Di Palangka Raya, Sebagian Warga Jenuh Sengketa Pemilihan Umum
Warga di Kalimantan Tengah menilai pemilu ulang hanya akan semakin banyak habiskan uang negara.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden dinilai hanya terpaku pada sengketa hasil bukan pada proses. Warga di Kalimantan Tengah telah jenuh dengan isu ini.
Pada sidang putusan sengketa Pilpres 2024 di MK pada Senin (22/4/2024), hakim tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk mengamini dalil yang diajukan tim hukum Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar bahwa Presiden Joko Widodo mengerahkan penjabat kepala daerah di sejumlah wilayah untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Demikian pula dengan dalil tentang ketidaknetralan para menteri Kabinet Indonesia Maju, MK menilai pemohon gagal membuktikan hal tersebut. Dalam pertimbangan hukum MK yang dibacakan hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh disebutkan, pengisian penjabat kepala daerah merupakan kewenangan eksekutif, dalam hal ini presiden sebagai konsekuensi dari pengaturan keserentakan pemilihan kepala daerah.
Apabila dalam implementasinya pengisian jabatan penjabat kepala daerah tersebut terindikasi melanggar putusan MK, UU Pemilu, dan Peraturan Mendagri Nomor 4 Tahun 2023, pemohon seharusnya mempersoalkan hal itu kepada lembaga pengawas. Begitu juga dalil dugaan pelanggaran lainnya.
Warga Palangka Raya, Krismes Santo Haloho (29), mengaku mulai jenuh dengan perdebatan sengketa Pilpres 2024 yang terus ada. Bahkan, pemilihan ulang sekalipun hanya akan memenangkan pasangan yang sama.
”Walaupun banyak yang sakit hati, lebih baik enggak usah aja pemilihan ulang itu. Jenuh sama politik, jengah, capek,” ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan Suparman (40), warga Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau. Petani yang ikut dalam program Food Estate itu lebih memilih fokus pada sawahnya yang sedang panen raya daripada membahas politik.
”Siapa pun presidennya ya saya cuma ngurus sawah, sambil berharap anak saya nanti enggak jadi petani kayak saya. Kalau bisa, ya lebih baik hidupnya,” kata Suparman.
Parlin Bayu Hutabarat, pengamat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Genta Keadilan Palangka Raya, menilai hakim MK hanya fokus pada sengketa hasil Pilpres 2024, bukan pada proses. Substansi gugatan tersebut sebagian besar merupakan keterlibatan presiden dalam Pilpres 2024. Penggunaan kekuasaan untuk kepentingan menaikkan elektabilitas pasangan calon Prabowo-Gibran.
Hakim MK hanya mempunyai waktu 14 hari untuk membahas pelanggaran di 33 provinsi, itu enggak masuk akal.
Parlin mengungkapkan, dalil-dalil yang tidak bisa dibuktikan oleh tim penggugat menurut hakim itu terjadi lantaran hal teknis. Menurut dia, hukum acara dalam MK sangat terbatas.
”Hakim MK hanya mempunyai waktu 14 hari untuk membahas pelanggaran di 33 provinsi, itu enggak masuk akal,” ujar Parlin.
Segala dalil pelanggaran, kata Parlin, yang diungkap kedua tim penggugat baik kubu Anies-Amin maupun Ganjar-Mahfud memiliki bukti yang terbatas karena waktunya juga begitu terbatas. Selain waktu yang terbatas, saksi yang dihadirkan juga dibatasi.
Parlin menilai seharusnya ada ruang untuk evaluasi hukum acara di MK, khususnya hukum acara pilpres. ”Ini penting karena seperti pembuktian bantuan sosial itu yang melanggar etika, tetapi tidak bisa diterima karena dasarnya tidak ada,” kata Parlin.
Hal serupa juga diutarakan Paulus Alfons, dosen Politik Pembangunan di Universitas Palangka Raya. Menurut dia, semua orang sudah memprediksi bahwa hakim MK akan menolak semua gugatan.
”Sudah benarlah itu. Harusnya kalau mau menggugat sebelum pilpres, atau pasangan calonnya mungkin bisa mundur. Substansi gugatannya yang benar, momentumnya sudah lewat,” kata Paulus.
Paulus menambahkan, sebelum Pilpres 2024 berlangsung, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sudah mengeluarkan putusan soal pelanggaran etika. Sayangnya, hal itu juga tidak berpengaruh terhadap pilpres 2024.
”DKPP tidak bisa menghentikan jalannya pemilu. Kalau putusan mereka dilanjutkan, bisa jadi pemilihan ulang. Namun, tampaknya sudah nyambung semua elite (politik) sebelum Pilpres 2024 ini digelar,” kata Paulus.