Peserta Pendidikan Kedokteran, Persiapkan Matang Sebelum Stres Menyerang
Menempuh pendidikan dokter spesialis perlu persiapan matang, menghadapi tekanan fisik dan mental yang rawan stres.
Keputusan menempuh program pendidikan dokter spesialis atau PPDS tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada berbagai pertimbangan yang membuat seorang dokter ingin memperdalam ilmu medis lebih lanjut. Waktunya pun butuh waktu bertahun-tahun.
Butuh waktu delapan tahun bagi C (34), dokter di Sumatera Barat, untuk menyiapkan diri mendaftar PPDS. Di pertengahan tahun 2024, dia coba mendaftar beasiswa agar bisa melanjutkan pendidikannya di bidang medis ini setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Ada banyak pertimbangan sebelum saya melanjutkan pendidikan. Mulai dari ekonomi, kesiapan keluarga, dan lainnya. Sekarang saya sedang menunggu pengumuman beasiswa. Semoga berhasil. Jadi bisa sekolah tanpa biaya besar,” ujarnya saat dihubungi dari Bandung, Selasa (16/4/2024).
Pemikiran matang ini harus dilakukan setelah melihat rekan-rekannya yang terlebih dahulu menempuh PPDS. Sebagian besar kesulitan mengikuti rangkaian perkuliahan hingga kegiatan padat yang menyita waktu dan menguras tenaga.
Tekanan ini semakin besar jika dialami mahasiswa PPDS yang masih minim pengalaman. Menurut C, sebagian rekannya yang mengeluh terkait tekanan ini berasal dari dokter yang baru lulus S-1 dan langsung melanjutkan program spesialis.
Bagian spesialis yang akan didalami juga memberikan pengaruh. C bahkan memikirkan matang-matang bagian mana yang akan dia ambil secara realistis dan memperhatikan waktu yang ada.
Akhirnya, C mengambil pendidikan spesialis kulit. Dia menganggap tekanan di sana lebih ringan. ”Bukan berarti tidak ada tekanan. Tapi spesialis kulit ini tidak sepadat di bagian besar seperti (spesialis) anak, bedah, dan penyakit dalam. Bahkan yang obgyn (obstetri dan ginekologi) kemungkinan sampai tahun kedua itu pulang cuma bisa buat mandi,” ujarnya.
C memikirkan kondisi suaminya yang bekerja di dunia bukan medis. Jadi, keputusan itu diambil agar bisa menyeimbangkan karier dan keluarga.
Baca juga: Dukungan Orang Terdekat Turut Menjaga Semangat untuk Menyelesaikan Pendidikan Kedokteran
Apalagi, C juga masih memikirkan pertumbuhan dua buah hatinya. Sebagai ibu, nalurinya tetap ingin memastikan kedua anaknya yang berusia balita bisa mendapatkan kasih sayang yang maksimal dari sosok ibu dan bapaknya.
”Karena kuliah, tentu ada tugasnya. Apalagi ada pekerjaan tambahan di luar kampus, seperti panitia seminar, workshop, atau acara bagian. Itu bakal menambah kesibukan, hal-hal seperti ini bisa menjadi stressor (penyebab stres) saat pendidikan. Jadi, saya harus realistis,” katanya.
Permasalahan ekonomi juga menjadi alasan rekan-rekan C merasa stres saat pendidikan. Surat izin praktik (SIP) dokter yang menempuh pendidikan spesialis, lanjutnya, akan dicabut saat PPDS. Kondisi ini berdampak pada sumber pendapatan keluarga.
”Kalau saya masih agak mending, soalnya bekerja sebagai ASN (aparatur sipil negara). Jadi, masih ada gaji pokok yang diterima. Kasihan yang bekerja di swasta. Belum lagi pendidikan PPDS itu bertahun-tahun,” ujar C.
Berbagai tekanan ini membuat para dokter yang menempuh PPDS mengalami kendala. Hasil skrining yang dilakukan Kementerian Kesehatan terkait kesehatan jiwa peserta PPDS menemukan adanya gejala depresi.
Dari total peserta PPDS yang mengalami gejala depresi, paling tinggi ditemukan pada peserta yang berasal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, dan RS Sardjito Yogyakarta. Tindak lanjut pada peserta didik dengan gejala depresi berat pun dilakukan.
Skrining kesehatan jiwa pada tanggal 21, 22, dan 24 Maret 2024 tersebut menunjukkan 22,4 persen peserta PPDS di 28 rumah sakit vertikal mengalami gejala depresi. Skrining dilakukan pada 12.121 peserta PPDS dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9.
Dari jumlah peserta PPDS yang mengalami depresi, 0,6 persen atau 75 peserta di antaranya mengalami gejala depresi berat; 1,5 persen atau 178 peserta dengan depresi sedang-berat; 4 persen atau 486 peserta dengan depresi sedang; dan 16,3 persen atau 1.977 peserta dengan gejala depresi ringan.
Seorang mahasiswa pendidikan dokter spesialis akan merasa bersalah dan stres jika pasien yang ditangani tidak bisa terobati atau meninggal dunia.
Peringatan
Pihak kampus pun memberikan perhatian terhadap masalah ini. Universitas Padjadjaran merespons positif data tersebut. Adapun, RS Hasan Sadikin yang disebutkan dalam data skrining Kementerian Kesehatan menjadi salah satu rumah sakit pendidikan utama bagi peserta PPDS di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Padjadjaran Arief Kartasasmita mengatakan, hasil skrining ini menjadi peringatan bagi pihaknya untuk melihat kembali standar pendidikan dokter spesialis di Unpad.
Arief mengakui, tak dapat dimungkiri peserta PPDS rawan stres. Hal ini terlihat dari sejumlah jurnal di luar negeri yang menunjukkan pendidikan dokter spesialis merupakan salah satu proses pendidikan yang paling menyebabkan rasa stres.
Ia mengungkapkan, rasa stres yang rentan dialami mahasiswa PPDS tak hanya menyangkut proses pendidikan, tetapi juga jenis dan lingkungan pendidikan.
”Seorang mahasiswa pendidikan dokter spesialis akan merasakan bersalah dan stres jika pasien yang ditangani tidak bisa terobati atau meninggal dunia,” ungkap Arief.
Ia menyatakan Unpad telah mengeluarkan peraturan agar mahasiswa, termasuk peserta PPDS, bisa mengikuti proses pendidikan dengan nyaman dan gembira.
Di RS Hasan Sadikin dan RS Cicendo juga menjadi mitra Unpad yang menyediakan tenaga psikolog dan psikiater untuk menangani mahasiswa yang mengalami tekanan mental.
Diketahui terdapat sekitar 1.400 mahasiswa yang mengikuti PPDS di Unpad. Unpad pun bermitra dengan sekitar 30 rumah sakit sebagai rumah sakit pendidikan untuk PPDS.
”Unpad akan berupaya memberikan layanan pendidikan yang nyaman bagi mahasiswa PPDS. Upaya ini agar stres yang rawan dialami mahasiswa PPDS tidak ditambah dengan sistem yang tidak baik,” tutur Arief.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jabar Rochady Hendra Setia Wibawa, yang juga alumnus PPDS di Unpad, menuturkan, diperlukan proses adaptasi yang baik ketika seorang dokter umum memutuskan untuk mengikuti PPDS. Sebab, terdapat perbedaan besar proses pendidikan dokter umum dan PPDS.
”Ketika memutuskan mengikuti PPDS, mahasiswa tersebut tidak akan lagi mengikuti pendidikan di kampus dan membaca materi. Mayoritas proses pendidikan langsung dengan pasien di rumah sakit pendidikan,” ungkapnya.
Ia pun mengimbau agar pihak keluarga bisa memberikan dukungan penuh bagi mahasiswa PPDS bisa melewati setiap tantangan dalam proses pendidikan.
”Dukungan keluarga sangat dibutuhkan mahasiswa PPDS. Mereka tak hanya menghadapi tekanan mental, tetapi juga proses pendidikan yang memakan waktu 8 hingga 10 jam di rumah sakit,” tutur Rochady.
Jangan bias
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jabar Eka Mulyana berharap, hasil skrining Kemenkes tentang gejala depresi yang dialami mahasiswa PPDS harus dipastikan sampelnya tidak terjadi bias.
Faktor terjadi bias ketika pengambilan sampel dilakukan mahasiswa dalam kondisi yang berbeda-beda misalnya masih fit atau kelelahan setelah melewati proses operasi pasien selama berjam-jam.
Menurut dia, pemicu gejala depresi yang dialami mahasiswa PPDS bisa juga faktor lingkungan, masalah pribadi di keluarganya, atau masalah keuangan.
”Profesi dokter berbeda dengan profesi lainnya. Kami menangani manusia yang mengalami masalah medis dan dituntut bisa bekerja dengan hasil yang maksimal,” ungkap Eka.
Ia pun menyarankan, diperlukan tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), yaitu tes psikologi untuk menilai kepribadian dan psikopatologi. Tes ini dinilainya lebih akurat untuk mendeteksi masalah kejiwaan yang dialami seseorang.
”Rasa stres dialami semua di setiap profesi pekerjaan itu normal. Biasanya seseorang mengalami depresi ketika tak mampu menghadapi tekanan yang dialami dalam profesi tersebut,” ujar Eka.
Tekanan para dokter dalam menempuh PPDS ini tidak bisa dianggap remeh. Persiapan matang saat menempuh pendidikan spesialis perlu diperhatikan agar tidak berujung tekanan yang mengganggu fisik dan mental.
Baca juga: Kenali Gejalanya, Depresi Calon Dokter Bisa Dihindari