Kenali Gejalanya, Depresi Calon Dokter Bisa Dihindari
Ada sejumlah cara mengatasi depresi hingga ingin bunuh diri yang dialami para calon dokter spesialis.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Depresi yang dialami calon-calon dokter lazim terjadi. Namun, depresi dapat diatasi dengan mengenali gejalanya sejak dini. Ada sejumlah jalan keluar yang bisa diambil untuk mengatasinya.
Feyzia (25) berbagi cerita soal gejala depresi yang pernah dialaminya. Mahasiswa Fakultas KedokteranUniversitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, itu tengah menjalani program koasistensi di salah satu rumah sakit swasta di Kota Palangkaraya. Ia dapati depresi nyaris tak bisa dihindari oleh mahasiswa kedokteran. Itu terjadi baik di semester awal hingga di tahun akhir. Bahkan, saat menjalani koasistensi alias koas, ancaman depresi lebih besar karena beban yang dihadapi makin berat lagi.
Ia beri contoh saat sedang magang, mahasiswa diberikan log book atau buku daftar target yang harus dicapai sebelum ujian akhir oleh para penguji. ”Tingkat stresnya beda, tapi kalau depresi, ya, itu rasanya mau teriak, terus nangis gitu aja terus,” ujarnya saat ditemui di gedung pendidikan Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus, Kota Palangkaraya, Selasa (16/4/2024).
Feyzia menjelaskan, saat menjalani koas, ada begitu banyak bahan belajar dan beban kerja sehingga persiapan sebelum ujian menguras tenaga, pikiran, dan uang yang tak sedikit. Semua itu, menurut Feyzia, jadi faktor dirinya mengalami depresi. Namun, menurut dia, gejala awalnya mudah dilihat.
”Kalau saya sudah mulai lelah sama hobi saya dan gak mau melakukannya, saya tahu saya sedang depresi, lalu saya coba olahraga dan bertemu teman-teman yang sesama koas atau teman-teman yang lain,” ungkapnya.
Hal itu dibenarkan oleh dr Theodorus Sapta Atmadja. Menurut dia, log book bisa jadi beban berat yang berdampak pada depresi. Ia mengambil contoh, seorang yang sedang menjalani koas ditargetkan untuk bisa menolong empat persalinan mandiri sebelum ujian, atau ada juga yang harus bisa melakukan sejumlah pemasangan infus intravena yang begitu sulit.
”Target itu penting bukan hanya untuk mempraktikkan apa yang sudah didapat selama kuliah, tapi untuk mendapatkan pengalaman sebelum benar-benar menjadi dokter, itu harus dilewati, tidak boleh tidak,” ucap dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Palangkaraya tersebut.
Selain log book, lanjut Theodorus, supervisor juga kadang memberikan tekanan. Namun, tekanan yang diberikan biasanya sudah sesuai dengan kurikulum. ”Gak boleh ada yang beri perintah di luar kurikulum, saat ini sudah tidak ada yang begitu seharusnya,” katanya.
Mahasiswa koas, kata Theo, juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungan, bahkan mengenal supervisornya. Biasanya ada lebih dari satu supervisor yang mendampingi si mahasiswa, dan penting bagi mereka untuk mengenal kebiasaan supervisor mereka.
”Saat ujian, sekarang juga tidak bisa lagi satu penguji saja karena ujian kedokteran itu juga subyektif, jadi perlu minimal dua penguji. Jika tidak lulus di ujian pertama, maka penguji juga harus diganti karena mungkin bagi penguji lain dia ini mampu, lalu diluluskan,” kata Theodorus.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyebutkan, berdasarkan hasil penapisan atau skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 ditemukan sebanyak 22,4 persen PPDS mengalami gejala depresi. Dari jumlah itu, sebanyak 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat; 1,5 persen dengan depresi sedang-berat; 4 persen depresi sedang; dan 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.
Dalam skrining bahkan ditemukan dalam dua minggu terakhir, sebanyak 3,3 persen PPDS atau 322 PPDS merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun. Sebanyak 2,7 persen merasakannya dalam beberapa hari; 0,4 persen merasakannya lebih dari separuh waktu; dan 0,2 persen di antaranya merasakannya hampir setiap hari.
Harus berbagi cerita bersama teman karena saat koas kan per kelompok. Jadi jangan merasa sendiri.
Melihat hal itu, dr Theodorus Sapta Atmadja yang kini punya panti penyakit kejiwaan dan pernah menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Jiwa Kalawa Atei Palangkaraya memberikan tips kepada pra calon dokter. Menurut dia, saat jalani koasistensi, calon dokter itu cenderung diam atas masalah yang dihadapinya.
Mereka, kata Theodorus, sungkan bahkan enggan mengutarakan masalahnya kepada supervisornya karena berbagai alasan, terutama takut tidak lulus. Mereka dapat saling berbagi cerita dengan sesamanya. ”Harus berbagi cerita bersama teman karena saat koas kan per kelompok. Jadi, jangan merasa sendiri,” ucapnya.
Theodorus juga menyampaikan, banyak masalah perlu diselesaikan bersama, mulai dari tugas hingga penyelesaian target dalam log book yang selama ini membuat depresi. ”Apalagi mereka punya latar belakang berbeda, ada yang memang pintar, ada yang finansialnya bagus, nah itu bisa saling bantu,” ucapnya.
Theodorus menambahkan, olahraga juga penting di sela-sela program profesi agar membuat pikiran tetap fokus. Olahraga bisa dilakukan dengan sangat sederhana mulai dari joging hingga yoga.