Budaya Maluku Menginspirasi Riset Multikulturalisme
Sistem kekerabatan dalam budaya Maluku menjadi inspirasi untuk mengembangkan riset mengenai multikulturalisme.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Riset dan literasi mengenai jalinan sejarah antara agama dan budaya perlu didorong untuk menumbuhkan rasa kebersamaan antarwarga. Penelitian multikulturalisme penting agar pengetahuan lokal mengenai hubungan agama dan budaya di Indonesia tidak hilang dari catatan sejarah. Sejarah panjang serta geliat budaya di tengah masyarakat Maluku bisa menjadi obyek penelitian yang tepat untuk itu.
Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Izak Lattu menjelaskan, mempelajari pengetahuan dan budaya leluhur mengenai relasi agama-budaya di masyarakat merupakan hal yang kerap terlewatkan dalam studi multikulturalisme. Studi teologi dan keagamaan lebih menitikberatkan pada keimanan terhadap agama (spiritual faith). Pemahaman mengenai kepercayaan dalam sistem budaya masyarakat atau cultural faith juga penting menjadi variabel.
Di Maluku, keyakinan terhadap cultural faith tumbuh sejak dahulu sehingga toleransi antarmasyarakat dari berbagai kepercayaan terus eksis. Adat budaya seperti pela gandong di daerah Ambon hingga Maluku Tengah, larvul ngabal di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dan kalwedo di Maluku Barat Daya. Melalui pela gandong,contohnya, persaudaraan antarwarga dihormati dan dijalin dengan erat, tanpa memandang suku dan agama.
”Hal-hal ini menjadi sumber pengetahuan untuk kita merefleksikan kondisi sosial di hari ini sebagai upaya mengantisipasi konflik di masa mendatang. Perjumpaan-perjumpaan seperti ini harus terus didorong,” ucapnya dalam diskusi Festival Al Fatah di Ambon, Maluku, Senin (26/2/2024).
Dari sistem itu pula terbangun memori kolektif yang dapat menjadi obyek penelitian dalam mengembangkan pengetahuan mengenai multikulturalisme. Ia mencontohkan Gereja Pniel di Tuhaha, Saparua, Maluku Tengah, yang pilar kayunya berasal dari sumbangan masyarakat Muslim dari daerah Rohomoni, Haruku. Pilar kayu itu berada di tengah ruang gereja, bertuliskan ”Rohomoni”.
Ada pula pilar kayu di Masjid An Nur Batu Merah, Ambon, yang merupakan sumbangan warga dari Desa Ema yang mayoritas beragama Kristen. Lalu, ada beduk di Masjid Seith, Ambon, yang juga berasal dari sumbangsih masyarakat Kristen dari Desa Ouw, Maluku Tengah. Hal tersebut merupakan implementasi nyata budaya pela gandong.
Kekayaan pengetahuan lokal tersebut perlu diteliti agar tidak hilang dari catatan. Izak menjelaskan, hal ini juga untuk menghindari terjadinya Epistemicide, atau musnahnya asal-usul suatu pengetahuan, kearifan budaya Maluku. ”Masyarakat di Maluku ini mungkin tidak pernah membaca filsafat barat seperti dari Jean Paul Sartre atau Ludwig Wittgenstein, tapi punya cara pandang eksistensialisme dan identitasnya sendiri,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Muhammad Amin Abdullah menjelaskan, mempelajari agama tidak hanya mengenai kredo, ritus, atau soal kealiman. Pengetahuan mengenai agama juga perlu dibarengi ilmu tentang budaya, peradaban, dan sejarah. Dengan itu, perbincangan tentang agama akan menjadi relevan dalam berbagai konteks seperti budaya, politik, dan ekonomi. Rasa penghormatan antarpemeluk agama juga terbangun.
Rektor UIN Sunan Kalijaga 2001-2010 ini menambahkan, agama dan budaya merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam peradaban manusia. Untuk itu, guru-guru di sekolah pun juga perlu memperbarui literasinya agar bisa memberikan pemahaman bagi para murid mengenai hal tersebut.
Ia menyarankan, buku suntingan Waleed Al Ansary dan David Linnan berjudul Muslim and Christian Understanding, Theory and Common Word menjadi salah satu bacaan yang bisa menjadi bahan pembelajaran. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kata Bersama. Dalam buku ini, sejarah antara dua agama tersebut diperbincangkan dengan tujuan perdamaian.
Mempelajari agama tidak hanya soal kealiman, tetapi juga mengerti sejarah dan peradaban.
”Bukunya memang agak berat, tapi penting agar pemahaman agama masyarakat Indonesia menjadi komprehensif dan tidak sempit. Semangat nasionalisme bisa ditumbuhkan dari perjumpaan-perjumpaan seperti ini,” ucapnya.
Penjabat Wali Kota Ambon Bodewin Wattimena menerangkan, penelitian mengenai hubungan agama dan budaya seperti itu bisa memperluas khazanah sejarah sosial dan budaya di Maluku, khususnya Kota Ambon. Perbedaan suku dan agama pun tidak lagi dipandang sebagai pemisah, tetapi sebagai pemersatu untuk kemajuan kota.
Ia menambahkan, dinamika hubungan antara agama dan budaya kerap bergejolak, khususnya dalam aspek politik dan ekonomi. Kehadiran penelitian dan sumber pustaka mengenai multikulturalisme di Maluku diharapkan bisa terus tumbuh untuk menjawab dinamika tersebut.
”Pengalaman dan riset yang dibagikan akan dilihat sebagai upaya membangun kota bersama-sama,” ucapnya.