Terkait Tragedi Bangkal, Polda Kalteng dan Perusahaan Bayar Denda Adat Dayak
Polda Kalteng dan perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan didenda adat atas tragedi yang terjadi di Bangkal.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah menetapkan denda adat kepada Kepolisian Daerah Kalteng dan perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan atas tragedi yang terjadi di Desa Bangkal. Namun, denda adat itu tidak menghilangkan tanggung jawab pidana yang mesti dihadapi oleh pelaku penembakan yang membuat seorang warga tewas dalam peristiwa tersebut.
Sidang adat itu digelar di Kota Palangka Raya, Kalteng, yang dihadiri oleh perwakilan Polda Kalteng, perwakilan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), dan korban luka tembak, Taufiknurahman (22). Sidang dipimpin oleh Majelis Kerapatan Mantir Basara Hai Dewan Adat Dayak (DAD).
Dalam sidang tersebut, Taufiknurahman menjadi satu-satunya korban yang hadir. Dengan tertatih-tatih, Taufiknurahman datang bersama keluarga. Ia menempuh lima jam perjalanan darat untuk menghadiri sidang adat Dayak tersebut. Taufik harus mengenakan alat bantu jalan (kruk) dan beberapa kali dipapah keluarganya di persidangan. Ia merupakan salah satu korban luka dalam bentrokan antara warga dan aparat kepolisian di Seruyan.
Ketua Let (hakim) Perdamaian Adat Dayak Kardinal Tarung mengatakan, sidang digelar atas permintaan keluarga korban yang terkena tembakan, yakni Taufiknurahman. Akibat bentrokan itu, Taufik cacat seumur hidup. Dengan pertimbangan itu, hakim menetapkan denda adat atau yang disebut jipen sebesar Rp 335.500.000 untuk PT HMBP dan Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah. PT HMBP dan Polda Kalteng menjadi termohon satu dan termohon dua.
”Kerapatan mantir dan let perdamaian adat memutuskan. Pertama, pihak termohon satu dan pihak termohon dua membayar pidana denda kepada pemohon korban luka, Taufiknurahman,” kata Kardinal Tarung yang membacakan putusan di Aula Kaharingan Center, Kota Palangka Raya, Jumat (19/4/2024).
Rincian denda adat yang dikenakan atau jipen itu ialah denda pidana adat singer biat himang 100 kati ramu dikali Rp 250.000, yakni Rp 25 juta. Kemudian singer banguhan, penyau sangguh, penyau penyang 130 kati ramu dikali Rp 250.000 sama dengan Rp 32.500.000.
Selanjutnya, PT HMBP dan Polda Kalteng juga diwajibkan membayar denda singer selem balai 125 kati ramu kali Rp 250.000 atau sama dengan Rp 31.250.000. Mereka juga harus membayar singer tipuk danum 75 kati ramu kali Rp 250.000 yang sama dengan Rp 18.750.000. Terakhir, perusahaan dan kepolisian harus membayar denda singer kasuku belom bahadat sebesar Rp 228 juta.
”Singer itu hukumannya, sedangkan jipen itu denda atas hukuman itu,” ucap Kardinal.
Denda-denda tersebut, lanjut Kardinal, sebenarnya merupakan barang (kati ramu), tetapi diuangkan di zaman sekarang. Hukum adat yang digunakan merujuk pada hukum adat yang sudah dikukuhkan dalam Perjanjian Tumbang Anoi yang ditetapkan pada tahun 1894 silam.
Dalam sidang tersebut, Taufiknurahman menjadi satu-satunya korban yang hadir. Dengan tertatih-tatih, Taufiknurahman datang bersama keluarga. Ia menempuh lima jam perjalanan darat untuk menghadiri sidang adat Dayak tersebut.
Dalam sidang tersebut, baik korban maupun termohon diberi upacara adat dengan dipasangi hinting atau batas. Hinting itu diisi oleh rapalan doa. Harapannya, jika tidak dipenuhi, bencana bisa menimpa kepada termohon. Di saat yang sama, denda langsung dibayarkan oleh perwakilan kedua termohon. Ketika denda dibayar, hinting dilepas.
”Keputusan ini bersifat final dan mengikat mulai berlaku setelah dibacakan dan ditetapkan,” ujar Kardinal Tarung.
Tragedi Bangkal terjadi pada Oktober 2023. Saat itu, warga menuntut kebun plasma sebagai kewajiban perusahaan yang selama ini tidak kunjung diberikan. Warga yang melakukan aksi itu bentrok dengan aparat dan menimbulkan belasan orang luka-luka, Taufiknurahman terkena tembakan peluru tajam, begitu juga Gijik yang tewas di tempat. Saat ini, polisi yang menjadi tersangka sedang diadili di pengadilan.
Sekretaris DAD Provinsi Kalteng Yulindra Dedy mengatakan, sidang adat dengan tema basara hai maniring tuntang, manetes hinting bunu di Desa Bangkal, tidak mencampuri perkara hukum yang berjalan. Sidang perdamaian adat itu sebagai upaya untuk mendamaikan pihak yang berkonflik.
”Ini adalah proses panjang upaya kami lembaga adat untuk selesaikan konflik panjang yang terjadi di Desa Bangkal, kurang lebih enam bulan dari Oktober 2023. Dengan kerendahan hati semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini, akhirnya sidang hari ini bisa terlaksana,” kata Dedy.
Menurut Dedy, hasil yang sudah dibacakan oleh Majelis Kerapatan Mantir Basara Hai sudah mengacu pada pasal-pasal hukum adat Tumbang Anoi 1894. Dengan demikian, keputusan tersebut sifatnya final dan mengikat.
”Jadi, hukum adat ini, kan, ujungnya adalah perdamaian. Untuk mencapai perdamaian harus ada kesepakatan di antara semua pihak,” ungkap Dedy.
Dedy berharap masyarakat, perusahaan, dan aparat tidak hanya mengedepankan hak dalam menyelesaikan konflik dengan masyarakat, tetapi juga bersama-sama memperhatikan apa yang menjadi kewajiban masing-masing.
Sayangnya, saat ditemui Kompas dan wartawan lainnya, perwakilan dari Polda Kalteng dan PT HMBP enggan berkomentar terkait sidang adat tersebut.