Penjara Tak Matikan Daya Juang Masyarakat Adat Pubabu-Besipae di NTT
Penjara sama sekali tidak mematikan daya juang masyarakat adat Pubabu-Besipae, Nusa Tenggara Timur. Mereka terus menuntut keadilan terkait penggusuran rumah oleh Pemprov NTT pada tahun 2020.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Penjara sama sekali tidak mematikan semangat dan daya juang masyarakat adat Pubabu-Besipae di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka terus menuntut keadilan terkait penggusuran rumah milik masyarakat setempat yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2020.
Beberapa bulan lalu, Koordinator Masyarakat Adat Pubabu-Besipae, Nikodemus Manao, dijatuhi pidana penjara karena dinilai terbukti menganiaya seorang aparatur sipil negara (ASN) Pemprov NTT. Setelah enam bulan dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Soe, Manao telah bebas pada 14 Agustus 2023.
”Penjara itu tidak mengendurkan daya juang saya dan kawan-kawan, pemilik tanah leluhur. Kami terus berjuang sampai hak-hak kami dikembalikan. Sejak nenek moyang, kami menempati tanah itu, tetapi diambil alih sepihak oleh Pemprov NTT pada 2020,” kata Manao, Minggu (27/8/2023), di Soe, ibu kota Timur Tengah Selatan.
Pada tahun 2020, rumah tinggal milik Manao dan kawan-kawannya digusur oleh Pemprov NTT. Upaya penggusuran pertama dilakukan pada April 2020, dilanjutkan penggusuran kedua pada Agustus 2020. Masyarakat yang rumahnya digusur itu sebanyak 22 kepala keluarga (KK), atau 134 jiwa.
Penggusuran dilakukan setelah Pemprov NTT bekerja sama dengan salah satu kelompok masyarakat adat Pubabu. Pemprov NTT mengukuhkan salah satu tokoh masyarakat tersebut sebagai Ketua Adat Pubabu. Setelah itu, dilakukan serah terima lahan dengan luas sekitar 3.000 hektar.
Setelah penggusuran itu, masyarakat dibantu salah satu lembaga swadaya masyarakat membuat tenda darurat dari terpal di pinggir jalan sebagai tempat tinggal selama enam bulan. Sesudah itu, Pemprov NTT membangun lima gubuk berukuran 2 meter x 3 meter persegi untuk tempat tinggal warga.
Gubuk berdinding bebak atau pelepah lontar itu sangat tidak memadai. Saat musim hujan tiba, dinding gubuk diterjang air hujan sampai merembes masuk ke dalam. Saat banjir terjadi, bagian bawah gubuk juga kerap kemasukan air sehingga masyarakat sangat tidak nyaman.
Pada Maret 2021, masyarakat dipaksa keluar dari lokasi tersebut tanpa solusi yang jelas. Saat itu, salah seorang anggota staf Pemprov NTT mengantar surat kepada koordinator masyarakat agar segera mengosongkan semuarumah dan lokasi itu. Perintah itu membuat Nikodemus Manao marah sehingga terjadilah tindak kekerasan.
”Kalau kami disuruh keluar dari sini, kami mau ke mana. Ini tanah kami. Jika pemerintah hendak menguasai lahan warisan nenek moyang ini, pemerintah juga harus cari solusi. Kami ditempatkan di mana, harus ada rumah dan lahan olahan. Kami semua adalah petani dan peternak. Nenek moyang kami ratusan tahun menempati tanah ini,” kata Manao.
Manao mengatakan, selama ini, masyarakat adat Pubabu-Besipae berjuang untuk menuntut hak mereka sebagai warga negara. Oleh karena itu, mereka menuntut Pemprov NTT memberi solusi terkait penggusuran yang dilakukan.
”Imigran gelap saja pemerintah tampung dan beri makan minum bertahun-tahun di Kupang. Mengapa kami diusir dari tanah kelahiran kami tanpa solusi,” kata Manao.
Pemprov NTT mengambil alih lahan masyarakat adat Pubabu-Besipae untuk sentra peternakan sapi, perkebunan kelor dan porang, serta pengembangan destinasi wisata unggulan. Namun, sejak diambil alih tahun 2020 hingga sekarang, lahan itu belum dikelola sesuai tujuan semula.
Oleh karena itu, masyarakat adat Pubabu-Besipae meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan itu ke masyarakat adat. Hal ini karena masyarakat adat sangat membutuhkan lahan tersebut untuk menopang kehidupan mereka.
Pengacara dan pendamping masyarakat adat Pubabu-Besipae, Viktor Manbait, mengatakan, kondisi masyarakat adat tersebut sangat memprihatinkan. Tanah adat mereka diambil pemerintah yang mengerahkan aparat keamanan. Bahkan, tokoh masyarakat adat itu juga dipenjarakan.
”Sangat disayangkan. Orang kecil dan tak berdaya selalu kalah di depan penguasa, hanya dengan alasan pembangunan dan kesejahteraan bersama. Pemerintah harus memberikan masyarakat Pubabu rumah tinggal dan lahan olahan. Mereka itu petani, butuh kerja untuk menghidupi istri dan anak-anak,” katanya.
Penjara itu tidak mengendurkan daya juang saya dan kawan-kawan, pemilik tanah leluhur.
Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan Gubernur NTT Marius Jelamu mengatakan, lahan itu sudah dikuasai Pemprov NTT sesuai prosedur yang berlaku.
Bahkan, dia mengklaim, lahan tersebut diserahkan ke Pemprov NTT oleh masyarakat. Terkait nasib sejumlah warga yang masih menetap di lokasi itu, Marius menyebut, Pemprov NTT sedang mencari solusi terbaik.