Kolombia Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel
Presiden Kolombia, salah satu kritikus paling vokal terhadap Israel sejak dimulainya perang di Gaza.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
BOGOTA, RABU — Presiden Kolombia Gustavo Petro menyatakan Kolombia memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, ia menganggap Israel melakukan genosida dalam perang di Jalur Gaza. Kolombia juga meminta bergabung ke Mahkamah Internasional yang menyidangkan kasus dugaan genosida Israel.
Petro menyampaikan pernyataan itu pada Rabu (1/5/2024) waktu setempat atau Kamis (2/5/2024) waktu Indonesia dalam peringatan Hari Buruh Internasional di Bogota. Petro mengatakan, negara-negara tidak bisa pasif dalam menghadapi krisis yang terjadi di Jalur Gaza.
”Di sini, di hadapan kalian, pemerintahan perubahan, presiden republik, mengumumkan bahwa besok kami akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel karena memiliki pemerintahan, karena memiliki presiden yang melakukan genosida,” kata Petro seperti dilaporkan media Israel, The Times of Israel.
Langkah Kolombia ini menyusul sejumlah negara di Amerika Latin yang telah lebih dahulu memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, yakni Honduras dan Chile. Sejumlah negara Amerika Latin lainnya juga menjadi pengkritik keras Israel dalam perang di Gaza, antara lain Brasil dan Venezuela.
Israel Katz, Menteri Luar Negeri Israel, di Jerusalem, mengomentari pernyataan Petro dan menyebutnya sebagai ”antisemit dan penuh kebencian”. Melalui media sosial X, Katz mengatakan, keputusan Petro untuk memutuskan hubungan diplomatik antara kedua negara sehubungan dengan perang di Gaza sama dengan memberikan ”hadiah” kepada Hamas.
”Hubungan antara Kolombia dan Israel selalu hangat. Tidak ada presiden antisemit yang penuh kebencian yang dapat mengubahnya,” imbuhnya.
Apabila rencana Petro benar diwujudkan, keputusan itu akan mengakhiri tujuh dekade hubungan Israel dan Kolombia. Secara historis, Kolombia merupakan negara di Amerika Latin yang memiliki hubungan dekat dengan Israel.
Pengkritik Israel
Petro dikenal sebagai pemimpin sayap kiri yang mulai berkuasa pada 2022. Al Jazeera melaporkan, Petro dianggap sebagai bagian dari gelombang progresif yang disebut ”Gelombang Merah Muda” di Amerika Latin. Ia merupakan salah satu kritikus paling vokal terhadap Israel sejak dimulainya perang Gaza.
Pada Oktober 2023, beberapa hari setelah pecah perang Israel dan Hamas, Petro menuduh Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengomentari warga Gaza dengan bahasa yang mirip dengan ”yang dikatakan Nazi kepada orang-orang Yahudi”. Petro juga memerintahkan perwakilan Israel di Bogota untuk meninggalkan negara itu. Sebagai konsekuensinya, Israel menghentikan ”ekspor keamanan” ke Kolombia.
Sebulan kemudian, Petro menuduh Israel melakukan genosida di daerah kantong Palestina yang terkepung itu. Tuduhan itu memicu kemarahan lebih lanjut dari para pejabat Israel dan kelompok advokasi pro-Israel.
Pada Februari 2024, Kolombia menghentikan pembelian senjata Israel. Padahal, selama puluhan tahun, militer Kolombia sangat mengandalkan persenjataan dan pesawat dari Israel untuk menghadapi konflik dengan gerilyawan sayap kiri, paramiliter sayap kanan, dan kartel narkoba.
Pemicu keputusan itu adalah insiden pasukan Israel menembaki warga Palestina yang berupaya mendapatkan bantuan pangan di Gaza. Peristiwa itu, menurut Petro, merupakan genosida dan ”mengingatkan akan Holocaust”. ”Masyarakat demokratis tidak bisa membiarkan Naziisme kembali berkuasa dalam politik internasional,” kata Petro.
Militer Israel menolak tuduhan bahwa tindakan dalam insiden itu disengaja dan menyebut tudingan itu ”tidak berdasar”.
Pada Maret 2024, Petro mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik jika Israel tidak mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza. Adapun pernyataan Petro terakhir muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang kemungkinan serangan darat Israel ke kota Rafah di selatan Gaza.
Serangan itu, menurut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, akan menandai ”eskalasi yang tak tertahankan” dalam konflik di Gaza. Sejak Oktober 2023 hingga saat ini, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sedikitnya 34.568 warga Palestina terbunuh dalam serangan militer Israel. Sebagian besar korban tewas adalah perempuan dan anak-anak. Warga Gaza juga menghadapi krisis kemanusiaan berat akibat perang tersebut.
Sementara serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, menurut data Israel, mengakibatkan kematian sekitar 1.170 orang, sebagian besar warga sipil. Hamas juga menyandera sekitar 250 orang, 129 di antaranya masih berada di Gaza, termasuk 34 orang yang menurut Israel tewas.
Mahkamah Internasional
Di samping pemutusan hubungan diplomatik, Pemerintah Kolombia pada awal April juga meminta bergabung dalam kasus di Mahkamah Internasional (ICJ) yang menuduh Israel melakukan genosida.
”Tujuan utama Kolombia dalam upaya ini untuk memastikan perlindungan mendesak dan semaksimal mungkin bagi warga Palestina di Gaza, khususnya kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia,” kata Pemerintah Kolombia.
Pada Januari 2024, ICJ memutuskan warga Palestina menghadapi risiko genosida di Gaza dan memerintahkan Israel untuk mencegah tindakan semacam itu. Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese pada akhir Maret mengatakan, terdapat alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa ambang batas yang menunjukkan dilakukannya tindakan genosida terhadap warga Palestina di Gaza telah terpenuhi.
”Sifat dan skala serangan Israel yang luar biasa terhadap Gaza serta kondisi kehidupan yang rusak sebagai akibatnya mengungkapkan niat untuk menghancurkan secara fisik warga Palestina sebagai sebuah kelompok,” kata Albanese dalam laporannya.
Namun, Israel membantah tuduhan genosida. Israel menyebut laporan Albanese sebagai ”pembalikan realitas yang tidak pantas”. (AFP/REUTERS)