Mana yang Tepat, ”Silaturahmi” atau ”Silaturahim”?
Di masyarakat kerap ditemukan dua bentuk kata serapan yang masing-masing hampir sama, berkaitan, atau berbeda maknanya, seperti kata ”silaturahmi” dan ”silaturahim”. Manakah yang tepat?
Oleh
Kusnadi
·3 menit baca
Dalam suatu tulisan atau percakapan sehari-hari, kita sering membaca atau mendengar kata silaturahmi, terkadang kita juga menemukan atau mendengar kata silaturahim. Kita bahkan pernah mendengar juga seorang khatib dalam khotbahnya berkali-kali menyebut kata silaturahim, bukan silaturahmi.
Seperti kita ketahui bersama, silaturahim dan silaturahmi adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab, yaitu shilat al-rahim. Ada juga yang menulis silah ar-rahim.
Shilat berarti ’menyambung atau menjalin atau menghubungkan’, sedangkan al-rahim atau al-rahmi berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu rahima-yarhamu. Dari kata rahima-yarhamu, bisa dihasilkan dua bentuk masdar (kata infinitif) yang berbeda, dan mempunyai arti yang berbeda pula, yakni ’kasih sayang’ dan ’rasa sakit pada rahim wanita setelah melahirkan’.
Dengan kata lain, silaturahmi memiliki arti kasih sayang dengan sesama yang lebih luas.
Jika dihubung-hubungkan lebih lanjut, kata silaturahmi memiliki arti ’kasih sayang’, sedangkan silaturahim memiliki makna yang erat kaitannya dengan hubungan kekeluargaan yang memiliki hubungan satu darah atau rahim. Dengan kata lain, silaturahmi memiliki arti kasih sayang dengan sesama yang lebih luas.
Karena pengertian tersebut, di masyarakat ada yang membedakan pemakaian silaturahmi dan silaturahim. Pengguna bahasa sepertinya harus mengetahui kapan menggunakan silaturahmi dan kapan menggunakan silaturahim.
Jika ingin berkunjung ke rumah nenek, misalnya, kata yang dipakai adalah silaturahim. Sebab, nenek merupakan orangtua dari ayah dan ibu yang sudah pasti memiliki hubungan darah. Akan tetapi, jika ingin berkunjung ke rumah teman atau guru, umpamanya, kata yang dipakai adalah silaturahmi. Sebab, baik yang mengunjungi maupun yang dikunjungi tidak memiliki hubungan darah.
Namun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menjadi rujukan kata-kata baku menafikan hal itu. KBBI menyatakan bahwa bentuk yang baku adalah silaturahmi, bukan silaturahim.
Kata ini pun dimaknai sebagai ’tali persahabatan (persaudaraan)’, yang berkelas kata benda. Bukan bermakna ’kasih sayang’ atau ’hubungan kekeluargaan satu darah’ seperti disebut sebelumnya. KBBI memberi contoh: malam silaturahmi (yang berarti ’malam untuk menjalin tali persahabatan’).
Dari kata silaturahmi bisa diturunkan kata bersilaturahmi ’melakukan silaturahmi’ atau ’mengikat tali persahabatan’ dan persilaturahmian ’hal yang berkaitan dengan silaturahmi’.
Bentuk turunan lainnya, seperti menyilaturahmi dan penyilaturahmi jarang kita temukan. Kalau pengguna bahasa mau, kedua kata itu pun bisa dipakai. Masing-masing bermakna ’melakukan silaturahmi’ dan ’orang yang melakukan silaturahmi’.
Hal yang sama berlaku pada kata silaturahim. Selain bersilaturahim, dapat pula dibentuk menyilaturahim dan penyilaturahim.
Terlepas dari bentuk mana yang paling tepat, baik silaturahmi maupun silaturahim dapat dipergunakan dalam berbahasa sehari-hari. Kalau dilihat dari kajian linguistik deskriptif, kedua kata itu berhak hidup sepanjang asal-usul dan maknanya dapat dipertanggungjawabkan.
Jika KBBI memasukkan kata silaturahmi, dan bukan silaturahim, bisa jadi karena kata silaturahmi lebih mudah diucapkan penutur bahasa Indonesia daripada silaturahim. Pemilihan kata seperti silaturahmi juga terjadi pada kata lemari, yang pada suatu masa lebih sering ditulis almari.
Selain itu, bisa jadi juga kata silaturahmi dipilih karena kata ini sudah dianggap sebagai bahasa Indonesia, yang maknanya tidak persis sama lagi dengan bahasa asalnya, bahasa Arab. Hal ini pun berlaku pada beberapa kata serapan yang akhirnya didaku sebagai bahasa Indonesia.
Demikianlah memang masalah yang terjadi jika sebuah bahasa mengambil kata dari bahasa lain. Akan ada perubahan di sana, baik bentuk maupun maknanya.