Pendidikan Berkualitas Dimulai dari Kompetensi Guru
Jebakan mutu pendidikan akan terus berlaku jika dalam peta jalan pendidikan Indonesia tidak diiringi dengan pengembangan kualitas guru.
Oleh
WIRDATUL AINI/Litbang Kompas
·4 menit baca
Kualitas guru menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan untuk menjamin sistem pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Sebagai agen pembelajaran yang menjadi fasilitator, perekayasa, dan motivator bagi peserta didik, kualitas guru menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan yang berimbas pada kuat lemahnya daya saing sumber daya manusia.
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia yang dilakukan pada 2020, kualitas guru di Indonesia dikategorikan masih rendah. Rendahnya kualitas guru tak hanya dari kompetensi dan kemampuan mengajar, tetapi juga pada keterampilan sosio emosional. Nilai sosio emosional guru Indonesia yang penting ketika beradaptasi dengan teknologi baru hanya mendapat nilai menengah, yaitu 3,52 dari 5.
Rendahnya kemampuan guru tersebut rupanya tidak berubah signifikan dari tahun ke tahun. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) belum memuaskan. UKG pada 2015-2017 memiliki angka rata-rata yang kurang dari 70 untuk semua jenjang pendidikan. Nilai rata-rata UKG pada 2015 secara nasional untuk guru TK hingga SMA masing-masing sebesar 43,74 poin, 40,14 poin, 44,14 poin, 45,38 poin. Capaian tersebut masih di bawah Standar Kompentensi Minimal (SKM) yang berada di angka 55.
Hasil jajak pendapat Kompas akhir September lalu sejalan dengan kondisi tersebut. Meski separuh responden dari 34 provinsi mengapresiasi kerja keras guru, tetapi ada 40 persen responden yang menilai capaian kinerja guru masih perlu ditingkatkan. Di antaranya, sebanyak 27,4 responden berpendapat bahwa kualitas cara mengajar guru di sekolah dari jenjang SD hingga SMA belum banyak mengalami peningkatan dibanding 5 tahun lalu. Bahkan, sebanyak 3,2 persen mengatakan tidak ada perbaikan dalam cara pengajaran dan 9,7 persen lainnya mengatakan ada penurunan kualitas cara pengajaran.
Selama ini, cara mengajar guru masih satu arah dan belum menjadi fasilitator pembelajaran. Padahal, menciptakan suasana terbuka dalam pembelajaran sangat penting bagi perkembangan anak didiknya. Peran guru sebagai aktor harus diubah menjadi fasilitator yang mampu mengubah kelas pasif menjadi aktif dan dialogis. Terlebih pembelajaran dalam era new normal saat ini.
Hasil jajak pendapat juga memotret, 4 dari 10 responden menilai meskipun guru sudah melakukan adaptasi proses pembelajaran selama pandemi Covid-19 tetapi masih belum memadai. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode khusus agar materi yang diberikan guru kepada murid tetap maksimal, meskipun tanpa tatap muka.
Salah satunya adalah meningkatkan kompetensi guru dengan memperhatikan kemampuan berinteraksi dengan siswa dan menyusun bahan pembelajaran lebih kreatif dan interaktif. Hal tersebut merupakan kompetensi yang diharapkan sekitar 41 persen responden harus dimiliki oleh para pendidik di era pandemi.
Butuh kreativitas
Selain itu, kecakapan menggunakan teknologi sebagaimana diharapkan 12,6 persen responden juga menjadi tuntutan bagi seorang guru. Pembelajaran daring membutuhkan kreativitas dan inovasi guru sehingga pengajaran tidak membosankan dan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase guru yang layak mengajar yaitu guru yang berijazah D-4/S-1 atau lebih tinggi sudah memadai dan merata di semua provinsi untuk semua jenjang pendidikan, tetapi pelaksanaan pengajaran di tengah pandemi bukanlah pekerjaan mudah karena butuh penyesuaian. Di masa pandemi, guru diharuskan melakukan berbagai tugas sekaligus yakni beradaptasi dengan kurikulum, menjangkau dan memastikan semua siswa dapat belajar, dan mengembangkan upaya partisipasi orang tua dalam proses pembelajaran.
Selain itu, guru juga bertanggung jawab atas seluruh perkembangan siswanya, bukan hanya dalam mata pelajaran yang diampunya. Menurut data BPS, rasio murid guru pada jenjang SD hingga SMA pada tahun ajaran 2019/2020 masing-masing sebesar 16, 15, dan 15. Artinya, seorang guru bertanggung jawab pada sejumlah murid tersebut dalam proses pembelajaran.
Padahal, profesionalisme guru sangat berpengaruh pada hasil serta peningkatan kualitas pembelajaran. Terlebih pada saat pandemi saat ini. Keadaan ini akan terus berlangsung jika tidak ditangani dengan serius. Jebakan mutu pendidikan akan terus berlaku jika dalam peta jalan pendidikan Indonesia tidak diiringi dengan pengembangan kualitas guru.
Karena itu, pemerintah didorong untuk segera berinovasi dalam program peningkatan kompetensi guru. Para pemangku kepentingan seperti Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) juga turut berkontribusi dalam pengembangan kompetensi guru.
Pengembangan kompetensi guru berbasis Kelompok Kerja Guru (KKG) menjadi salah satu pilihan. Guru-guru dengan kompetensi baik dapat membagikan pengalamannya memfasilitasi proses belajar kepada guru lain. Pelatihan menjadi titik awal perubahan. Pelatihan ini penting untuk mengubah pola pikir (mindset) dan performa guru. Tentunya, pembenahan mutu guru perlu dilakukan secara berkelanjutan, mengingat peran guru membangun SDM sangat strategis.
Kompetensi kurang lebih 3 juta guru akan menjadi penentu kualitas generasi ke depan. Sebaik apapun kurikulum yang ada dan sebesar apa pun anggaran pendidikan, tidak akan berjalan tanpa peran guru yang kompeten.
Untuk itu, berbagai upaya nyata atau intervensi rasional, efektif, dan langsung menyentuh faktor mutu diperlukan untuk mengubah kualitas guru secara merata di tanah air agar tidak terjadi kesenjangan antar daerah. Tanpa perbaikan kualitas guru maka kualitas pendidikan masih jauh panggang dari api.