mengatasi kesaktiannya.
Baca juga: Katarabumi, Portugis, dan Boki Raja
Tiang Bungkuk sengaja diikat di bawah rakit yang ditunda perahu perang pasukan Jambi untuk mengarungi Danau Kerinci, Sungai Merangin, Tembesi, dan Batanghari hingga mencapai Tanah Pilih, ibu kota Jambi. Pelayaran ini menempuh jarak lebih dari seribu kilometer. Sampai di Tanah Pilih, Tiang Bungkuk yang tampak segar bugar dijebloskan ke dalam penjara.
Suatu hari kakak perempuannya memimpin para pendekar Kerinci datang ke Tanah Pilih untuk membebaskan Tiang Bungkuk. Sang kakak menyelundupkan senjata dengan berpura-pura mengantar makanan kesukaan adiknya. Lemang diisi keris Tiang Bungkuk dan lepat diisi batu hitam. Makanan tersebut diperiksa panglima Jambi yang menjaga ketat Tiang Bungkuk. Keris dan batu hitam dirampas. Akhirnya diketahui hanya kerisnya sendiri yang dapat melukai Tiang Bungkuk. Dengan keris itu pula ia dibunuh.
Untuk meredam dendam kesumat dan perlawanan sengit para pejuang Kerinci pascakematian Tiang Bungkuk, Jambi memberikan hak otonomi khusus kepada Kerinci.
Ketika perang melawan penjajah kolonial Belanda, orang Kerinci dan Jambi bersatu. Belanda menghancurkan segalanya, termasuk Pulau Tengah, tempat pejuang Kerinci dulu melawan pasukan Kerajaan Jambi.
Linda Christanty, sastrawan dan pegiat budaya