Perempuan diplomat dari timur dan barat satu suara memperjuangkan pemberdayaan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah diskriminasi pada perempuan diplomat, Indonesia gigih menunjukkan kesetaraan. Perempuan diplomat berperan penting dalam tatanan multilateral. Mereka menyuarakan pemberdayaan dan kesetaraan yang bertujuan kepada perwujudan perdamaian global serta pemenuhan hak asasi manusia.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, ada tantangan tersendiri sebagai perempuan diplomat. Ada stigma perempuan diplomat mudah ditekan dan digertak, terutama oleh negara adidaya. Hal ini harus dibuktikan tidak benar. Indonesia sejak merdeka tetap memegang prinsip HAM dan kesetaraan.
”Indonesia berprinsip teguh sesuai amanat Undang-Undang Dasar karena itu kita dihormati. Pada saat yang sama, Indonesia juga luwes dalam berjejaring. Kita berteman dengan siapa pun,” tutur Retno seusai menjadi narasumber dalam acara Gagas RI yang diadakan oleh Kompas TV di Jakarta, Senin (29/4/2024).
Perempuan diplomat mempercayai bahwa kedaulatan, kesetaraan, dan kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui pemerataan pendidikan dan kesempatan berusaha di semua bidang. Dalam proses mewujudkannya, aspek-aspek ini sangat menentukan terciptanya perdamaian.
Pakar hubungan internasional Dinna Prapto Rahardjo sebagai penanggap dalam acara itu menerangkan bahwa diskriminasi jender masih terasa di dalam peliputan perempuan diplomat maupun perempuan kepala negara. ”Masih banyak diskusi yang membahas latar belakang, bahkan penampilan perempuan diplomat itu. Bukan substansi pemikirannya,” katanya.
Kesetaraan perempuan
Retno mengatakan,kegigihan Indonesia, antara lain, ditunjukkan dalam memperjuangkan HAM kaum perempuan di Afghanistan. Selain menerima mahasiswi Afghanistan untuk menempuh pendidikan tinggi di Tanah Air, Indonesia juga berbagi kurikulum nasional madrasah kepada Afghanistan. Kurikulum ini penting dalam pemenuhan hak pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Afghanistan.
Kondisi Indonesia bisa menjadi acuan ini tidak lepas dari pemberdayaan perempuan di dalam negeri. Retno menceritakan, ketika memulai karier di Kementerian Luar Negeri pada 1985, perempuan diplomat maksimal 10 persen dari total pegawai. Sekarang, porsi laki-laki dan perempuan diplomat sudah 50-50. ”Tantangan lebih lanjut ialah agar para perempuan bisa mencapai posisi sebagai pengambil keputusan,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, Indonesia gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di forum-forum global, Indonesia selalu mengungkap standar ganda dalam penegakan HAM yang diterapkan oleh sejumlah negara ketika berkaitan dengan Palestina.
Indonesia mengingatkan kembali bahwa standar ganda itu bertentangan dengan demokrasi dan kemanusiaan. ”Dunia berutang kepada Palestina karena sampai sekarang mereka masih menjadi bangsa yang terjajah,” ujarnya.
Diplomasi Indonesia, lanjut Retno, tidak berlandaskan transaksi jangka pendek. Ia mengatakan, Indonesia tidak menutup kemungkinan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel selama syarat kemerdekaan Palestina terpenuhi. Prinsip ini tidak bisa ditawar.
Ia menerangkan, diplomasi tidak hanya bergantung pada Kemlu. Seluruh penduduk Indonesia berkontribusi melalui pemberdayaan masyarakat. Setelah itu diikuti dengan transparansi sistem yang memungkinkan persaingan dilakukan secara terbuka dan jujur.
Sementara itu, pakar kebangsaan Sukidi mengatakan, sejak Indonesia berdiri, perempuan telah berperan aktif. Sebagai contoh adalah Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito yang merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.