Dukungan Orang Terdekat Turut Menjaga Semangat untuk Menyelesaikan Pendidikan Kedokteran
Dukungan orang terdekat hingga mengingat motivasi awal saat ingin menjadi dokter, menjaga semangat sejumlah mahasiswa.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·2 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Menjalani proses belajar ada kalanya mengalami tekanan mental, termasuk bagi mahasiswa kedokteran. Dukungan orang terdekat hingga mengingat motivasi awal saat ingin menjadi dokter, bagi sejumlah mahasiswa, menjadi cara menjaga ”nyala” semangatnya.
Yoga Tri Arya Dinata (21), mahasiswa semester enam, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (16/4/2024), menuturkan, selama menempuh pendidikan tidak pernah mengalami masalah mental yang berarti. Kalaupun ada, hanya dalam hal belajar. Itu pun tidak berdampak serius pada mental.
”Stres kerap terjadi saat mempelajari materi yang menurut saya lumayan berat. Ujian juga dalam sebulan ada sampai empat kali. Namun, karena memiliki support system, hal itu bukan menjadi halangan yang berat,” kata Yoga.
Meski ada materi kuliah yang dirasa sulit, seperti Biokimia, ia tetap harus bisa menguasainya. Itu menjadi tantangan baginya dan memerlukan waktu ekstra untuk belajar, juga mengurangi waktu istirahat. Alokasi waktu untuk mempelajarinya lebih banyak dibanding materi lainnya.
Ia juga terus melatih diri untuk mengelola tantangan mental. Mengelola stres dilakukan dengan berolahraga bersama teman-teman ataupun sesekali menongkrong. Ia juga senang bermain catur hingga berjumpa keluarga.
”Setiap orang memiliki cara berbeda untuk melepas stres,” ujarnya.
Ia juga kerap mempertanyakan lagi kepada dirinya, apa tujuan awal ingin menjadi dokter. Hal ini bermanfaat untuk menjaga semangat belajar. Apalagi, ia juga melihat informasi di media tentang adanya mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di sejumlah daerah di Tanah Air yang mengalami depresi.
Dari hasil penapisan atau skrining, seperti diungkap data Kementerian Kesehatan, sebanyak 22,4 persen mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen atau 399 orang di antaranya mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri. Dari total peserta PPDS yang mengalami gejala depresi, paling tinggi ditemukan pada peserta dari RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin, dan RS Sardjito. Gejala depresi juga ditemukan cukup tinggi pada peserta PPDS dari RS Ngoerah Bali dan RS Wahidin Sudirohusodo Makassar (Kompas, 16/4/2024).
Ke depan, ia berencana mengambi spesialis mata. Kendati kisah mahasiswa PPDS depresi, tidak menyurutkan niatnya untuk mengambil pendidikan spesialis. Namun, ia berharap akan ada tindak lanjut dari kementerian terkait untuk mengatasi masalah tersebut.
Alif Irvan Rizky (20), mahasiswa semester enam lainnya di Fakultas Kedokteran Untan, menuturkan, stres belajar masih bisa diatasi. Ia kerap meniatkan dirinya belajar untuk bermanfaat bagi orang lain dalam jangka panjang sehingga dapat menikmati proses belajar.
”Saya pun selalu bersyukur dengan apa yang telah saya terima hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Kemudian meningkatkan motivasi diri dengan bertanya kepada diri sendiri, saya menjadi dokter karena apa, salah satunya kemanusiaan. Sistem dukungan dari orangtua dan teman juga memegang peranan penting menjaga semangat,” tuturnya.
Alif juga mendengar informasi di media tentang adanya mahasiswa PPDS di Indonesia yang depresi. Hal itu sangat disayangkan. Sebab, dokter spesialis di Tanah Air pemerataannya masih sangat kurang. Dengan demikian, diperlukan regenerasi.
”Ketika dalam tahap PPDS nanti seorang ingin mendapatkan spesialis memperoleh tekanan demikian, pastinya menjadi hambatan dan demotivasi. Sementara Indonesia memerlukan dokter spesialis,” katanya.