Modal caleg besar, tak sebanding dengan pendapatan bersihnya, namun banyak yang mau keluar duit. Apa yang diincarnya?
Oleh
A AGOES SOEDIAMHADI
·1 menit baca
Gaji dan tunjangan anggota DPRD DKI Jakarta Rp 83 juta setiap bulan. Dari jumlah itu, sekitar Rp 15 juta untuk partai, Rp 20 juta untuk kegiatan sosial, dan Rp 25 juta untuk menggaji lima anggota stafnya. Pendapatan bersihnya sekitar Rp 23 juta per bulan.
Untuk maju menjadi caleg pada 2019 perlu modal sekitar Rp 500 juta. Uang itu untuk membeli alat peraga kampanye dan konsumsi ketika melakukan pertemuan dengan konstituen (Kompas, 15/10/2023).
Kalau uang tersebut merupakan pinjaman selama lima tahun dengan bunga 6 persen per tahun, angsurannya sekitar Rp 9,6 juta per bulan, sehingga pendapatannya tinggal Rp 13,4 juta per bulan.
Menjadi wakil rakyat dengan penghasilan sebesar itu jelas tidak memadai. Namun, nyatanya, banyak orang mau mengeluarkan uang lebih banyak lagi untuk dapat meraihnya. Pasti ada yang diincarnya, selain kedudukan yang terhormat, kekuasaan dan tentu kekayaan meski dengan jalan haram. Faktanya, dalam 20 tahun terakhir terdapat 344 anggota DPR dan DPRD tersangkut kasus korupsi.
Sistem pemilihan wakil rakyat perlu dibenahi. Partai politik sebagai aktor utama perlu bertanggung jawab.
Politik berbiaya tinggi hanya bisa diikuti orang kaya. Sekitar 55 persen anggota DPR/DPRD berlatar belakang pebisnis. Dengan demikian, kebijakan yang diambil tentu untuk melindungi kepentingan pengusaha dan orang kaya. Unjuk rasa buruh yang menolak upah minimum serta belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset merupakan bukti ke mana para anggota DPR/DPRD tersebut berpihak.
Oleh sebab itu, sistem pemilihan wakil rakyat perlu dibenahi. Partai politik sebagai aktor utama perlu bertanggung jawab. Jika tidak, sampai Indonesia Emas terwujud, kemakmuran hanya akan dinikmati pengusaha dan orang kaya. Rakyat biasa tetap menjadi penonton.
Sampai kapan rakyat yang merupakan mayoritas dan pemilik negeri ini tidak dikelabui wakilnya?