Merayakan Kehadiran Para Pendatang di Palangka Raya
Kota Palangka Raya terkenal dengan kehangatan masyarakat yang ramah. Pendatang dari mana saja disambut hangat.
Ramadhan usai, Lebaran telah dirayakan. Di tanah rantau, mereka yang pulang kampung kembali berjuang. Namun, bagi sebagian orang, tahun ini bisa jadi pengalaman pertama bertualang di tanah seberang.
Di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, kisah itu juga dirayakan. Bagi para pekerja keras, kota ini tidak hanya menawarkan banyak pilihan hidup, tetapi kehangatan masyarakatnya.
Tahun ini, salah satu yang datang mengadu nasib adalah Agus (23) asal Purwokerto, Jawa Tengah. Sekitar sebulan lalu, saat bulan puasa, dia datang diundang salah satu kerabatnya. Kemampuan Agus membuat martabak atau terang bulan menjadi daya tariknya.
”Katanya ke sini (Palangka Raya) saja, di sini yang beli (martabak) banyak,” ujar Agus mengingat kembali percakapan dengan kerabatnya itu, Kamis (18/4/2024).
Baca juga: Pasar Buah Palangka Raya, Merawat Semangat Penjaga Hutan
Tawaran itu menggiurkan di tengah persaingan membuat martabak yang kian ketat di Pulau Jawa. Agus pun menggunakan sisa tabungannya untuk ongkos ke Palangka Raya.
Dari tempat tinggalnya, Agus tiba di tanah Borneo di Kota Sampit, Kotawaringin Timur, setelah menempuh perjalanan darat dan laut selama 30 jam. Selanjutnya, butuh lima jam perjalanan darat lagi bagi dia untuk tiba di Palangka Raya.
Tidak butuh lama bagi Agus untuk mengandalkan keahliannya. Dia dipercaya berjualan di Jalan Rajawali, Palangka Raya. Sehari bekerja, ia mendapat penghasilan bersih Rp 100.000. Ongkos makan dan rokok menjadi tanggung jawab kerabatnya itu.
Sejauh ini, Agus kerasan. Tidak sulit bagi dia hidup di Palangka Raya. Baru seminggu bekerja, misalnya, dia sudah punya pembeli setia. Dia percaya diri, martabak enak buatannya membuat pelanggan itu selalu datang lagi.
Tidak hanya berlangganan, mereka menjadi teman. Agus bahkan diajak membuka usaha martabak sendiri.
”Dia asalnya dari Kuala Kurun, Gunung Mas. Katanya, kalau mau buka usaha sendiri, saya bisa dapat bayaran dua kali lipat daripada di sini,” kata Agus.
Akan tetapi, tawaran itu tidak bisa diterima Agus. Dia tidak enak hati karena baru saja bekerja.
”Mungkin tahun depan kalau modal sudah ada, saya buka sendiri,” katanya.
Bila Agus baru sebulan, Dewi Kartika (40), perempuan asal Bandung, Jawa Barat, sudah merasakan kehangatan Palangka Raya selama 15 tahun terakhir. Salah satu yang diingat pemilik kedai kopi itu saat mendapat kemurahan pemilik kontrakan yang menjadi tempat tinggalnya ketika baru berwirausaha di Palangka Raya.
”Selama dua bulan saya tinggal gratis di kawasan Kereng Bangkirai. Baru di bulan ketiga bisa bayar, itu juga semampunya,” ujar Dewi.
Dewi kini lebih dikenal dengan sebutan akrab acil teteh. Acil dalam bahasa setempat berarti bibi. Selain berarti kakak perempuan dalam bahasa Sunda, teteh juga kerap diartikan sebagai bibi. Warga sengaja menyematkan kata teteh karena Dewi berasal dari Bandung.
Kehadiran unit usaha baru di Palangka Raya didominasi pendatang. Itu bisa menjadi tanda kemajuan pembangunan sekaligus motivasi warga untuk membaca peluang bisnis.
Sutarno, suami Dewi, juga punya sebutan ”sayang”. Lelaki asal Jawa Timur itu dipanggil paman atau amang. Sebutan itu biasa disematkan kepada mereka yang berdagang di Kota Palangka Raya, bahkan di kota-kota lain di Kalteng.
Belasan tahun di Palangka Raya, Dewi dan Sutarno merasa begitu diterima. Semua tanggapan miring soal tanah Kalimantan tidak ia hiraukan. Dia ingat ketika beberapa kerabat pernah melarang dia merantau ke Kalimantan. Konflik Sampit tahun 2001 jadi pemicunya.
”Itu kan dulu, sekarang orang udah pada pintar, enggak ada gitu-gitu lagi,” kata Sutarno.
Kekhawatiran itu juga pernah terpikirkan oleh Ahmadi (41), pedagang sayur keliling yang kerap dipanggil ”paman sayur”. Namun, sekarang dia ragu konflik di masa lalu bakal terjadi. Mengaku sudah tinggal sebelum konflik Sampit, ia merasa selalu dilindungi warga sekitar tempat tinggalnya.
”Di sini toleransinya bagus, kalau lagi Idul Fitri pun yang bukan agama Islam datang ke rumah-rumah silaturahmi,” ungkap Ahmadi yang saat ditemui hari Minggu (14/4/2024) sedang memperbaiki lampu jalan bersama tetangganya di Jalan Simpei Karuhei, Kecamatan Jekan Raya.
Penjabat Wali Kota Palangka Raya Hera Nugrahayu kembali mengingatkan persahabatan antarwarga itu dalam acara gelar griya pada Selasa (16/4/2024). Hera kembali mengajak masyarakat Kota Palangka Raya terus mempererat tali silaturahmi.
”Saya mengajak masyarakat Kota Palangka Raya, mari kita jadikan momen Idul Fitri untuk memperkuat tali silaturahmi, sekaligus menjunjung filosofi Huma Betang,” ungkapnya.
Hera menjelaskan, filosofi Huma Betang atau Rumah Panjang khas Dayak memiliki nilai kemajemukan dan keberagaman tinggi. Orang Dayak sejak dahulu tinggal di satu rumah panjang.
Di sana ada beberapa keluarga tinggal bersama. Meski memiliki kepentingan masing-masing, penghuninya bisa hidup harmoni dengan segala perbedaannya.
Dalam tulisan ”Keutuhan Hidup di Rumah Panjang” di harian Kompas, 18 Agustus 2018, kekompakan dan semangat persaudaraan terjaga di Rumah Panjang. Kekompakan itu, misalnya, tecermin saat mereka mendirikan Rumah Panjang yang memakan waktu lima tahun.
Masih kuatnya tradisi juga tecermin dalam pengambilan keputusan. Dalam pertemuan, keputusan baru akan diambil setelah semua penghuni setuju. Satu tak setuju, dicari solusi sampai semua setuju.
Meskipun tinggal di Rumah Panjang, mereka tidak menutup diri. Dalam kehidupan sosial, mereka terbuka dengan orang luar. Siapa pun yang datang ke Rumah Panjang akan disambut ramah dan penuh persahabatan selayaknya saudara sendiri.
Filosofi mulia Rumah Panjang, menurut Hera, ikut menjadikan Kota Palangka Raya dan Kalteng menjadi rumah untuk semua orang dengan berbagai latar belakang. Di Kota Palangka Raya, nilai-nilai toleransi dalam beragama telah dibuktikan dengan saling dukung dalam menghargai segala perbedaan.
”Contohnya pada pelaksanaan Safari Ramadhan dan Safari Natal yang menjadi agenda rutin dari Pemerintah Kota Palangka Raya, dalam pelaksanaannya ada penguatan pada masing-masing umat yang merayakan,” ungkap Hera.
Pembangunan
Kemajemukan dan tangan terbuka warga menerima pendatang itu diyakini ikut membangun Palangka Raya. Pengamat ekonomi dari Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina, melihat kehadiran pendatang sebaiknya dipandang sebagai hal positif untuk warga lokal. Salah satunya kejelian memanfaatkan peluang ekonomi.
”Kehadiran unit usaha baru di Palangka Raya didominasi pendatang. Itu bisa menjadi tanda kemajuan pembangunan sekaligus motivasi warga untuk membaca peluang bisnis,” ucapnya.
Kiprah pendatang, kata Fitria, juga perlu dilihat sebagai bentuk harmonisasi. Mereka yang sudah puluhan tahun tinggal di sini maupun mereka yang baru diterima dengan hangat.
Baca juga: Hutan Konservasi Dijaga, Manusia Pasti Raih Manfaatnya
”Keharmonisan antarwarga juga tanda-tanda perkembangan ekonomi dan pembangunan,” ujarnya.
Persahabatan pendatang dengan warga lokal adalah modal besar bagi Palangka Raya untuk terus berkembang. Saat itu dijaga, semangatnya bakal saling menghidupkan.