Pura Mangkunegaran punya cara mengisahkan heroisme leluhur. Lewat tari, pertempuran Sambernyawa diceritakan kembali.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
Tarian klasik tak melulu tentang lenggak-lenggok yang lemah gemulai. Gambaran berbeda itu ditampilkan dalam tarian bertajuk ”Diradameta”. Heroisme Pangeran Sambernyawa dari Pura Mangkunegaran dikisahkan apik melalui bedaya yang begitu gagah.
Tujuh laki-laki dewasa melangkah mantap menuju Pendapa Ageng di Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (28/4/2024). Langkah demi langkah mereka diiringi alunan gamelan yang dipukul kencang-kencang. Tabuhan genderang yang menyerupai derap kaki pasukan menambah sakral momen itu.
Sesampainya di tengah-tengah pendapa, para lelaki bertelanjang dada itu segera menari mengikuti irama gamelan. Tubuh-tubuh kekar mereka memperagakan gerakan tari yang pelan, tetapi tetap tegas. Sorot mata mereka yang tajam terjaga sepanjang pentas.
Tabuhan gamelan pun semakin keras. Tarian kian bertenaga. Tiga penari laki-laki itu lantas mengambil trisula, sedangkan empat orang lainnya mengambil busur panah. Senjata-senjata itu mereka mainkan seolah-olah seperti tengah berada dalam peperangan.
Begitulah secuplik tarian bedhaya berjudul ”Diradameta” milik Pura Mangkunegaran. Tarian berdurasi 30 menit itu dipentaskan untuk memeriahkan pergelaran Hari Tari Dunia yang perayaannya jatuh pada 29 April 2024.
”Ini adalah bedaya alusan laki-laki yang diciptakan Pangeran Sambernyawa (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara I) sejak 267 tahun yang lalu,” kata kurator tari, Rama Soeprapto, di sela-sela pergelaran itu.
Dari perang waktu itu, beliau menciptakan karya seni.
Tarian itu, kata Rama, mengisahkan tentang perjuangan Mangkunegara I memenangi peperangan melawan kolonial Belanda di Rembang, Jawa Tengah, pada 1756 silam. Untuk itu, suasana yang dihadirkan sepanjang tari cenderung heroik. Lenggak-lenggok penari yang penuh penghayatan itu seakan memamerkan keperkasaan.
Ditengok dari artinya, istilah ”Diradameta” dapat dimaknai ”gajah mengamuk”. Konon, istilah itu merujuk pada gaya bertarung Mangkunegara I dan pasukannya pada pertempuran di Rembang. Keganasannya bersama para pasukan yang mengamuk sejadi-jadinya kala itu disebut-sebut membuatnya dijuluki ”Sambernyawa”, yang juga berarti perenggut nyawa.
”Dari perang waktu itu, beliau menciptakan karya seni. Bukan monumen. Tetapi, karya seni yang harus kita lestarikan,” kata Rama.
Pemimpin Pura Mangkunegaran, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara X, mengungkapkan, tarian warisan leluhurnya itu sebagai salah satu karya adiluhung. Hendaknya nilai kepahlawanan yang termuat pada karya itu bisa terus digali dan dieksplorasi. Bahkan, boleh jadi menginspirasi para seniman tari masa kini.
Secara garis besar, Mangkunegara menilai, hari tari dari dunia adalah perayaan bersama. Dalam momen semacam itu, keragaman budaya menjadi hal yang dirayakan. Semangat itu sejalan dengan visi institusi kebudayaan yang dipimpinnya saat ini.
”Mangkunegaran bukan hanya bangunannya, melainkan juga nilai-nilai dan kebudayaan yanga hidup di dalamnya. Kebetulan momen peringatan 267 tahun Pura Mangkunegaran juga bertepatan dengan hari tari,” kata Mangkunegara X.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengungkapkan, tahun ini Hari Tari Dunia terasa lebih istimewa karena ada pengungkapan dan penampilan kembali tarian bersejarah seperti Diradameta. Lebih-lebih, kata dia, bedaya itu sudah cukup lama tidak dipertontonkan ke publik.
Diradameta, menurut Hilmar, juga bukan sekadar tarian sarat keindahan. Muatan sejarahnya jauh lebih penting. Pasalnya, tarian itu sekaligus menjadi refleksi atas salah satu pertempuran paling bersejarah dari Mangkunegara I.
”Itu menjadi pesan hari ini. Sebenarnya khazanah kekayaan budaya kita ini begitu banyak terpendam. Tugas kita sekarang ini justru menggali dan melihat kekayaan itu, serta menjadikannya dasar untuk membawanya ke berbagai macam arah,” kata Hilmar.